Kuasa hukum WNA China bantah senjata tajam di Ketapang, ungkap dugaan penyiksaan oleh oknum. Simak investigasi konflik PT SRM dan fakta hukumnya.
INDONESIAONLINE – Hutan belantara Ketapang yang kaya akan deposit mineral kembali memanas. Bukan karena deru mesin ekskavator yang mengeruk bumi, melainkan karena percikan darah dalam konflik yang melibatkan tenaga kerja asing dan aparat negara.
Penetapan status tersangka terhadap dua Warga Negara Asing (WNA) asal Tiongkok, berinisial WS dan WL, oleh Polda Kalimantan Barat (Kalbar) memicu babak baru dalam sengkarut pengelolaan tambang emas PT Sultan Rafli Mandiri (SRM).
Di permukaan, kasus ini tampak seperti insiden kriminal biasa: bentrokan fisik yang berujung pada tuduhan kepemilikan senjata tajam. Namun, jika digali lebih dalam, insiden yang terjadi pada Minggu, 14 Desember 2025 ini menyingkap lapisan persoalan yang kompleks—mulai dari sengketa internal korporasi, prosedur pengamanan objek vital, hingga dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang serius.
Narasi Kontradiktif: Drone vs Senjata Tajam
Senin, 29 Desember 2025, menjadi hari di mana kuasa hukum kedua tersangka, Cahyo Galang Satrio, melemparkan “bom” narasi yang berseberangan 180 derajat dengan rilis kepolisian. Cahyo dengan tegas membantah tuduhan bahwa kliennya melengkapi diri dengan senjata tajam saat insiden terjadi.
Menurut rekonstruksi versi kuasa hukum, pangkal masalah bermula dari perintah direksi perusahaan kepada tim teknis—yang di dalamnya termasuk WS dan WL—untuk menerbangkan drone. Tujuannya spesifik: memantau dan mendokumentasikan dugaan pencurian fasilitas tambang di area konsesi PT SRM.
“Klien kami tidak membawa senjata apa pun. Mereka hanya membawa ponsel, drone, dan kunci sepeda motor,” tegas Cahyo.
Klaim ini menjadi antitesis dari sangkaan penyidik yang menjerat mereka dengan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Dalam perspektif pembelaan, apa yang disebut “senjata” mungkin adalah interpretasi yang bias terhadap peralatan kerja lapangan.
Cahyo melukiskan situasi di lapangan sebagai kepanikan. Para pekerja asing tersebut dikepung oleh sekelompok orang berpakaian sipil—bukan seragam militer resmi—yang mencoba merampas alat dokumentasi mereka. Dalam situasi terdesak dan kendala bahasa, bentrokan fisik menjadi tak terelakkan sebagai bentuk pertahanan diri.
Lorong Gelap Truk Militer: Dugaan Penyiksaan
Bagian paling meresahkan dari pernyataan tim kuasa hukum bukanlah soal bantahan senjata tajam, melainkan kronologi pasca-penangkapan. Cahyo mengungkap adanya dugaan tindakan eksesif dan penyiksaan yang terjadi di dalam truk militer saat proses pemindahan 21 pekerja menuju kantor Imigrasi pada Senin malam, 15 Desember 2025.
Perjalanan selama empat jam tersebut digambarkan sebagai mimpi buruk. Cahyo merinci dugaan kekerasan yang dialami kliennya: pukulan menggunakan helm, cambukan ikat pinggang, hingga sundutan rokok. Tuduhan ini sangat serius karena melibatkan oknum berseragam mirip tentara.
“Uang dan rokok para pekerja juga dirampas. Uang yang hilang antara lain 200 yuan dan lebih dari Rp 5 juta,” ungkap Cahyo.
Jika tuduhan ini terbukti benar, maka telah terjadi pelanggaran berat terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 5 Tahun 1998.
Sikap Tegas Polda Kalbar dan Fakta Hukum
Di sisi lain meja hijau, Polda Kalbar berdiri teguh pada hasil penyidikan mereka. Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Kalbar, Kombes Raswin Bachtiar Sirait, menyatakan bahwa penetapan tersangka tidak dilakukan secara gegabah, melainkan berdasarkan scientific crime investigation yang didukung alat bukti dan keterangan saksi yang kuat.
Kapolda Kalbar, Irjen Pol Pipit Rismanto, memberikan konteks yang lebih luas. Ia tidak menampik bahwa akar masalah ini adalah konflik internal manajemen PT SRM. Konflik perebutan kendali manajemen di perusahaan tambang memang kerap terjadi di Indonesia, di mana masing-masing kubu seringkali menggunakan “tangan-tangan” keamanan untuk mengamankan aset.
Namun, Irjen Pipit menarik garis batas yang jelas antara sengketa korporasi dan tindak pidana murni. “Konflik internal menjadi tanggung jawab perusahaan, namun apabila terdapat dugaan tindak pidana seperti perusakan atau penyerangan, tetap diproses sesuai hukum,” tegasnya.
Pernyataan ini menegaskan bahwa hukum pidana tetap berjalan independen, terlepas dari siapa yang memegang kendali perusahaan.
Data dan Konteks: Investasi di Tengah Konflik
Kasus di PT SRM ini bukanlah kejadian tunggal dalam lansekap pertambangan di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Investasi/BKPM, Tiongkok konsisten menjadi salah satu investor terbesar di Indonesia dalam lima tahun terakhir, khususnya di sektor hilirisasi tambang. Namun, besarnya arus modal ini seringkali berbenturan dengan dinamika sosial dan keamanan lokal.
Konflik di PT SRM sendiri memiliki rekam jejak panjang. Perusahaan ini sebelumnya juga sempat menjadi sorotan terkait izin operasional dan hubungan industrial. Kehadiran aparat TNI di lokasi tambang sebenarnya memiliki dasar hukum, yakni Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Objek Vital Nasional (Obvitnas).
Namun, pelaksanaannya di lapangan seringkali menjadi area abu-abu, terutama ketika personel keamanan terjebak dalam friksi internal manajemen perusahaan.
Dalam kasus ini, bentrokan antara WNA dan personel TNI (yang disebut kuasa hukum berpakaian preman saat kejadian awal) menimbulkan pertanyaan mendasar tentang Standard Operating Procedure (SOP) pengamanan di area tambang yang sedang bersengketa.
Analisis: Mencari Titik Terang Keadilan
Penetapan tersangka terhadap WS dan WL adalah langkah awal proses hukum, namun bukan akhir dari pencarian keadilan. Terdapat dua narasi besar yang harus dibuktikan di pengadilan:
- Pembuktian Unsur Pidana Senjata Tajam: Jaksa Penuntut Umum harus bisa membuktikan bahwa benda yang dibawa tersangka benar-benar senjata tajam yang ditujukan untuk melukai, bukan peralatan kerja. Di sisi lain, pembelaan harus membuktikan bahwa tindakan kliennya adalah noodweer (pembelaan terpaksa) karena merasa terancam.
- Investigasi Dugaan Kekerasan Aparat: Tuduhan penyiksaan di dalam truk militer tidak boleh menguap begitu saja. Lembaga independen seperti Komnas HAM atau pengawas internal TNI (Puspom) perlu turun tangan untuk memverifikasi klaim Cahyo. Transparansi sangat diperlukan agar kasus ini tidak berkembang menjadi isu diplomatik yang mengganggu iklim investasi.
Kasus Ketapang ini menjadi ujian bagi profesionalisme Polri dalam menangani kasus yang melibatkan warga negara asing dan institusi militer. Publik menanti apakah hukum akan tajam ke segala arah—menghukum pelaku kekerasan (baik sipil maupun aparat) dan mengurai benang kusut mafia tambang yang sesungguhnya—atau hanya akan berhenti pada penetapan tersangka di level pekerja lapangan.
Bagi investor dan pekerja, kepastian hukum dan keamanan adalah mata uang yang paling berharga. Namun, bagi kemanusiaan, tidak ada toleransi bagi penyiksaan dan main hakim sendiri, apapun alasan di belakangnya.
