Gejolak politik Kota Malang memanas. Golkar & PDIP ganti nakhoda, NasDem alami eksodus kader ke Gerindra. Simak analisis dampaknya jelang 2029 di sini.
INDONESIAONLINE – Panggung politik Kota Malang tidak sedang baik-baik saja; ia tengah berevolusi. Gelombang perubahan pasca Pemilu Legislatif (Pileg) 2024 belum sepenuhnya surut, justru menciptakan arus balik yang mengubah topografi kekuatan partai politik (parpol) di kota pendidikan ini.
Fenomena “kutu loncat” atau perpindahan kader, pergantian nakhoda kepemimpinan, hingga restrukturisasi internal bukan sekadar rutinitas organisasi, melainkan sinyal keras adanya pergeseran bandul kekuasaan menuju kontestasi 2029.
Dinamika paling mencolok terjadi pada tiga poros utama: PDI Perjuangan sebagai pemenang tradisional, Golkar yang mencoba bangkit dengan wajah baru, dan NasDem yang tengah menghadapi ujian berat akibat pendarahan kader (eksodus) yang menguntungkan Partai Gerindra.
Eksodus NasDem dan Magnet “The Ruling Party”
Sorotan tajam kini tertuju pada DPD Partai NasDem Kota Malang. Partai yang mengusung jargon restorasi ini justru tengah mengalami turbulensi internal yang serius. Tidak tanggung-tanggung, sosok kunci seperti Hanan Djalil, mantan Ketua DPD NasDem Kota Malang, memilih angkat kaki. Masalahnya bukan hanya pada kepergian Hanan secara personal, melainkan gerbong yang dibawanya.
Informasi valid menyebutkan bahwa Hanan turut membawa tiga kader strategis lainnya yang memiliki basis massa riil. Dalam kalkulasi politik praktis, hilangnya kader yang memiliki perolehan suara signifikan pada Pileg 2024 adalah sebuah kerugian aset elektoral yang masif.
Ke mana mereka berlabuh? Jawabannya mengerucut pada satu nama: Partai Gerindra.
Fenomena ini dikonfirmasi oleh pengamat politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya (UB), Syahirul Alim.
Menurutnya, perpindahan ini bukan sekadar urusan ketidakcocokan ideologi, melainkan pragmatisme politik yang wajar terjadi pasca kemenangan Prabowo Subianto di kancah nasional.
“Yang pindah ini kan mantan Ketua Hanan Djalil dan turut membawa 3 kader lain dengan perolehan suara yang signifikan di Pileg 2024. Ini tentu bisa berdampak pada Pileg 2029 nanti,” ujar Syahirul.
Gerindra, yang kini memposisikan diri sebagai partai penguasa (the ruling party), menjadi magnet raksasa. Daya tarik kekuasaan dan aksesibilitas politik menjadi gula-gula manis bagi politisi yang ingin mengamankan karier politik jangka panjang.
Hal ini diperkuat dengan fakta sebelumnya, di mana pentolan Partai Perindo Kota Malang, Layla Fitrya Liza Min Nelly, juga telah lebih dulu merapat ke barisan Gerindra. Akumulasi tokoh-tokoh vote-getter ini diprediksi akan mempertebal otot politik Gerindra di Kota Malang secara signifikan.
Paradoks Regenerasi: Strategi NasDem vs Arus Utama
Di tengah badai eksodus, langkah NasDem Kota Malang dalam menunjuk pemimpin baru justru menuai tanda tanya analitis. Ketika tren politik global dan nasional mengarah pada peremajaan figur pemimpin untuk menggaet pemilih Gen-Z dan Milenial, NasDem justru mengambil langkah “kontra-intuitif” dengan menunjuk Suyadi, seorang kader senior, sebagai nakhoda baru.
Syahirul Alim menilai langkah ini sebagai anomali yang menarik. “Ini dinamika yang menarik. Saat partai lain memilih regenerasi, NasDem justru memilih senior. Sebenarnya tidak ada yang keliru. Tinggal dilihat nanti saat pileg, apakah langkah ini berdampak positif atau justru sebaliknya terhadap perolehan suara,” analisisnya.
Strategi menunjuk figur senior biasanya diambil untuk meredam gejolak internal dengan ketokohan yang disegani (patronase). Namun, tantangannya adalah kemampuan adaptasi terhadap pola kampanye digital dan pendekatan kepada pemilih pemula yang akan mendominasi demografi pemilih pada 2029.
Regenerasi Total PDI Perjuangan: Mengawinkan Eksekutif Partai dan Legislatif
Berbanding terbalik dengan NasDem, PDI Perjuangan (PDIP) Kota Malang melakukan manuver regenerasi yang agresif dan strategis. Partai berlambang banteng ini menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan kepada Amithya Ratnanggani Sirraduhita.
Penunjukan Amithya bukan tanpa alasan. Ia saat ini menjabat sebagai Ketua DPRD Kota Malang. Dalam teori manajemen partai politik, penyatuan jabatan Ketua Partai di daerah dengan Ketua DPRD (sebagai representasi partai di parlemen) adalah langkah paling efektif untuk konsolidasi kekuatan. Instruksi partai dapat dieksekusi langsung menjadi kebijakan legislatif tanpa hambatan komunikasi.
Sementara itu, pemimpin sebelumnya, I Made Riandiana Kartika, dipromosikan ke level yang lebih tinggi sebagai Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Timur. Ini menunjukkan bahwa sistem kaderisasi di tubuh PDIP berjalan sistematis; ada jenjang karier yang jelas bagi kader yang dianggap berprestasi, menjaga loyalitas kader agar tidak mudah tergiur pindah ke partai lain.
Golkar dan Pertaruhan Latar Belakang Pengusaha
Dinamika tak kalah sengit terjadi di tubuh Partai Golkar Kota Malang. Partai beringin ini kini dipimpin oleh Djoko Prihatin, sosok yang berlatar belakang pengusaha. Masuknya kalangan pengusaha ke pucuk pimpinan partai seringkali diharapkan membawa manajemen yang lebih modern dan logistik yang lebih kuat.
Namun, transisi ini tidak berjalan mulus. Kepemimpinan Djoko masih diwarnai polemik internal. Dalam tradisi Golkar yang kental dengan faksi-faksi, kemampuan seorang pemimpin untuk merangkul semua kepentingan menjadi kunci bertahan hidup.
Jika Djoko gagal mengelola faksi-faksi yang ada, Golkar berisiko kehilangan momentum untuk merebut kembali kejayaannya di Kota Malang.
Melihat peta yang terbentang, Pileg 2029 di Kota Malang diprediksi akan menjadi “medan perang” yang sangat berbeda dibanding 2024. Di mana, Gerindra berpotensi menjadi challenger terkuat bagi PDIP, berbekal amunisi kader-kader baru “bajakan” dari NasDem dan Perindo yang sudah memiliki basis massa matang.
Sedangkan PDIP akan mengandalkan soliditas struktur dan kekuatan figur Amithya sebagai simbol pemimpin muda dan penguasa parlemen lokal dan NasDem menghadapi risiko elektoral paling besar. Jika kepemimpinan senior gagal melakukan konsolidasi dan gagal mengisi kekosongan suara yang ditinggalkan Hanan Djalil cs, perolehan kursi mereka bisa tergerus tajam.
Golkar masih menjadi “kuda hitam” yang nasibnya bergantung pada seberapa cepat konsolidasi internal bisa diselesaikan di bawah kepemimpinan baru.
Pergeseran ini mengajarkan satu hal: dalam politik lokal Malang, loyalitas kader semakin cair. Ideologi partai seringkali menjadi nomor dua dibandingkan peluang pragmatis untuk berkuasa. Bagi masyarakat, tontonan ini menjadi alarm untuk lebih kritis melihat rekam jejak figur, bukan sekadar bendera partai yang mereka bawa hari ini, karena bisa jadi besok warnanya sudah berganti (rw/dnv).
