*dd nana

1/ September menyengat tubuh legamku

dan menyeretku ke sebuah buku

Yang sialnya itu kumpulan puisi

dengan nama Jokpin di halaman depan

dan bergambar seorang lelaki bertelanjang badan

dengan sarung dan kepala yang tertutup celana

yang mencuatkan dua temali dengan jemari sepasang.

Sungguh, sebenarnya di September yang terik

aku berharap ditarik ke halaman-halaman penuh warna

dan paras sempurna para wanita.

“Tuhan yang merdu/ terimalah kicau burung/dalam kepalaku.”*

Aku disengat larik itu

Jokpin yang menuliskan, ngilunya

di aku. Mungkin, kicau burung-burung di kepalaku serupa

serak para pemakan bangkai.

Sampai aku tak pernah kenal dengan merdu suara tuhan

seperti asingku pada suaraku, seperti igau kunang-kunang

merindu kelam yang menghilang di mamah pagi

dan yang tertampar lagi-lagi di-aku.

“Sesungguhnya aku ini seorang penganggur/Aku lebih banyak bingung dan menyibukkan diri dengan perkara-perkara remeh/ hanya untuk menjaga penampilanku di hadapan-Mu.”*

Aku ingin menangis.

Tapi Jokpin menulis seperti ini, “Di bawah alismu hujan berteduh/ Di merah matamu senja berlabuh.”*

Ah, modar aku tuan penyair, bahkan untuk menangis pun

Aku tak bisa. Mana bisa air mata terlihat seperti di

Baca Juga  Puisi: Yang Baru Itu Pengulangan Waktu

Sinetron dan film-film, bila alisku adalah halte hujan.

Mataku kerap melembayung

merah karena begadang mencintainya,

tapi tak kutahu bahwa senja yang kerap dirindui para pecinta dan penyair

berlabuh di mataku. Ah gendeng tenan tuan penyair Iki.

“Hei, jangan serupa buah tomat habis di sanggrai panas. Kau ingat saat aku bertanya padamu, “setelah punya rumah apa cita-citamu*?”

Kau ingat saat kau ucapkan, “Berilah kami rejeki pada hari ini/ dan ampunilah kemiskinan kami.”*

Aku bengong.

Kenapa kau begitu tahu aku, tuan penyair? Padahal kau hanyalah buku

dan aku mungkin hanya biji kopi dalam toples bening

yang siap dileburkan menjadi cairan hitam.

Jokpin terkekeh dan menjawab ku, “Salah besar tuan. Kau mata, aku airmatamu.”

Ah pening aku ngobrol denganmu tuan penyair

Aku tak butuh syair di September yang terik dan terlalu nyinyir

yang aku butuh uang. Seperti yang pernah kau tulis dalam syairmu, “Uang, berilah aku rumah yang murah saja/ yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku/yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku.”

2/ Maka tulislah puisi, tuan

walau kau tak takut pada sepi

Baca Juga  Puisi Kilometer 0

tapi matamu kerap menangis di tengah malam saat bulan

pun enggan mengintip para penyendiri.

Hanya ranjang tidurmu yang berusia renta

Karib tangisanmu yang menganggapnya nyanyian.

Percayalah, kau tetaplah sunyi

Maka aku anjurkan kau tulis puisi.

Ah, bisa saja kau tuan penyair menjual kata-kata

Aku tahu kemana akan kau seret aku. Ke sini kan

“Anda boleh menulis puisi/ untuk atau kepada siapa saja/ asal jangan sampai lupa/ menulis untuk atau kepada saya/ Siapakan saya?/ Saya adalah Kata.”*

Jokpin kembali terkekeh.

3/ Sejak aku mengikuti anjuran tuan penyair

Gatal-gatal sepi sedikit teratasi dan tangisanku sudah serupa

Para lelaki yang hatinya begitu rapuh dan meretak di kata-kata

yang meluncur dari bibir para wanita.

Tapi, sungguh tuan penyair, setelah aku menulis puisi

ranjangku menjadi tuli.

Hanya di atas tubuhnya reranting dan dedaunan berserakan.

Tapi, kau kembali bersabda:

“Jangan gelisahkan hari-harimu. Semua hari punya geli dan basahnya sendiri.”*

*hanya penikmat kopi lokal

*cuplikan beberapa larik puisi Jokpin