Beranda

Sengketa Tanah Surabaya: Kejanggalan AJB Usai Rumah Nenek Elina Rata

Sengketa Tanah Surabaya: Kejanggalan AJB Usai Rumah Nenek Elina Rata
Ilustrasi pembongkaran rumah Nenek Elina di Kota Surabaya yang memantik reaksi keras masyarakat luas dan dipertanyakan keabsahan AJB-nya oleh kuasa hukum pelapor (io)

Kuasa hukum Nenek Elina bongkar kejanggalan AJB yang terbit usai rumah dibongkar paksa. Dugaan manipulasi Letter C mencuat di Lontar Surabaya, penyidikan berlanjut.

INDONESIAONLINE – Di usia senjanya yang ke-80 tahun, Elina Widjajanti seharusnya menikmati masa tua dengan tenang di rumah yang telah lama ditinggalinya di Dukuh Kuwukan No. 27, Kelurahan Lontar, Kecamatan Sambikerep, Kota Surabaya. Namun, realitas berkata lain.

Elina kini harus menghadapi badai hukum dan trauma psikologis mendalam setelah tempat berteduhnya rata dengan tanah. Kasus ini bukan sekadar sengketa lahan biasa; ia menyingkap dugaan maladministrasi dan kejanggalan kronologis yang mencengangkan dalam penerbitan dokumen negara.

Peristiwa pilu yang menimpa Elina bermula dari aksi pengusiran dan pembongkaran paksa yang terjadi pada 6 Agustus 2025. Namun, babak baru yang lebih mengejutkan terkuak di meja penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jawa Timur, Minggu (28/12/2025).

Tim kuasa hukum Elina membeberkan fakta paradoksal: Akta Jual Beli (AJB) tanah tersebut baru terbit setelah rumah dihancurkan.

Anomali Hukum: “Membeli” Setelah Merobohkan?

Wellem Mintarja, kuasa hukum Elina, menyoroti ketidaklaziman prosedur yang dilakukan oleh pihak lawan, yakni Samuel. Dalam konstruksi hukum pertanahan di Indonesia, AJB adalah instrumen vital sebagai bukti peralihan hak yang sah di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Lazimnya, kepemilikan beralih, baru kemudian pemilik baru memiliki hak penuh atas objek tersebut.

Namun, dalam kasus ini, urutan waktunya terbalik. Wellem mengungkapkan data mengejutkan bahwa pembongkaran rumah dilakukan pada 6 Agustus 2025, sementara AJB yang diklaim sebagai dasar kepemilikan Samuel baru terbit pada 24 September 2025.

“Kita menemukan, akta jual-beli itu tertanggal 24 September 2025. Baru. Penjualnya (atas nama) dia (Samuel), pembelinya ya dia (Samuel),” tegas Wellem di Mapolda Jatim.

Jika mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pembuatan AJB harus dihadiri oleh penjual dan pembeli. Kejanggalan semakin meruncing mengingat pemilik asal, Elisa Irawati (kakak kandung Elina), telah meninggal dunia sejak 2017.

Dalam hukum perdata, orang yang sudah meninggal tidak dapat menjadi subjek hukum untuk melakukan transaksi jual beli. Jika Samuel mengklaim membeli dari Elisa pada 2014, mengapa AJB baru muncul 11 tahun kemudian dan baru diproses sebulan setelah rumah diratakan?

Misteri Perubahan Letter C Desa: Siapa yang Bermain?

Keanehan tidak berhenti pada tanggal penerbitan AJB. Penelusuran tim hukum Elina ke Kantor Kelurahan Lontar pada 23 September 2025—sehari sebelum tanggal AJB terbit—menemukan fakta lain. Saat itu, pihak kelurahan menyatakan bahwa objek tanah masih tercatat atas nama Elisa Irawati.

Namun, tak lama berselang, data Letter C di kelurahan berubah. Pencoretan nama pemilik lama dan penggantian nama pemilik baru diduga dilakukan tanpa melibatkan para ahli waris yang sah.

“Letter C di desa (kelurahan) kami juga telah menemukan itu sudah tercoret. Pada saat 24 September 2025. Lah, sebelumnya kan atas nama Elisa, seharusnya pencoretan itu mengajak ahli waris untuk ke sana,” tutur Wellem.

Mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 833, para ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak, dan segala piutang dari orang yang meninggal dunia.

Elisa Irawati diketahui tidak menikah dan tidak memiliki anak adopsi, sehingga harta peninggalannya jatuh kepada saudara kandungnya, termasuk Elina, sebagai ahli waris golongan kedua.

Tindakan mengubah status kepemilikan tanah tanpa persetujuan seluruh ahli waris, apalagi jika didasarkan pada dokumen yang diragukan keabsahannya, dapat berpotensi melanggar hukum administrasi negara dan pidana pemalsuan dokumen.

Dugaan Hilangnya Dokumen Saat Eksekusi

Sisi gelap lain dari kasus ini adalah dugaan hilangnya dokumen-dokumen penting milik Elina saat proses pembongkaran paksa berlangsung. Wellem mencurigai adanya korelasi antara perubahan Letter C yang mendadak dengan hilangnya arsip-arsip pribadi kliennya yang tersimpan di lemari saat rumah dibongkar.

“24 September 2025 (perubahan letter C). Lah sedangkan perusakan itu, itu 6 Agustus 2025. Pengusiran, perusakan, kita tidak boleh masuk. Lah semua kan dokumen ada di lemarinya beliaunya (Elina),” beber Wellem.

Kondisi ini menempatkan Elina dalam posisi yang sangat rentan. Tanpa dokumen fisik di tangan, pembuktian hak menjadi tantangan tersendiri, meskipun hukum waris memberikan perlindungan yang kuat bagi kerabat sedarah.

Saat ini, bola panas berada di tangan penyidik Polda Jatim. Laporan polisi dengan nomor LP/B/1546/X/2025/SPKT/POLDA JAWA TIMUR tertanggal 29 Oktober 2025 tengah diproses. Fokus utama laporan ini adalah dugaan tindak pidana pengerusakan secara bersama-sama sebagaimana diatur dalam Pasal 170 KUHP.

Pasal 170 KUHP berbunyi: “Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.” Unsur “tenaga bersama” dan “kekerasan terhadap barang” (pembongkaran rumah) menjadi titik berat pembuktian penyidik.

Jika terbukti bahwa Samuel dan kawan-kawan melakukan pembongkaran tanpa alas hak yang sah pada saat kejadian (mengingat AJB baru terbit kemudian), maka unsur pidana tersebut sangat mungkin terpenuhi.

Samuel sendiri sebelumnya mengklaim telah membeli tanah tersebut sejak 2014. Namun, klaim jual beli di bawah tangan (tanpa akta PPAT) seringkali menjadi celah sengketa di kemudian hari, terutama jika tidak segera didaftarkan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Dalam kasus tanah, asas “terang dan tunai” menjadi pegangan, namun ketiadaan transparansi kepada ahli waris selama bertahun-tahun hingga Elisa meninggal dunia menimbulkan tanda tanya besar.

Nasib Nenek Elina di Usia Senja

Di balik kerumitan pasal dan dokumen, ada sisi kemanusiaan yang terenggut. Nenek Elina kini harus tinggal di rumah kos dengan biaya yang ditanggung kerabat, terusir dari rumah yang menyimpan memori sejarah keluarganya.

Kasus ini menjadi cerminan nyata masih maraknya konflik agraria yang melibatkan kelompok rentan (lansia) berhadapan dengan pihak yang memiliki akses kekuasaan atau kapital lebih besar. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) kerap menunjukkan bahwa sengketa lahan di wilayah perkotaan seringkali melibatkan modus-modus manipulasi administrasi yang sistematis, atau yang populer disebut sebagai praktik “mafia tanah”.

Masyarakat kini menanti ketegasan Polda Jatim. Apakah hukum mampu tajam ke atas dan membongkar dugaan rekayasa administrasi di balik runtuhnya rumah Nenek Elina? Atau, akankah lansia ini menjadi satu lagi korban yang kalah dalam rimba sengketa pertanahan di Indonesia? Proses penyidikan yang transparan dan validasi forensik terhadap dokumen AJB serta Letter C menjadi kunci untuk membuka kotak pandora kasus ini.

Exit mobile version