INDONESIAONLINE – Ahli hukum pidana yang juga juru bicara (jubir) KUHP baru, Albert Aries, memberikan penjelasan terkait vonis mati yang dijatuhkan pada Ferdy Sambo.
Menurut Albert, hukum vonis mati pada Ferdy Sambo saat ini masih belum berkekuatan hukum tetap atau inkrah karena Sambo maupun penuntut umum masih bisa mengajukan upaya hukum selanjutnya yaitu banding dan kasasi.
“Secara umum, bagi terpidana mati yang perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap (inkrah) sebelum awal Januari 2026 nanti (daya laku KUHP Nasional), tetapi masih belum dilaksanakan eksekusinya, maka berlakulah ketentuan pasal 3 KUHP Nasional (lex favor reo), yang menyatakan dalam hal terjadinya perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan itu terjadi, diberlakukan peraturan yang baru, kecuali peraturan yang lama ‘menguntungkan’ bagi pelaku,” ucap Albert kepada detikcom, Selasa (14/2/2023).
“Hal ini didasarkan pada paradigma pidana mati dalam KUHP nasional sebagai pidana yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif (pasal 67 KUHP Nasional) untuk menjadi jalan tengah bagi kelompok yang pro (retentionis) dan kontra (abolitionis) terhadap pidana mati,” imbuhnya.
Berdasarkan pada hal tersebut, Albert menambahkan vonis mati Ferdy Sambo nantinya akan menunggu berlakunya KUHP 2026 nanti. Namun, nantinya pemerintah akan mengatur lebih rinci melalui aturan turunan.
“Oleh karena itu, terhadap para terpidana mati yang belum dieksekusi saat berlakunya KUHP Nasional akan berlaku ketentuan ‘transisi’ yang nanti akan diatur dalam Peraturan Pemerintah untuk menghitung ‘masa tunggu’ yang sudah dijalani dan juga assessment yang dipergunakan untuk menilai adanya perubahan sikap dan perbuatan terpuji dari terpidana mati tersebut,” ucap Albert.
“Sehingga ketentuan ini, jangan dimaknai bahwa dengan berlakunya KUHP Nasional akan membuat pelaksanaan pidana mati menjadi hapus ya, karena segala sesuatunya tetap akan dinilai secara objektif melalui assessment yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. Di samping itu, saat KUHP Nasional berlaku nanti membuka peluang bagi terpidana mati untuk mengajukan grasi kepada presiden. Jikalau permohonan grasi terpidana mati itu ditolak dan pelaksanaan eksekusinya belum juga dilaksanakan dalam waktu 10 tahun, maka dengan keputusan presiden, pidana mati tersebut dapat menjadi seumur hidup (Pasal 101 KUHP),” imbuhnya.
Bisa ditarik kesimpulan bahwa vonis Sambo saat ini belum berkekuatan hukum tetap. Vonis itu jika inkrah sebelum 2026, maka akan mengikuti KUHP yang berlaku pada 2026. Namun, pengubahan vonis mati ke seumur hidup bukanlah perkara mudah, sebab ada banyak hal yang harus dilaluinya seperti yang diatur dalam KUHP baru.
Sementara, vonis mati Ferdy Sambo saat ini belum berkekuatan tetap sebab baik Sambo ataupun maupun penuntut umum masih memiliki hak untuk pengajuan banding.
Sambo sendiri sebelumnya dinyatakan terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap ajudannya, Brigadir N Yosua Hutabarat. Sambo pun divonis mati yang mana lebih tinggi dari tuntutan jaksa yang adalah seumur hidup penjara.
“Mengadili, menyatakan Terdakwa Ferdy Sambo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana dan tanpa hak melakukan perbuatan membuat sistem elektronik tidak berfungsi sebagaimana mestinya secara bersama-sama,” kata hakim ketua Wahyu Iman Santoso saat membacakan amar putusan di PN Jaksel, Senin (13/2)
“Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Ferdy Sambo pidana mati,” imbuhnya.
Sambo juga dinyatakan bersalah melakukan perusakan CCTV yang berakibat terganggunya sistem elektronik dan/atau mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.
Sambo dinyatakan bersalah melanggar Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sambo juga dinyatakan bersalah melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 55 ayat1 KUHP.