Analisis mendalam eksekusi Ki Ageng Pengging oleh Demak. Benturan tafsir agama, intrik politik warisan Majapahit, dan lahirnya Pajang.
INDONESIAONLINE – Di hamparan tanah subur yang kini dikenal sebagai Kabupaten Boyolali, lima abad silam pernah terjadi sebuah peristiwa berdarah yang mengubah trajektori sejarah Jawa. Bukan perang kolosal yang melibatkan ribuan pasukan, melainkan sebuah dialog sunyi yang berujung pada hunusan keris.
Kematian Ki Ageng Pengging atau Kebo Kenanga di tangan utusan Kesultanan Demak Bintoro, Sunan Kudus, bukan sekadar eksekusi terpidana ajaran sesat. Di balik tuduhan bidah Manunggaling Kawula Gusti, tersimpan bara persaingan geopolitik antara “Negara Pesisir” yang sedang naik daun dan “Negara Pedalaman” yang mencoba mempertahankan otonominya.
Tragedi yang diperkirakan terjadi pada dasawarsa 1540-an ini menjadi titik balik penting dalam transisi kekuasaan dari sisa-sisa Majapahit menuju hegemoni Islam di Jawa. Peristiwa ini adalah manifestasi klasik dari paranoia penguasa baru terhadap kekuatan lama yang belum sepenuhnya tunduk.

Membaca Ulang Vonis Demak
Dalam narasi mainstream yang sering dikutip dari Babad Tanah Jawi, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena menolak menghadap Sultan Demak dan bersikukuh mengajarkan ajaran gurunya, Syekh Siti Jenar, yang dianggap menyimpang dari syariat Islam (Wali Songo).
Namun, jika dibedah lebih dalam, alasan teologis ini tampak sebagai political tool (alat politik) yang efektif untuk menyingkirkan rival.
Sejarawan H.J. de Graaf dan T.G.Th. Pigeaud dalam buku Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, mencatat bahwa posisi Kebo Kenanga sangatlah problematis bagi legitimasi Sultan Trenggana di Demak. Kebo Kenanga adalah cucu Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit.
Darah biru yang mengalir di tubuhnya menjadikan Pengging sebagai entitas politik yang memiliki legitimasi kultural lebih kuat di mata masyarakat pedalaman (Kejawen) dibandingkan Demak yang berbasis di pesisir utara.
Pengging bukan sekadar desa. Secara geopolitik, wilayah ini adalah lumbung padi yang vital di hulu Bengawan Solo. Siapapun yang menguasai Pengging, memegang kunci ketahanan pangan Jawa Tengah bagian selatan. Bagi Demak yang sedang ekspansif, membiarkan Pengging tetap otonom di bawah pimpinan seorang keturunan Majapahit yang karismatik adalah “bom waktu”.
Benturan Dua Paradigma: Syariat vs Hakikat
Konflik antara Sunan Kudus dan Ki Ageng Pengging merepresentasikan benturan dua paradigma besar dalam sejarah Islam Jawa: Islam Legalistik-Formalis (Pesisiran) melawan Islam Mistik-Substansialis (Pedalaman).
Sunan Kudus datang membawa mandat negara. Dalam struktur pemerintahan teokrasi Demak, kepatuhan kepada Sultan adalah bagian dari kepatuhan kepada Tuhan. Doktrin ini penting untuk menjaga stabilitas negara yang baru seumur jagung. Sebaliknya, Ki Ageng Pengging mengamalkan Sasahidan atau Manunggaling Kawula Gusti (Bersatunya Hamba dan Tuhan).
Ajaran ini dinilai subversif bukan hanya karena aspek teologisnya yang “meng-Tuhan-kan diri”, tetapi karena implikasi sosialnya. Jika setiap individu merasa memiliki otoritas ilahiah dalam dirinya, maka hierarki sosial feodal dan otoritas mutlak raja menjadi tidak relevan. Inilah yang ditakuti oleh kekuasaan pusat. Kemandirian spiritual rakyat Pengging adalah antitesis dari sentralisasi kekuasaan Demak.
“Syariat adalah kulit, hakikat adalah isi,” demikian pembelaan Ki Ageng yang sering dikutip dalam berbagai serat. Bagi Pengging, Demak terlalu sibuk mengurusi kulit (formalitas hukum) hingga melupakan esensi kemanusiaan dan ketuhanan.
Detik-Detik Eksekusi: Simbolisme Keris Kyai Setan Kober
Prosesi eksekusi Ki Ageng Pengging dilukiskan dengan sangat dramatis dalam historiografi Jawa. Tidak ada perlawanan fisik. Ki Ageng Pengging justru menunjukkan kelasnya sebagai seorang Wali Mastur (wali yang tersembunyi).
Ia memilih jalan kematiannya sendiri—sebuah konsep yang dalam budaya Jawa dikenal sebagai tapa brata atau pati obong dalam konteks spiritual, meski eksekusinya dilakukan melalui keris Sunan Kudus.
Penggunaan Keris Kyai Setan Kober atau dalam beberapa versi disebut pusaka Sunan Kudus, memiliki makna simbolis. Keris adalah simbol kedaulatan. Menusukkan keris ke tubuh Ki Ageng bukan sekadar membunuh raga, melainkan upaya mematikan kedaulatan Pengging di hadapan Demak.
Ki Ageng wafat dalam posisi duduk, sebuah tanda ketenangan batin yang sempurna. Kematian ini justru menjadi pukulan moral bagi Demak. Alih-alih dilihat sebagai penjahat negara, Ki Ageng gugur sebagai martir. Darahnya seolah menyuburkan tanah Pengging, yang kelak melahirkan kekuatan baru yang justru menelan Demak.

Jejaring Perlawanan Sipil Abad ke-16
Penting untuk dicatat bahwa Pengging tidak berdiri sendiri. Analisis dari sejarawan M.C. Ricklefs menunjukkan adanya jejaring “masyarakat sipil” yang kuat di pedalaman Jawa saat itu. Ki Ageng Pengging adalah bagian dari “Empat Serangkai” murid Syekh Siti Jenar, bersama Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Ngerang, dan Ki Ageng Butuh.
Mereka membentuk aliansi spiritual dan politik yang menolak dominasi Wali Songo yang berpusat di Demak. Penghancuran Pengging adalah langkah strategis Demak untuk memutus mata rantai jaringan ini satu per satu. Operasi militer berbalut misi agama ini bertujuan melumpuhkan basis-basis perlawanan di wilayah agraris.
Data sejarah menunjukkan, pasca kematian Ki Ageng Pengging, wilayah tersebut tidak serta merta hancur. Justru terjadi asimilasi budaya yang unik. Demak berhasil menaklukkan wilayahnya secara fisik, namun gagal menaklukkan jiwanya.
Ironi Sejarah: Balas Dendam yang Cantik
Sejarah selalu memiliki cara unik untuk membalas dendam. Pramoedya Ananta Toer dalam tafsir sejarahnya sering menyoroti siklus kekuasaan di Jawa. Upaya Demak memusnahkan trah Pengging justru menjadi awal kehancuran mereka sendiri.
Putra Ki Ageng Pengging, Mas Karebet (Jaka Tingkir), yang selamat dari tragedi tersebut, ironisnya justru mengabdi ke Demak. Ia tumbuh menjadi pemuda yang cerdas, sakti, dan menyerap ilmu dari kedua sisi: mistisisme ayahnya dan strategi politik Demak.
Kelak, Mas Karebet-lah yang mendirikan Kesultanan Pajang, kerajaan Islam pertama di pedalaman Jawa yang menggeser pusat kekuasaan dari pesisir Demak kembali ke pedalaman. Pajang adalah “reinkarnasi” dari Pengging dalam bentuk yang lebih besar.
Naiknya Jaka Tingkir menjadi Sultan Hadiwijaya adalah bukti bahwa “Matahari Pengging” tidak benar-benar gugur. Ia hanya terbenam sebentar untuk terbit kembali dengan sinar yang lebih terang.
Kemenangan Sunan Kudus dan Demak pada hari eksekusi itu ternyata hanya kemenangan taktis sesaat, sementara kemenangan strategis jangka panjang justru diraih oleh arwah Ki Ageng Pengging melalui keturunannya.
Mempelajari kasus Pengging memberikan pelajaran berharga bagi konteks kebangsaan hari ini. Bahwa penyeragaman ideologi (homogenisasi) yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan oleh negara terhadap kelompok minoritas atau yang berbeda pandangan, seringkali tidak menyelesaikan masalah hingga ke akar.
Tindakan represif mungkin mematikan gerakan fisik, namun seringkali justru menyuburkan ideologi perlawanan di bawah tanah. Pengelolaan perbedaan, baik itu agama maupun politik, membutuhkan dialog yang setara, bukan hunusan keris atau arogansi kekuasaan.
Gugurnya Ki Ageng Pengging adalah monumen pengingat bahwa kebenaran tidak bisa dimonopoli oleh satu pihak, bahkan oleh negara sekalipun.
Referensi:
H.J. de Graaf dan T.G.Th. Pigeaud: Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (Terjemahan dari De Eerste Moslimse Vorstendommen op Java).
M.C. Ricklefs: Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 (A History of Modern Indonesia since c. 1200).
Agus Sunyoto: Atlas Wali Songo.
Babad Tanah Jawi (Versi W.L. Olthof atau Meinsma)













