(2) Kelopak Bunga Satu Tangkai

*dd nana veno (Kelopak Bunga Satu Tangkai (2))

Begitu bergemuruh benda-benda itu merekahkan langit, mengendapkan berbagai bunyi asing di pulau-pulau tak bernama. Begitu hingar sangat pengar. Saling bersahutan, saling mengalahkan antara geram armada laut, begitulah mereka menamai kendaraannya, dengan kata-kata asing yang terlontar dari mulut-mulut merah yang begitu pasi.

Mereka begitu menjulang, angkuh menantang segala yang berpantang. Kulit para lelaki itu pucat dengan gosong khas saputan udara laut yang kering. Mata mereka kelabu kebiru-biruan; percampuran yang begitu asing. Mereka, para petualang dari negeri matahari terbenam.

Para lelaki dari negeri matahari terbenam itulah yang mengenalkan berbagai benda, bermacam nama di titik-titik kepulauan tak bernama ini. Segala nama dan benda yang menggetarkan segala kepercayaan yang menua bersama alam; terkadang membawa sesuatu yang pekat, terutama benda itu.

Benda yang menempel ketat di balik punggung atau bahu dan pinggang mereka. Seukuran badan maupun sedepa tangan. Benda laknat yang hitam sepekat tapak-tapak sepatu mereka yang berderap mengoyak pesisir, merobek keseimbangan hidup, menanamkan benih takut, kesumat dan amarah. Senapan mereka menamainya.

Benda itu dengan ringan mengepakkan sayap-sayap kematian dan tentunya kekuasaan dengan suara yang menggelegakkan darah. Benda-benda yang telah direkatkan oleh Yang Segalanya bagi kami, kelopak bunga satu tangkai sebagai jalan pulang dari jasad yang ditumpangi, kematian (takutkah kita kelak saat bertubuh daging dengan wajah kematian, kekasih).

Baca Juga  (8) Kelopak Bunga Satu Tangkai

Aku mengingatnya (sudahkah ingatan menguasai kita, kekasih) saat kita harus tercerabut mengemban titah. Lepas dari tangkai yang lambai. Memasuki rahim-rahim perempuan yang terbuka, tempat istirah para janin sebelum terlahirkan.

Kau selalu duluan singgah (padahal kau sangat paham, awalmu dari rusuk ini) menjadi banyak wujud. Terkadang menjadi ibu, seperti kini. Aku harus menunggu dalam hitungan yang masak dengan tubuhmu yang siap, sebelum memasukimu. Menjadi zigoth, cikal anakmu.

Aku terus mengingat saat kau, sebagai ibu, memberiku tubuh dalam sakit yang diam, mengantarku ke tanah yang terus bergejolak, merah. Nafas terakhirmu (bau harummu tertangkup di udara penghabisan, dewi) menyisakan sebuah nama bagiku, Rengkah. Serengkah nafas kita dicekik timah sekawanan orang-orang yang berusaha menggagahi kuasa. Aku di usia yang meremaja tulang. Kau, sebagai ibu di saat kematangan semakin menguning semakin menunduk, berisi nyaris sempurna.

Baca Juga  Lunak Melaknat: Seperti Nikmat?

Merenggut temali kasih yang tak penuh tuntas, mengantarkan kita kembali melayang mencari jejak rahim perempuan yang terbuka. Kalender menunjuk perhitungan 1602. Tahun yang sesak dengan suara-suara asing dan kematian.

—oOo—

1628-1629, Sultan Agung gagal merebut Batavia. Menyeret para raja-raja keceruk pedalaman yang hitam, menyekap darah merah raja-raja menjadi biru hingga amnesia terhadap nama dan benda-benda. Amangkurat I, Amangkurat II, Paku Buwono II adalah hasil sempurna pencucian otak para lelaki dari negeri matahari terbenam.

—oOo—

Kumpeni begitu lidah kami mengejanya, para pemilik senapan dari negeri matahari terbenam, semakin erat memeluk bening pesisir dan nyiur pulau-pulau pesona. Dan, kami terbelah. Nyaris sempurna pecah. Seperti kita yang terus berganti kelamin, berganti rupa, berganti kata mengikuti masa, mengikuti kekalahan, mengikuti kuasa.

Namaku Sungsang. Sesungsang masa yang semakin mendidih oleh tarian darah dari mereka yang berseteru. Dan aku sempurna terjebak di tengah pusaran. Antara biru mata dan sawo matang tubuh (dan kau tahu, aku tak pernah meminta warna dalam rahim perempuan). Antara pribumi dan penjajah, begitulah istilah mereka untuk membedakan dua seteru yang bertikai (BERSAMBUNG)

*Penikmat Kopi Pait