Wirapatra: Algojo Amangkurat I hingga Penguasa Blitar

Wirapatra: Algojo Amangkurat I hingga Penguasa Blitar
Ilustrasi artikel (io)

Mengupas sosok Kiai Ngabehi Wirapatra, algojo Amangkurat I yang menjadi penguasa Blitar. Simak intrik berdarah sejarah Mataram abad ke-17 dan data kolonial di sini.

INDONESIAONLINE – Sejarah sering kali ditulis oleh para pemenang, namun catatan kolonial dan naskah kuno Jawa menyisakan celah untuk mengintip sisi kelam kekuasaan. Di balik kemegahan Kesultanan Mataram Islam pada abad ke-17, tersimpan narasi berdarah tentang loyalitas tanpa batas yang diperankan oleh satu sosok ambivalen: Kiai Ngabehi Wirapatra.

Sosok ini bukan sekadar abdi dalem biasa. Dalam arsip VOC dan babad Jawa, namanya abadi sebagai “tangan kanan” yang berlumur darah di era Sunan Amangkurat I, namun kemudian bertransformasi menjadi administrator ulung di Blitar pada masa Amangkurat II. Berikut adalah penelusuran mendalam mengenai jejak Wirapatra yang menjadi penguasa.

Eksekutor di Balik Tirai Amangkurat I

Tahun 1646 menjadi titik balik Mataram ketika Sultan Agung mangkat dan digantikan putranya, Amangkurat I. Berbeda dengan ayahnya, Amangkurat I dikenal dengan gaya kepemimpinan paranoid yang memicu “genosida internal” di lingkungan istana.

Rijcklof van Goens, pejabat tinggi VOC yang mencatat dinamika ini dalam Reysbeschrijving, menyebut Kiai Ngabehi Wirapatra sebagai “orang kesayangan terdekat Raja”. Namun, kasih sayang raja ini dibayar dengan tugas berat: menjadi algojo politik.

Puncak kebrutalan terjadi pada 1647. Tumenggung Wiraguna, panglima senior era Sultan Agung, dikirim ke Blambangan dalam sebuah ekspedisi militer yang sejatinya adalah jebakan kematian.

Berdasarkan Babad Bedhahipun Pati dan Serat Kandha, ekspedisi Blambangan adalah misi bunuh diri. Meski pasukan Mataram berhasil memukul mundur koalisi Blambangan-Bali yang dipimpin Tawang Alun, “hadiah” yang diterima para panglima bukanlah kehormatan.

Tumenggung Wiraguna wafat dalam perjalanan pulang (beberapa sumber menyebut sakit, lainnya menyebut diracun). Jenazahnya dibawa pulang dengan penuh hormat oleh keluarganya. Namun, di tengah jalan, mereka dihadang oleh pasukan Bhayangkara yang dipimpin Ngabehi Wirapatra.

Tanpa peradilan, Wirapatra menjalankan titah raja. Van Goens mencatat dalam hal. 249 catatannya, bahwa Wirapatra mengeksekusi keluarga Wiraguna, termasuk wanita dan anak-anak. Pembantaian ini didasari kecurigaan Amangkurat I bahwa Wiraguna bersekongkol dengan adiknya, Pangeran Alit, untuk melakukan kudeta.

Peristiwa ini menegaskan posisi Wirapatra bukan sebagai ulama (meski bergelar Kiai), melainkan ningrat birokrat dan prajurit yang menjadikan loyalitas absolut sebagai instrumen pembenaran pembunuhan.

Transformasi: Dari Algojo Menjadi Penguasa Blitar

Sejarah tidak berhenti pada kematian Amangkurat I yang tragis saat pelarian. Pasca-pemberontakan Trunajaya dan berdirinya keraton baru di Kartasura di bawah Amangkurat II (1677–1703), nama Wirapatra kembali muncul, namun dengan wajah berbeda.

François Valentijn, penulis sejarah Hindia Belanda, dalam mahakaryanya Oud en Nieuw Oost-Indien, memuat data administratif wilayah Mancanegara Timur periode 1680–1684. Dalam tabel tersebut, tercatat nama Ingabehi Wira Patra sebagai penguasa wilayah Blitar.

Analisis historiografi menunjukkan kemungkinan besar ini adalah orang yang sama. Setelah fase “pembersih” di era ayahanda (Amangkurat I), Wirapatra yang merupakan loyalis dinasti mendapatkan promosi jabatan strategis di era sang anak (Amangkurat II).

Penempatan Wirapatra di Blitar bukan tanpa alasan. Wilayah ini adalah frontier strategis yang diapit oleh Sungai Brantas, jalur logistik vital yang menghubungkan pedalaman Kediri dengan pesisir.

Data dari peneliti Roouffer dan Schrieke mengonfirmasi bahwa pasca-1677, Mataram melakukan registrasi ulang wilayah untuk kepentingan pajak guna membayar utang perang kepada VOC. Blitar, di bawah kendali Wirapatra, menjadi salah satu lumbung logistik yang menyetor hasil bumi seperti benang katun, kulit kerbau, dan kayu sapan ke pusat kerajaan.

Sebagai Ingabehi, Wirapatra bertugas menjaga stabilitas wilayah timur yang rawan pergolakan sisa-sisa pengikut Trunajaya dan Surapati. Ia berkoordinasi dengan penguasa lokal lainnya, seperti Ingabehi Derpa Joeda di Tulungagung dan Ingabehi Katawangan di Kediri.

Kisah Kiai Ngabehi Wirapatra adalah cermin retak kekuasaan Jawa masa lalu. Ia merepresentasikan paradoks abdi dalem: di satu sisi ia adalah pelaku kekerasan struktural yang mengerikan, namun di sisi lain, ia adalah administrator yang menjamin berjalannya roda pemerintahan di daerah.

Dari dokumen Van Goens hingga tabel Valentijn, kita belajar bahwa stabilitas Mataram dibangun di atas tumpukan mayat dan diplomasi yang dingin. Wirapatra adalah saksi sekaligus pelaku yang membuktikan bahwa dalam pusaran politik dinasti, siapa yang paling setia memegang pedang, dialah yang akan bertahan memegang pena kekuasaan (ar/dnv).