Beranda

Badai Resign Guncang Militer Israel: Krisis Internal & Lelah Perang

Badai Resign Guncang Militer Israel: Krisis Internal & Lelah Perang
Ilustrasi tentara Israel yang gantung baju (resign) dari IDF (io)

Eksodus masal guncang militer Israel di akhir 2025. Ratusan perwira ajukan resign akibat kelelahan perang Gaza dan gaji rendah. Simak analisis krisis internal IDF.

INDONESIAONLINE – Citra tak terkalahkan yang selama ini dibangun oleh Angkatan Pertahanan Israel (IDF) kini tengah menghadapi ancaman serius. Bukan dari serangan rudal eksternal, melainkan dari keruntuhan internal yang merayap diam-diam namun mematikan.

Laporan terbaru yang dirilis pada pertengahan Desember 2025 mengungkap fakta mengejutkan: militer Israel sedang dilanda gelombang pengunduran diri (resign) besar-besaran dari tulang punggung utamanya—para perwira dan bintara karier.

Harian terkemuka Israel, Yedioth Ahronoth, dalam laporannya yang dikutip TRT World, Selasa (17/12/2025), menyebut situasi ini sebagai sebuah “eksodus”. Ini bukan sekadar rotasi personel biasa.

Sebanyak 500 permohonan pengunduran diri telah menumpuk di meja administrasi militer, diajukan oleh mereka yang seharusnya menjadi komandan lapangan dan pemimpin taktis dalam struktur dinas permanen.

Fenomena ini menandai titik balik kritis bagi institusi militer yang telah terjebak dalam konflik berkepanjangan di Jalur Gaza selama lebih dari dua tahun sejak Oktober 2023.

Kelelahan Mental dan “Attrisi” yang Mematikan

Mengapa angka 500 ini begitu mengkhawatirkan bagi para jenderal di Tel Aviv? Dalam struktur militer, perwira dan bintara karier adalah “sistem saraf” yang menggerakkan pasukan. Berbeda dengan wajib militer (wamil) yang datang dan pergi, atau tentara cadangan (reservist) yang dipanggil sewaktu-waktu, personel dinas permanen adalah profesional yang menjaga kontinuitas operasional dan strategi.

Laporan tersebut menyoroti faktor attrisi—pengurangan kekuatan secara bertahap akibat tekanan terus-menerus—sebagai penyebab utama. Operasi genosida yang dilakukan Israel di Gaza tidak hanya menghancurkan wilayah tersebut, tetapi juga memukul balik psikologis para pelakunya. Tingkat kelelahan (burnout) di kalangan perwira mencapai level yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Data pendukung dari lembaga kesehatan mental di Israel sepanjang tahun 2024-2025 menunjukkan lonjakan kasus gangguan stres pascatrauma (PTSD) di kalangan personel militer. Beban moral dan fisik akibat perang kota yang tak berkesudahan, ditambah dengan ketidakpastian kapan konflik akan berakhir, membuat banyak perwira memilih meletakkan senjata dan seragam mereka demi kewarasan mental.

Faktor Ekonomi: Gaji Rendah di Tengah Inflasi Perang

Selain faktor psikologis, alasan rasionalitas ekonomi menjadi pemicu dominan. Patriotisme saja terbukti tidak cukup untuk membayar tagihan di tengah ekonomi Israel yang tertekan biaya perang.

Para perwira dan bintara mengeluhkan struktur gaji yang dinilai tidak lagi relevan dengan risiko yang mereka hadapi. Yedioth Ahronoth mencatat bahwa permintaan keluar ini berkaitan erat dengan persoalan kompensasi finansial yang rendah.

Situasi diperparah oleh kelambanan politik di tingkat parlemen. Knesset, parlemen Israel, menjadi sorotan tajam karena kegagalannya dalam menyetujui rancangan amandemen undang-undang terkait pensiun militer. Amandemen ini sejatinya dirancang untuk menaikkan hak pensiun personel karier sebesar 7 hingga 11 persen. Kenaikan ini diharapkan menjadi insentif agar para perwira tetap bertahan.

Namun, birokrasi yang lambat dan perdebatan alot di parlemen membuat para tentara merasa ditinggalkan oleh politisi yang mengirim mereka ke medan perang. Keterlambatan persetujuan ini memperdalam jurang ketidakpuasan.

Bagi seorang perwira muda dengan keluarga, ketidakpastian jaminan masa tua dan gaji yang stagnan di tengah inflasi tinggi adalah alasan kuat untuk beralih ke sektor swasta, terutama sektor teknologi tinggi (high-tech) Israel yang selalu haus akan talenta berdisiplin tinggi dengan gaji yang jauh lebih menggiurkan.

Ancaman “Kekosongan Komando”

Pejabat militer Israel telah membunyikan alarm bahaya. Mereka memperingatkan bahwa tren pengunduran diri ini menyebar di hampir semua kelompok usia dan jenjang kepangkatan. Ini berarti militer terancam kehilangan perwira muda yang energik hingga perwira menengah yang berpengalaman.

Jika tren ini berlanjut tanpa intervensi drastis, sumber militer memperkirakan kekuatan keseluruhan angkatan bersenjata Israel akan mengalami degradasi kualitas yang signifikan dalam waktu dekat. Kesiapan institusional terancam lumpuh. Sebuah pasukan tanpa perwira yang kompeten ibarat tubuh tanpa kepala; ia mungkin masih memiliki otot (prajurit), tetapi kehilangan arah dan kemampuan pengambilan keputusan taktis.

Krisis ini terjadi di saat yang paling buruk. Dengan tekanan operasional yang terus meningkat—baik dari front Gaza yang belum stabil maupun potensi eskalasi di perbatasan utara—Israel membutuhkan militer yang solid lebih dari sebelumnya. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya: mesin perang itu sedang kehilangan sekrup-sekrup utamanya.

Gelombang pengunduran diri ini mengirimkan pesan kuat kepada publik Israel dan dunia internasional: bahwa biaya perang tidak hanya dihitung dari jumlah amunisi yang ditembakkan atau anggaran negara yang dihabiskan, tetapi juga dari hancurnya moral dan loyalitas para prajurit yang dipaksa bertempur dalam perang tanpa ujung. Bagi Perdana Menteri dan kabinet perang Israel, ini adalah bom waktu demografi militer yang siap meledak kapan saja.

Exit mobile version