Penataran: Sebuah Epik Peradaban di Jantung Jawa

Penataran: Sebuah Epik Peradaban di Jantung Jawa

Selami Candi Penataran, situs sakral yang merekam intrik politik, spiritualitas kuno, dan nilai-nilai luhur Jawa. Dari relief legendaris hingga jejak Hayam Wuruk, temukan narasi abadi di warisan budaya Indonesia.

INDONESIAONLINE – Di kaki Gunung Kelud yang agung, bersemayam sebuah pustaka batu yang tak lekang dimakan zaman: Candi Penataran.

Bukan sekadar tumpukan arca dan relief, situs ini adalah epik yang terukir, merangkum denyut peradaban Jawa kuno dari Kediri hingga Majapahit. Setiap pahatan, setiap sudut candi, membisikkan kisah tentang legitimasi kekuasaan, spiritualitas yang mendalam, dan kreativitas yang mengagumkan.

Narasi Abadi di Atas Batu

Melangkah masuk ke kompleks Penataran adalah memasuki lorong waktu. Relief-reliefnya bagai lembaran-lembaran narasi kuno yang hidup.

Legenda-legenda lokal seperti Bubuksah dan Gagang Aking, Sang Satyawan, dan Sri Tanjung, dipahat dengan detail yang memukau. Kisah-kisah ini bukan hanya sekadar dongeng; ia adalah cermin nilai-nilai moral, spiritual, dan hierarki sosial yang teguh dipegang masyarakat Jawa pada masanya.

Di teras candi induk, epik Ramayana dan Krçnayana terentang, memandu pengunjung dalam ritual pradaksina – sebuah putaran suci yang menegaskan fungsi candi sebagai pusat pendidikan budaya dan religius yang tak terbantahkan.

Dari Kertanegara hingga Hayam Wuruk: Denyut Kekuasaan di Palah

Kompleks yang dahulu dikenal sebagai Palah ini, kembali mencuri perhatian pada akhir abad ke-13, di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ia membangun Candi Naga, sebuah mahakarya yang dihiasi naga bersayap – lambang candrasengkala “Naga muluk sinangga jalma” (1208 Saka) yang menyimpan makna filosofis mendalam.

Era Majapahit menyaksikan puncak kejayaan Penataran. Jayanegara, Tribuanatunggadewi, hingga raja legendaris Hayam Wuruk, tak henti melakukan pemugaran dan pemeliharaan. Penataran bukan lagi sekadar candi biasa; ia menjelma menjadi candi negara dan pusat dharma lepas, sebuah institusi spiritual yang berakar kuat dalam sistem pemerintahan.

Kitab Negarakretagama, sumber sejarah yang tak ternilai, mengabadikan kunjungan Hayam Wuruk ke Palah, sebuah ziarah untuk memuja Sang Hyang Batara Acalapati, manifestasi Siwa sebagai dewa gunung.

Jejak spiritual ini adalah bukti nyata bagaimana legitimasi monarki, ritual keagamaan, dan ekspresi politik bersinergi, membentuk lanskap kekuasaan Jawa yang kompleks dan memukau.

Ken Arok dan Simbolisme Girindra

Tak hanya raja-raja besar, Candi Penataran juga lekat dengan bayangan tokoh legendaris Ken Arok. Pendiri Dinasti Rajasa ini, yang dalam berbagai sumber digambarkan sebagai manipulator politik ulung yang mengembalikan kejayaan Kanjuruhan, mungkin menemukan tempat pedharmaannya di sini.

Perwujudan Girindra dalam prasasti dan ikonografi candi menguatkan dugaan adanya hubungan simbolik antara Ken Arok dan Siwa. Penataran, dengan demikian, bukan sekadar situs ibadah, melainkan juga mungkin menjadi penanda spiritual bagi seorang tokoh yang mengukir sejarah dengan tinta darah dan ambisi.

Kronik Sunda Bujangga Manik dari abad ke-15, bahkan menambahkan dimensi sosial-religius yang lebih kaya, menyebut Candi Palah sebagai pusat belajar agama dan ziarah yang penting.

Kebangkitan Warisan dan Kontinuitas Peradaban

Setelah sempat tenggelam dalam lupakan, Candi Penataran kembali menampakkan diri di awal abad ke-19. Thomas Stamford Raffles, pada tahun 1815, adalah yang pertama mencatat keberadaannya, membuka jalan bagi pemugaran kolonial dan nasional.

Hari ini, kompleks ini dikelola oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia, berdiri tegak sebagai warisan budaya yang sarat nilai edukasi, spiritual, dan ekonomi.

Pemugaran yang terus direncanakan adalah upaya untuk memperkuat perannya, bukan hanya sebagai magnet wisata sejarah, tetapi juga sebagai simbol hidup kontinuitas peradaban Jawa.

Dari jejak Ken Arok yang penuh intrik hingga langkah Hayam Wuruk yang bijaksana, Penataran mencatat strategi kekuasaan, ritual keagamaan, dan upaya abadi untuk menjaga memori kolektif. Ia adalah arsip hidup yang menghubungkan masa lalu dengan kini, sebuah pengingat bahwa di antara batu dan relief, bersemayam jiwa peradaban yang tak pernah mati.