Beranda

Serangan Brutal Kebebasan Pers Indonesia Disorot Dunia

Serangan Brutal Kebebasan Pers Indonesia Disorot Dunia
Media asing dunia soroti kasus ancaman kepala babi dan bangkai tikus ke media Tempo (Ist)

INDONESIAONLINE – Kebebasan pers di Indonesia menghadapi ujian berat menyusul serangkaian ancaman mengerikan yang ditujukan kepada media kritis, Tempo, khususnya jurnalisnya, Francisca Christy Rosana. Insiden pengiriman paket berisi kepala babi yang dimutilasi dan tikus tanpa kepala ini tidak hanya mengguncang ruang redaksi Tempo, tetapi juga menarik perhatian media internasional, termasuk The Guardian dari Inggris yang menyorotnya sebagai bentuk intimidasi baru yang brutal di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.

“Hadiah mengerikan (kepala babi tanpa telinga dan tikus tanpa kepala) untuk kebebasan pers di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia,” tulis Kate Lamb, editor The Guardian untuk Asia-Pasifik, menggarisbawahi kengerian insiden tersebut.

Peristiwa bermula ketika sebuah kotak besar tiba di kantor Tempo atas nama Francisca. Mengira itu kiriman biasa, ia terkejut mendapati isinya adalah kepala babi yang sudah membusuk dan termutilasi.

“Saya kaget, saya menangis, dan langsung dievakuasi oleh beberapa teman saya,” tutur Francisca, mengungkapkan ketakutannya bahwa teror tersebut dapat membahayakan keluarganya.

Teror tak berhenti di situ. Beberapa hari kemudian, enam ekor tikus tanpa kepala, dibungkus kertas berhias bunga mawar, kembali dikirim ke kantor Tempo. Ancaman verbal pun membanjiri media sosial Tempo, salah satunya berbunyi, “Apakah kepala babi sudah cukup? Kalau tidak, saya bisa kirim lebih banyak lagi.”

Wakil Pemimpin Redaksi Tempo, Bagja Hidayat, menyatakan bahwa meskipun Tempo telah terbiasa menghadapi tekanan – termasuk dua kali pembredelan di era Soeharto, bom, doxing, hingga peretasan – ancaman kali ini terasa berbeda dan lebih menakutkan.

“Sekarang ini sangat bersifat fisik. Untuk pertama kalinya hewan dan organ digunakan sebagai pembawa pesan,” ujarnya kepada The Guardian.

Bagja menjelaskan adanya muatan simbolis dalam ancaman tersebut. Pengiriman kepala babi, hewan yang dagingnya dianggap haram bagi mayoritas Muslim di Indonesia, jelas merupakan penghinaan. Sementara enam tikus tanpa kepala diduga kuat ditujukan kepada enam pembawa acara podcast populer Tempo, “Bocor Alus Politik,” yang kerap membahas isu politik sensitif.

Francisca adalah salah satu pembawa acara tersebut, dan satu-satunya perempuan. Ia baru-baru ini aktif menulis laporan investigasi mengenai dugaan skandal pemilu, peradilan, serta revisi kontroversial undang-undang militer. “Teror ini terkait dengan tulisan saya,” tegas Francisca.

Insiden ini memicu kritik terhadap respons pemerintah. Saat dimintai tanggapan awal, juru bicara kepresidenan, Hasan Nasbi, sempat melontarkan komentar bernada meremehkan agar kepala babi itu “dimasak saja,” yang menuai kecaman luas.

Hasan kemudian mengklarifikasi bahwa pemerintah tetap berkomitmen pada kebebasan pers dan polisi sedang menyelidiki kasus ini. Namun, Francisca juga melaporkan mengalami doxing, peretasan nomor telepon ibunya, dan panggilan ancaman yang diterima kerabatnya.

Serangan ini terjadi beberapa minggu setelah Presiden Prabowo Subianto secara terbuka menuding adanya elemen media yang disusupi “antek asing”.

Ross Tapsell, pakar media Indonesia dari Universitas Nasional Australia, menyebut kasus ini sebagai ujian krusial bagi pemerintahan Prabowo. “Respons yang sembrono atau acuh tak acuh akan menandakan bahwa jurnalis adalah target serangan yang sah,” ujarnya, sembari menyoroti konteks meningkatnya serangan misoginis terhadap jurnalis perempuan di Asia Tenggara yang dipicu oleh kepemimpinan maskulin dan militeristik.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) serempak mengutuk keras serangan ini, menyebutnya sebagai “ancaman pembunuhan simbolis” yang merusak hak publik atas informasi berkualitas.

“Presiden Prabowo Subianto harus menegakkan kebebasan pers dan mengutuk tindakan yang sangat provokatif ini jika ia ingin Indonesia dianggap serius sebagai negara demokrasi,” tegas Beh Lih Yi, koordinator program CPJ untuk Asia.

Pendiri Tempo, Goenawan Mohamad, menyebut ancaman ini sebagai “tanda kepengecutan” dan mengingatkan potensi adanya langkah rezim untuk meninjau kembali undang-undang pers, menyusul upaya sebelumnya di era Jokowi yang sempat mengusulkan larangan “jurnalisme investigasi eksklusif” dalam revisi UU Penyiaran sebelum ditarik kembali akibat protes publik.

Meskipun insiden ini menimbulkan ketakutan dan potensi sensor mandiri di kalangan jurnalis, semangat perlawanan tetap ada. “Saya ingin mengatakan kepada semua jurnalis perempuan: jangan takut terhadap intimidasi, karena mereka yang mengintimidasi sebenarnya adalah mereka yang takut terhadap kebenaran,” pungkas Francisca, menegaskan tekadnya untuk terus menyuarakan kebenaran di tengah iklim yang mengancam kebebasan pers Indonesia (bn/dnv).

Exit mobile version