INDONESIAONLINE – Momen menyedihkan terjadi pada Natal di Bethlehem, Tepi Barat, Palestina. Tahun ini di tempat kelahiran Yesus Kristus tersebut, tak ada perayaan Natal seperti tahun-tahun sebelumnya.

Bahkan, pada momen Natal ini juga di tempat tersebut tampak sepi dan miris akibat eskalasi serangan Israel ke Gaza.

Tidak ada perayaan musik, upacara penyalaan pohon, maupun dekorasi khas Natal di Bethlehem. Perang yang tengah berkecamuk membuat kota ini menjadi kota yang sedang berduka.

Gambaran itu terasa di Gereja Lutheran. Di sana pendeta membuat simbolis penitipan anak berupa bayi Yesus yang tidak terbuat dari jerami dan kayu, melainkan dibalut kain keffiyeh -syal kotak-kotak bercorak hitam putih yang menjadi lambat identitas Palestina.

Baca Juga  Luhut: Pemerintah Pisahkan Media Sosial dan Dagang, Bukan Larang TikTok

Kemudian, bayi Yesus tersebut di antara puing-puing, seperti pecahan batu bata, batu, dan ubin yang mewakili kondisi sebagian besar kehancuran Gaza saat ini.

Seorang pendeta di Gereja Natal Evangelis Lutheran mengungkap momen  Natal yang begitu menyedihkan di Gaza.

“Kami terpaku pada layar, melihat anak-anak ditarik dari bawah reruntuhan dari demi hari. Kami terpukul oleh gambaran-gambaran ini,” ujar Pendeta Munther Isaac, seorang pendeta di Gereja Natal Evangelis Lutheran, dikutip dari New York Times, Senin (25/12/2023).

“Tuhan ada di bawah reruntuhan di Gaza. Di sinilah kita menemukan Tuhan saat ini,” ucapnya menambahkan.

Para pemimpin gereja di Yerusalem sebelumnya dalam sebuah pernyataannya meminta agar para jemaat tidak melakukan perayaan Natal yang tidak perlu. Jemaat diminta fokus pada makna spiritual Natal dalam kegiatan pastoral dan perayaan liturgi mereka.

Baca Juga  Debat Cawapres Kerek Naik Elektabilitas, Kawan Gibran Yakin Prabowo-Gibran Menang Satu Putaran

Diperkirakan ada 35 ribu umat Kristen di wilayah Bethlehem. Biasanya, pohon Natal raksasa didirikan di pusat kota. Tetapi tahun ini tidak ada. Perang menimbulkan dampak buruk, terutama di tempat kelahiran Yesus tersebut.

“Kami akan menghindari musik, upacara di luar ruangan, dan dekorasi di luar ruangan,” kata Pendeta Rami Asakrieh.

Sejak 7 Oktober 2023, serangan brutal Israel ke Gaza menyebabkan lebih dari 20.000 warga Palestina tewas. Warga juga mengalami krisis air dan kebutuhan dasar lainnya. (mut/hel)