Gelombang protes menolak kenaikan PBB hingga 1.000% melanda Pati, Cirebon, hingga Bone. Analisis mendalam mengungkap minimnya partisipasi publik sebagai bom waktu yang memicu kemarahan massa dan krisis kepercayaan terhadap pemerintah daerah.
INDONESIAONLINE – Api kemarahan itu akhirnya meledak di Alun-Alun Pati pada Rabu, 13 Agustus 2025. Puluhan ribu warga tumpah ruah, bukan hanya untuk menuntut pembatalan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PBB-P2) sebesar 250 persen, tetapi juga mendesak sang bupati untuk turun dari takhtanya. Meskipun kebijakan telah ditarik dan maaf telah terucap, nasi sudah menjadi bubur. Kepercayaan publik terlanjur terkoyak.
Kasus Pati bukanlah anomali. Ia adalah puncak gunung es dari persoalan krusial yang menjalar di berbagai daerah di Indonesia: kebijakan publik yang dibuat di ruang hampa, tanpa suara dan persetujuan mereka yang paling terdampak.
Gelombang protes serupa yang membentang dari Cirebon, Jombang, Semarang, hingga Bone menjadi sinyal kuat bahwa ada yang salah dalam cara pemerintah daerah mengelola kebijakannya, terutama yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Akar Masalah: Partisipasi Publik yang Diabaikan
Di balik angka kenaikan PBB yang fantastis, tersembunyi benang merah persoalan yang sama: arogansi kebijakan dan matinya ruang dialog. Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman Suparman, menyoroti bahwa pemerintah daerah, seperti dalam kasus Pati, secara terang-terangan mengabaikan prinsip fundamental demokrasi.
“Penentuan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang menjadi dasar kenaikan pajak adalah substansi yang seharusnya dibicarakan secara terbuka. Ini bukan sekadar angka, ini menyangkut beban hidup warga,” tegas Herman.
Padahal, amanat untuk melibatkan masyarakat sudah sangat jelas, baik dalam putusan Mahkamah Konstitusi maupun Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2017. Kewajiban hukum ini dilanggar, memicu reaksi keras yang diperparah oleh sikap Bupati Sudewo yang dinilai arogan, hingga memantik tuntutan pemakzulan.
Fenomena Pati dengan cepat menular. Di berbagai penjuru negeri, warga yang merasa senasib mulai bergerak. Di Cirebon, Paguyuban Pelangi Cirebon turun ke jalan menolak kenaikan PBB yang bahkan lebih gila, mencapai 1.000 persen.
“Kebijakan ini sangat memberatkan. Contoh di Pati sudah cukup menjadi alasan kebijakan ini harus batal,” seru juru bicara, Hetta Mahendrati.
Jombang pun mulai bergerak. Protes diwujudkan dengan cara unik. Warga membayar pajak menggunakan ratusan koin sebagai simbol perlawanan atas lonjakan PBB dari Rp300 ribu menjadi Rp1,2 juta. Aksi ini memaksa Bupati Warsubi berjanji tak akan menaikkan tarif hingga 2027.
Di Bone Sulawesi Selatan, penolakan kenaikan PBB hingga 300 persen berakhir ricuh. Mahasiswa dari HMI Cabang Bone terlibat bentrok dengan aparat saat mencoba menerobos Gedung DPRD.
Ironisnya, Ketua DPRD Bone sendiri mengaku terkejut dan menyatakan kebijakan tersebut belum sah karena masih dalam tahap pembahasan. Serta di Semarang, walaupun Bupati Ngesti Nugraha berdalih kenaikan tidak merata dan hanya menyasar wilayah strategis, riak-riak penolakan tetap muncul, menunjukkan sensitivitas isu ini di tengah masyarakat.
Pola yang Sama: Minim Sosialisasi, Maksimal Reaksi
Dari Pati hingga Bone, pola yang terlihat sangat jelas. Pemerintah daerah berdalih kenaikan PBB perlu dilakukan untuk menyesuaikan NJOP yang sudah lama tidak diperbarui dan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun, niat baik yang tidak dikomunikasikan dengan baik justru berubah menjadi bencana sosial.
Minimnya sosialisasi, ketiadaan forum konsultasi publik, dan penetapan sepihak menjadi resep manjur untuk memicu krisis. Kebijakan yang dirancang untuk membangun daerah justru berbalik arah menjadi pemicu instabilitas dan meruntuhkan pilar terpenting dalam pemerintahan: kepercayaan publik.
Kasus-kasus ini menjadi pengingat keras bagi setiap kepala daerah di Indonesia. Menaikkan pajak mungkin menjadi pilihan rasional untuk anggaran, tetapi melakukannya dengan cara menutup telinga dari suara rakyat adalah sebuah kesalahan fatal yang dapat membakar rumah mereka sendiri.