INDONESIAONLINE – Solidaritas Pekerja CNN Indonesia (SPCI) baru saja mendeklarasikan pendirian serikat buruh di depan Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu pada Sabtu (31/8). Namun nahas, kegembiraan itu tak berlangsung lama.
Belasan aktivis SPCI justru menerima surat pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak dari manajemen CNN Indonesia, tak lama setelah deklarasi tersebut.
Surat PHK yang dikirimkan melalui surel ini sontak memicu kecaman keras dari berbagai pihak, termasuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI). AJI menilai tindakan CNN Indonesia ini merupakan bentuk union busting atau pemberangusan serikat pekerja yang bertentangan dengan kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi.
Deklarasi SPCI sendiri dilatarbelakangi oleh keinginan untuk membangun hubungan yang lebih harmonis antara pekerja dan manajemen CNN Indonesia. Sebelumnya, manajemen CNN Indonesia dituding mengeluarkan kebijakan pemotongan upah tanpa persetujuan penuh dari pekerja atau kompensasi yang jelas.
AJI menegaskan, kebebasan berserikat dijamin oleh UUD 1945, UU Hak Asasi Manusia, UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dan konvensi International Labour Organization (ILO).
Tindakan PHK sepihak ini diduga kuat melanggar Pasal 28 UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja yang melarang siapa pun menghalang-halangi pembentukan dan kegiatan serikat pekerja.
Selain itu, Pasal 19 Peraturan Dewan Pers No 3 Tahun 2019 tentang Standar Perusahaan Pers juga mewajibkan perusahaan pers untuk mengikuti UU Ketenagakerjaan dalam melakukan PHK.
Merespon kejadian ini, AJI menuntut :
Pembatalan surat PHK terhadap pendiri SPCI oleh CNN Indonesia.
Mendukung langkah SPCI memperjuangkan hak-hak pekerja dan hak berserikat di CNN Indonesia.
Mendorong penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mekanisme hukum, mulai dari bipartit, tripartit, hingga ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Mendesak Dewan Pers untuk memantau dan mempertimbangkan pencabutan status verifikasi media yang tidak mematuhi UU Pers No. 40/1999 dan UU Ketenagakerjaan No. 13/2003.
Kasus ini menjadi preseden buruk bagi dunia pers Indonesia dan menunjukkan masih adanya upaya pembungkaman terhadap suara kritis dari dalam perusahaan media (ina/dnv).