Soroti Sidang Pledoi, Arist Merdeka Sirait: Kuasa Hukum JE Lemah dan Terkesan Panik

Soroti Sidang Pledoi, Arist Merdeka Sirait: Kuasa Hukum JE Lemah dan Terkesan Panik

INDONESIAONLINE – Ketua Komnas Perlindungan Anak (PA), Arist Merdeka Sirait menanggapi hasil sidang pledoi (nota pembelaan) dari tim kuasa hukum terdakwa kasus dugaan kekerasan seksual, JE yang merupakan bos sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) Kota Batu.

Dalam sidang pledoi yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Malang, tim kuasa hukum JE yang dikomandoi Hotma Sitompul membeberkan sejumlah bukti bahwa sebenarnya kliennya tidak bersalah. Hotma menganggap bahwa perkara dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan hanya rekayasa.

Pada sidang pledoi itu, Hotma bersama timnya membeberkan mulai hasil visum korban, hingga temuan bukti bahwa korban bersama pacarnya di Bali hingga sering menginap di hotel.

Dari semua bukti yang dibeberkan tim kuasa hukum JE, Arist menilai bahwa semua tak ada relevansi dari apa yang dituntutkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Bahkan, dari situ Arist menilai tim kuasa hukum JE sangat lemah dalam sidang pledoi dan terkesan panik.

“Kejahatan seksual yang ditonjolkan kok soal keperawanan atau tidak. Terus check in, itu panik namanya. Kalau mau jujur, tunjukkan di pledoi siapa yang merekayasa. Ini gak ada. Tunjukkan lah. Ini lemah sekali,” ujar Arist saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Kamis (4/8/2022).

Sidang pledoi yang digelar Rabu (3/8/2022) kemarin dirasa Arist terkesan menyudutkan soal keperawanan hingga masalah check in ke hotel justru membuat kejahatan baru. Dalam hal ini, Arist menyimpulkan bahwa tim kuasa hukum terdakwa menganggap bahwa korban kekerasan seksual ini sebagai “sundal” atau pelacur.

“Jadi mereka mengkonstruksi bahwa perempuan sundal boleh dilakukan kekerasan seksual. Nah itu loh sangat menyakitkan arti perempuan dan korban. Ini merendahkan martabat anak dan perempuan,” ungkap Arist yang juga menyebut seluruh bukti yang dibacakan tim kuasa hukum JE saat sidang pledoi terkesan mengada-ngada atau tak sesuai dengan tuntutan.

Agenda sidang berikutnya ke-23, yakni replika/jawaban dari JPU yang rencananya digelar pada 10 Agustus 2022 mendatang, Arist berharap majelis hakim dapat mempertimbangkan lagi terkait tuntutan JPU.

Menurut Arist, masa tahanan yang dituntutkan JPU kepada JE, yakni 15 tahun dengan denda Rp 300 juta dan uang ganti rugi korban sebesar Rp 44 juta bisa saja ditambah saat putusan nanti.

Arist menjelaskan bahwa kemungkinan ada tambahan tuntutan itu melihat dari Undang-Undang Perlindungan Anak. Bahwa pelaku sebagai orang tua, guru hingga motivator dengan unsur-unsur rayu dan janji, maka bisa ditambah sepertiga dari pidana pokoknya.

“Jadi bisa saja 20 tahun. Ini ada kemungkinan ditambah, tapi itu nanti hakim yang memutuskan,” tutup Arist.