Beranda

Pukulan Rotan Antar Pengasuh Ponpes Pakisaji Berstatus Tersangka

Pukulan Rotan Antar Pengasuh Ponpes Pakisaji Berstatus Tersangka
Ilustrai pengasuh Pondok Pesantren di Pakisaji yang diduga melakukan penganiayaan terhadap santrinya dengan cara memukul kakinya dengan rotan dan menyebabkan infeksi. Kini sang pengasuh Ponpes menyandang status tersangka dalam kasus tersebut (ai/io)

Pengasuh ponpes di Malang, B, resmi jadi tersangka penganiayaan santri. Diduga memukul dengan rotan karena korban lapar hingga luka membusuk. Simak investigasi mendalam mengenai kasus yang menguji wajah pendidikan agama dan perlindungan anak ini.

INDONESIAONLINE – Suasana khusyuk yang seharusnya menyelimuti Pondok Pesantren (Ponpes) Darul Mujtaba di Pakisaji, Kabupaten Malang, kini tercoreng oleh noda kelam. Sosok sentralnya, sang pengasuh berinisial B, yang semestinya menjadi panutan dan pembimbing, justru kini menyandang status tersangka. Tuduhannya serius: melakukan penganiayaan terhadap santrinya sendiri.

Polres Malang secara resmi menetapkan B sebagai tersangka setelah melakukan gelar perkara pada Rabu (30/7/2025) lalu. Sebuah langkah hukum yang menjadi puncak dari laporan menyayat hati yang masuk sebulan sebelumnya.

“Benar, kemarin sudah kami laksanakan gelar perkara untuk penetapan tersangka. Langkah selanjutnya, kami akan segera mengirimkan surat pemanggilan resmi terhadap yang bersangkutan dalam kapasitasnya sebagai tersangka,” ungkap Kanit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Malang, Aiptu Erlehana, saat dikonfirmasi pada Kamis (31/7/2025) kemarin.

Meski status hukumnya telah naik dari saksi menjadi tersangka, B belum mendekam di balik jeruji besi. Pihak kepolisian menegaskan bahwa proses pemanggilan akan didahulukan.

“Penahanan belum dilakukan. Gelar perkaranya baru kemarin. Hari ini surat panggilannya kami layangkan,” tambah Erlehana.

Ia menjelaskan bahwa keputusan penahanan merupakan kewenangan pimpinan, dalam hal ini Kasatreskrim Polres Malang, yang akan diputuskan setelah pemeriksaan tersangka dilakukan.

Lapar Berujung Luka Infeksi

Kisah pilu ini berpusat pada seorang santri berusia 14 tahun, ADR. Remaja asal Kecamatan Wonosari, Malang, ini menuturkan pengalaman traumatis yang tak akan pernah ia lupakan. Menurut pengakuannya, ia menerima total 34 kali sabetan rotan dari sang pengasuh dalam dua peristiwa berbeda.

Pemicunya, menurut korban, terdengar sepele namun menusuk nurani: rasa lapar. Peristiwa terakhir yang menjadi puncak kekerasan terjadi pada malam takbiran Idul Adha, awal Juni 2025 lalu.

Diduga karena tak tahan menahan lapar, ADR nekat keluar dari area pondok untuk membeli makan. Sebuah tindakan yang harus ia bayar mahal dengan pukulan rotan bertubi-tubi di bagian kakinya.

Akibatnya, kakinya penuh dengan luka lebam. Tanpa penanganan yang tepat, luka-luka itu tak kunjung sembuh, malah berubah menjadi mimpi buruk: infeksi parah hingga membusuk.

Melihat kondisi anaknya yang mengenaskan, keluarga ADR tak tinggal diam dan melaporkan kasus ini ke Polres Malang pada 20 Juni 2025. Laporan tersebut diperkuat dengan hasil visum et repertum yang mengonfirmasi adanya luka-luka akibat kekerasan benda tumpul.

Perspektif Ahli: Jebakan Kuasa dan Disiplin yang Keliru

Kasus seperti ini, menurut Dr. Anisa Pratiwi, M.Psi., seorang Psikolog Anak dan Pendidikan, menyoroti adanya isu fundamental dalam beberapa lembaga pendidikan berasrama.

“Di lingkungan tertutup seperti pesantren, sering kali terjadi relasi kuasa yang sangat timpang antara pengasuh dan santri. Pengasuh dipandang sebagai figur absolut yang tak terbantahkan, sementara santri berada di posisi paling rentan,” jelasnya saat dihubungi terpisah.

Dr. Anisa menambahkan, dalih “pendisiplinan” kerap menjadi tameng untuk membenarkan hukuman fisik. “Padahal, data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) secara konsisten menunjukkan bahwa kekerasan fisik tidak pernah efektif membentuk karakter. Sebaliknya, ia melahirkan trauma, ketakutan, dan siklus kekerasan baru. Disiplin seharusnya mendidik, bukan menyakiti,” tegasnya.

Ancaman Pidana dan Konfirmasi Pihak Tersangka

Kini, sang pengasuh yang juga merupakan pemilik ponpes tersebut dijerat dengan pasal berlapis. “Kami terapkan Pasal 80 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,” beber Aiptu Erlehana.

Pasal ini bukan pasal ringan. Ayat (1) membawa ancaman pidana penjara maksimal 3 tahun. Namun, karena korban mengalami luka berat—dalam hal ini infeksi hingga membusuk—maka penyidik menerapkan ayat (2) yang ancaman pidananya lebih berat, yakni penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta.

Di sisi lain, Tim Kuasa Hukum tersangka, Muhammad Wahyudi Arifin, saat dikonfirmasi membenarkan status hukum baru kliennya.

“Iya, betul (telah ditetapkan sebagai tersangka),” jawabnya singkat, menandakan bahwa pihaknya telah menerima informasi tersebut dan bersiap menghadapi proses hukum selanjutnya.

Kasus ini menjadi pengingat keras bahwa institusi pendidikan, se-sakral apapun citranya, tidak kebal dari hukum. Publik kini menanti, apakah proses hukum ini akan berjalan transparan dan memberikan keadilan bagi sang santri, sekaligus menjadi momentum evaluasi besar-besaran terhadap metode pendidikan di lembaga-lembaga serupa di seluruh Indonesia.

Exit mobile version