*dd nana veno (Dua Tubuh yang Berpelukan di Perempatan Jalan-2)

“Pulanglah, biarkan aku meracik amarah ini sendiri. Kau mungkin sudah lama di tunggu istri atau anak-anakmu di rumah, pulanglah.”

Malam menyemburatkan hitam. Letupannya seperti air mendidih di periuk. Meminta sesuatu untuk dimatangkan. Selekasnya dihidangkan.

Dan aku, adalah bagian terkecil yang timbul tenggelam di periuk itu. Mungkin, aku sejenis wortel, kacang panjang, daun kol, buncis atau serpihan bumbu dapur yang berfungsi untuk menggenapkan, meskipun tidak diperhitungkan.

Atau, mungkin aku bukan bagian apapun dari isi periuk itu. Yang pasti, kau, adalah maha rasa dari segala sayuran dan bumbu-bumbu dapur lainnya dalam periuk itu.

Ya, rasa yang membuatku semakin khusyuk mengkhidmati malam. Rasa yang menyebabkan tubuhku menggeliat dan mendesah, memanggil namamu dalam gelombang yang tak pernah aku namai. Karena aku tahu, segenap nama tidak akan pernah menjadi tanda di rambutmu yang tergerai begitu indah menyapu jalanan.

Rambut itulah yang selalu memanggilku untuk selekasnya membuka pintu rumah yang dipenuhi kehangatan, dan menceburkan diri dalam hitam malam yang dipenuhi kebekuan.

Baca Juga  Puisi Arwah Jatuh Cinta

13 tahun, begitulah kau pernah berkata, rambutmu yang seperti jalinan rintik hujan disatukan dengan warna pekat yang kau lumerkan dari segala malam, kau biarkan tergerai. Menjuntai-juntai, saat kau melangkah. Ritmis.

Dan, terdengarlah lagu-lagu dari rambutmu yang berpelukan dengan hitam jalanan. Lagu kepedihan. Ah, bahkan rambutmu menjadi saksi atas segala yang terjadi atas tubuh pualammu itu.

“Salahkah aku yang terlahir dengan tubuh seperti ini. Tubuh yang tak pernah kuminta dan tak pernah kupaksakan keberadaannya. Tubuh yang telah menjadi arena aduan dadu para suamiku yang begitu lugu untuk menyetujui segala permintaan mereka. Tubuh yang diombang-ambing oleh tangan-tangan syahwat, yang dengannya aku harus meminta dalam derai air mata kepada para dewa untuk selekasnya menimpakan langit ke kepala yang dipenuhi gelembung angkara.”

“Tidak! Kalaupun ada kesalahan terhadap diriku, itu adalah gurat sejarah yang terlalu dipaksakan oleh para lelaki terhadap seluruh tubuh yang memancarkan aroma mawar ini. Kalaupun ada kebersalahan yang menetap di diriku, itu adalah kemarahan atas diriku sendiri yang harus merahimkan kesetiaan. Dan, kau tahu, kesetiaanku hanya dibalas dengan kelemahan hati para suamiku. Maka salahkah aku kalau hitam malam kutenggak dengan dahaga menggelegak.”

Baca Juga  Lelaki Itu

Tidak! Begitulah aku menjawabnya dengan gegas, waktu itu. Semua yang terjadi kepadamu, bukanlah kesalahan atau kebenaranmu. Ada sesuatu yang aku rasa kaupun tahu, yang mengikat segala peristiwa itu.

“Kau sedang membicarakan nasib ataukah takdir?”

“Kau yang lebih tahu.”

“Tidak. Aku tidak pernah tahu. Kau tahu kenapa harus kuceburkan diriku dalam gelap malam? Kau tahu kenapa rambutku semakin tergerai, begitu panjang? Kau tahu kenapa tangan kiriku harus kuikhlaskan mengawini sepotong pedang? Kau tahu?”

Wajahmu semakin berkilau dengan semburat merah. Nafasmu terdengar begitu sengal, melahirkan uap yang begitu panas dari hidungmu (BERSAMBUNG)….

*Pecinta Kopi Pait