Beranda

Trump dan Perang Media: Ancaman Ilegal di Tengah Badai Hukum

Trump dan Perang Media: Ancaman Ilegal di Tengah Badai Hukum
Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali melakukan kebijakan kontroversial terkait pemberitaan pers yang disebutnya ilegal (ai/io)

Presiden Trump mengklaim liputan media “ilegal,” memicu perdebatan sengit tentang kebebasan pers di AS. Analisis Depthnews mengungkap dampak klaim ini terhadap lanskap media dan demokrasi, serta kemunduran hukum yang dihadapi Trump.

INDONESIAONLINE – Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali melancarkan serangan verbal yang memanaskan suhu politik dan jurnalisme di negaranya. Pada Jumat (19/9/2025), dari Ruang Oval Gedung Putih, Trump menyebut liputan negatif terhadap dirinya sebagai sesuatu yang “ilegal,” memicu gelombang perdebatan tentang batasan kebebasan berbicara dan peran pemerintah dalam mengawasi media.

“Mereka akan mengambil berita yang bagus dan mereka akan membuatnya buruk. Begini, saya pikir itu benar-benar ilegal, secara pribadi,” ujar Trump, seperti dikutip dari kantor berita AFP.

Pernyataan ini bukan sekadar retorika kosong. Sepanjang tahun ini, Trump telah mengajukan serangkaian gugatan hukum terhadap media-media besar AS. Presiden yang kini berusia 79 tahun itu dikenal sebagai penonton televisi yang cermat, mengklaim bahwa 97% liputan tentang dirinya dan pemerintahannya—terutama dari jaringan televisi nasional—bersifat negatif.

Klaim ini, meskipun belum terbukti secara empiris melalui studi independen berskala besar, mencerminkan persepsi yang mendalam di basis pendukungnya dan menggarisbawahi polarisasi media AS.

Intervensi Pemerintah dan Kontroversi FCC

Fokus kritik Trump kali ini secara spesifik mengarah pada jaringan ABC, menyusul keputusan mereka menangguhkan acara komedian Jimmy Kimmel tanpa batas waktu. Penangguhan ini terjadi setelah Kimmel membuat pernyataan kontroversial mengenai aktivis konservatif Charlie Kirk.

Tak lama setelahnya, Brendan Carr, Ketua Komisi Komunikasi Federal (FCC), mengecam pernyataan Kimmel dan mengancam akan memberikan sanksi terhadap penyiar yang menayangkannya. Trump, dalam langkah yang menarik perhatian, memuji Carr sebagai “patriot Amerika yang luar biasa dan berani.”

Langkah Carr, bagaimanapun, menuai badai kontroversi, bahkan di kalangan Partai Republik. Senator Texas, Ted Cruz, menyuarakan kekhawatirannya atas potensi penyalahgunaan kekuasaan pemerintah untuk mendikte jenis pidato yang diizinkan.

“Saya harus bilang itu persis seperti film Goodfellas,” ujar Cruz, merujuk pada metafora mafia yang mengancam sebuah bisnis.

“Itu persis seperti seorang mafia yang datang ke bar dan berkata, ‘Bar yang bagus di sini. Sayang sekali jika terjadi sesuatu padanya.’” Komentar Cruz menyoroti bahaya yang dapat dibentuk jika pemerintah mulai secara langsung mengintervensi program media berdasarkan konten politik.

Data dan Konteks: Gelombang Gugatan dan Kemunduran Hukum

Retorika Trump tentang media “ilegal” datang di tengah tren peningkatan gugatan pencemaran nama baik oleh figur publik di AS. Menurut laporan dari Pew Research Center, terjadi peningkatan 15% dalam kasus-kasus hukum terkait pencemaran nama baik yang diajukan oleh pejabat publik dan tokoh politik dalam lima tahun terakhir (2020-2025).

Meskipun banyak dari kasus ini gagal, tujuannya seringkali adalah untuk memberi tekanan finansial pada organisasi berita dan menghalangi pelaporan kritis.

Menariknya, di tengah eskalasi perdebatan ini, Trump justru menghadapi kemunduran signifikan dalam upaya hukum pribadinya terhadap media. Pekan ini, seorang hakim federal menolak gugatan pencemaran nama baik senilai 15 miliar dollar AS (setara Rp 248,24 triliun) yang diajukan Trump terhadap The New York Times, dengan tegas menyatakan gugatan itu “tidak berdasar.”

Sebelumnya, Trump juga menggugat The Wall Street Journal dan perusahaan induknya, News Corp, senilai 10 miliar dollar AS atau sekitar Rp 163 triliun.

Implikasi Terhadap Demokrasi dan Kebebasan Pers

Klaim Trump yang menyebut liputan media “ilegal,” ditambah dengan intervensi FCC dan serangkaian gugatan hukumnya, menciptakan iklim yang mengkhawatirkan bagi kebebasan pers di Amerika Serikat. Organisasi seperti Committee to Protect Journalists (CPJ) dan Reporters Without Borders (RSF) secara konsisten menyatakan kekhawatiran tentang retorika anti-media yang semakin agresif.

Menurut Indeks Kebebasan Pers Global RSF tahun 2024, Amerika Serikat menempati peringkat ke-45 dari 180 negara, sedikit menurun dari tahun sebelumnya, dengan salah satu faktor penentu adalah “iklim permusuhan terhadap jurnalis.”

Para ahli hukum dan jurnalisme berpendapat bahwa upaya untuk mendefinisikan liputan kritis sebagai “ilegal” dapat mengikis fondasi Amendemen Pertama Konstitusi AS, yang menjamin kebebasan berbicara dan pers. Ini bukan hanya tentang pandangan politik, tetapi tentang hak dasar media untuk melaporkan tanpa rasa takut akan pembalasan pemerintah.

Pertarungan Trump dengan media bukan fenomena baru, namun klaim “ilegal” ini menandai eskalasi baru yang berpotensi memiliki dampak jangka panjang terhadap peran media sebagai penjaga demokrasi di Amerika Serikat. Bagaimana pengadilan dan publik merespons tantangan ini akan menentukan arah kebebasan pers di masa depan.

Exit mobile version