Sungai Tigris di ambang kematian akibat polusi dan bendungan Turki. 18 juta jiwa dan ritual kuno Mandaean terancam punah. Simak analisis mendalamnya.
INDONESIAONLINE – Mesopotamia, dalam bahasa Yunani kuno, berarti “tanah di antara sungai-sungai”. Selama ribuan tahun, peradaban manusia tumbuh subur di antara pelukan Sungai Tigris dan Eufrat.
Namun hari ini, definisi itu terancam runtuh. Sungai Tigris, nadi yang menghidupi 18 juta rakyat Irak, kini tak lebih dari saluran limbah raksasa yang mengering, menandai potensi berakhirnya sebuah era peradaban di tanah “Negeri 1001 Malam”.
Laporan terbaru menyingkap realitas mengerikan: Tigris sedang sekarat. Kombinasi mematikan dari perubahan iklim, polusi akut akibat infrastruktur yang hancur pasca-perang, serta “perang air” geopolitik dengan negara tetangga, telah mendorong sungai ini ke titik nadir ekologis.
Warisan Perang dan Limbah Beracun
Kehancuran Tigris bukan proses alami semata. Ia adalah korban tak langsung dari konflik berkepanjangan. Infrastruktur pengolahan air Irak hancur lebur sejak Operasi Desert Storm 1991 dan invasi AS 2003, dan tak pernah benar-benar pulih.
Data menunjukkan statistik yang mengkhawatirkan: hanya 30 persen rumah tangga perkotaan yang terhubung ke sistem pengolahan limbah yang layak. Di pedesaan, angkanya anjlok hingga 1,7 persen. Akibatnya, limbah domestik, medis, hingga residu industri minyak dibuang langsung ke sungai tanpa filtrasi.
“Kualitas air bergantung pada kuantitasnya,” ujar Salman Khairalla, pendiri Humat Dijlah.
Ketika volume air menyusut drastis, konsentrasi racun meningkat tajam. Tragedi Basra tahun 2018, di mana 118.000 orang keracunan air, adalah “trailer” dari bencana kesehatan nasional yang kini mengintai Baghdad.
Tercekik di Hulu: Diplomasi “Minyak untuk Air”
Namun, ancaman terbesar datang dari hulu. Turki dan Iran, negara tetangga yang menguasai hulu sungai, telah membangun serangkaian bendungan raksasa yang mencekik aliran air ke Irak. Aliran air ke Baghdad tercatat anjlok hingga 33 persen akibat proyek bendungan Turki.
Pemerintah Irak, dalam posisi tawar yang lemah, mencoba manuver diplomasi. Pada November lalu, kesepakatan kontroversial ditandatangani dengan Turki. Kesepakatan ini dijuluki skema “minyak untuk air”—Irak membayar proyek irigasi yang dikerjakan kontraktor Turki menggunakan uang minyak, dengan harapan Turki mau membuka keran air lebih deras.
Mantan Menteri Sumber Daya Air Irak, Mohsen al-Shammari, mengkritik keras langkah ini. Ia menyebutnya sebagai “propaganda pemilu” yang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Tanpa perjanjian internasional yang tegas, kedaulatan air Irak tetap berada di bawah kendali Ankara.
Kematian Spiritual Kaum Mandaean
Dampak krisis ini melampaui urusan perut dan ekonomi. Bagi komunitas Mandaean, penyusutan Tigris adalah kiamat spiritual. Sebagai penganut salah satu agama gnostik tertua di dunia, seluruh ritual suci mereka—mulai dari pembaptisan, pernikahan, hingga ritus kematian—bergantung pada air yang mengalir (air hidup).
“Tidak ada air, tidak ada kehidupan,” rintih Sheikh Nidham Kreidi al-Sabahi.
Populasi Mandaean di Irak kini tersisa kurang dari 10.000 jiwa. Jika Tigris berhenti mengalir, atau airnya menjadi terlalu beracun untuk disentuh kulit, maka praktik keagamaan yang telah bertahan ribuan tahun itu akan punah, terhapus dari peta sejarah manusia bersamaan dengan mengeringnya sungai suci mereka.
Boks Data
Untuk memahami skala krisis ini, berikut adalah data pendukung dan konteks regional yang relevan:
- Indeks Kerentanan Iklim (UNEP): PBB menetapkan Irak sebagai satu dari 5 negara paling rentan di dunia terhadap dampak perubahan iklim dan kekeringan ekstrem. Suhu di Irak meningkat 2-7 kali lebih cepat dari rata-rata global.
- Proyek GAP Turki (Penyebab Utama di Hulu): Penurunan debit air Tigris-Eufrat tak lepas dari Southeastern Anatolia Project (GAP) milik Turki. Proyek raksasa ini mencakup pembangunan 22 bendungan dan 19 pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di hulu sungai, yang secara drastis mengurangi jatah air bagi negara hilir (Suriah dan Irak).
- Data Sektor Pertanian: Pertanian Irak menyerap 85% air permukaan, namun mayoritas menggunakan metode irigasi banjir (genangan) kuno yang sangat boros air. Inefisiensi ini memperparah kelangkaan air di saat pasokan dari hulu berkurang.
- Sejarah Kota Kuno: Surutnya air di Waduk Mosul (bendungan di aliran Tigris) baru-baru ini menyingkap reruntuhan Kota Zakhiku, pusat Kekaisaran Mittani berusia 3.400 tahun. Ironisnya, sejarah masa lalu ini muncul justru karena bencana kekeringan masa kini.
