(4) Kelopak Bunga Satu Tangkai

*dd nana veno (Kelopak Bunga Satu Tangkai-8)

Namaku ular, telah lama kuintip kau di sela selangkanganku yang menguarkan warta. Awalnya, begitu sulit memang mencarimu, menguliti tubuhmu yang kencana untuk kujadikan kelopak hari dan menempelkan rupamu yang telanjang dengan jejak luka yang tersebar indah di tembok-tembok kota yang bisu, dingin.

Agar mata ini tak pernah kehilangan wujudmu. Tetapi, aku tidak ingin sekedar menggambar tubuhmu, karena rambut, mata, mulut, tubuh, tangan, kaki dan alat kelaminmu telah begitu sempurna tercetak terekam di seluruh ruang kehidupan.

Dari pasta gigi, sabun, deterjen, buku, makanan dan minuman, televisi, radio, komputer, spanduk, baliho, kaos, topi, stiker, rumah, dan lainnya. Dipuja dan dicaci. Setelah kau kobarkan api dititik-titik keramaian semu pulau-pulau ini. Meluluhluntakan segenap yang berwarna lain dengan warnamu kini.

Maka pecahlah suara-suara. Menjadikan kau berjuta rupa berlaksa jarak. Menindih para hikayat para sejarah.  Negeri hikayat negeri para penjahat.

Awalnya, memang sangat mustahil menemukanmu. Hingga suatu senja kita bersitatap, mungkin sejenak tetapi cukup untuk saling mengenal luka yang diemban. Saat api meraja di belantara kota-kota, kreasimu yang sama. Sepasang matamu hinggap di mataku. Mengantarkan kita di taman duka. Tempat yang mengenalkan kita bentuk dosa dan do’a.

Dan akupun harus kembali mengupas makna tentang getar yang merambat, pelan. Getar yang sebenarnya tidak menggelegar, tetapi cukup merampas kesadaran di senja yang mengembun petanda. Getar yang meranggas sunyi diselisih kesadaran waktu yang rapuh. Akupun harus kembali bergetar oleh panas nafasmu, panas darahmu, panas takdir kita.

Orang-orang memanggilku pelacur.

—oOo—

Jakarta 2004.

Ada desah, ada erang, ada temali peristiwa; pun luka yang terus kau kenakan. Tubuh-tubuh yang terkelupas masa kembali menyatu. Tubuh-tubuh tanpa tanya yang berderap terus dalam lubang sempit dunia. Sekedar menjadi penyaksi keterbelahan yang sempurna di tubuh-tubuh.

Baca Juga  (1) Kelopak Bunga Satu Tangkai

Kau tiba-tiba meloncat dari pembaringan, membaca serpihan luka lalu. Luka rengkah di kepala yang menjalar jalan malam, yang dihirup rakus para btari kegelapan. Mengabarkan kepenatan tak terkalahkan.

“…Jangan lelakiku, biarkanlah…biarlah…”

“Ya, seharusnya biarkanlah… sebelum para lelaki dari negeri matahari terbenam datang dengan kapal-kapalnya, merapat pesisir, merebut tubuhmu yang pualam, mengisi rahim-rahim perempuan, menularkan berbagai kotoran, memamah darah.

Sebelum kita dikirim ke rahim terbuka. Untuk denyut, untuk nafas.

Sebelum para darah menjadi mainan kita, menjadi tubuh-tubuh yang terus terbelah. Sebelum lintang titah menitahkan. Seharusnya aku menyuntingmu, bukan menunggu. Karena kita satu sebelum semuanya dimulai. Sebuah buah. Sebelum kau beri aku gelar rengkah, sungsang, lelaki, sangkala dan tetek bengek nama-nama di tubuh, dan aku terpercik oleh igaumu, maka aku beri kau juga nama-nama.

Tanpa kita sadari nama-nama itu memamah tubuh kita menjadi cepat lelah, busuk, terpecah-pecah. Kini kita kembali dipertemukan dalam tubuh yang lain. Di masa yang lebih pecah. Maka biarkan aku menyuntingmu. Mengusaikan segala rasa, segala luka, segala masa. Kembali menjadi bentuk awal kita.

“Ya…kita pernah berjumpa, berulang kali sebelum ini. Bercerita, bercinta, berpisah dan akhirnya lihatlah kita kembali terperangkap di tubuh yang dibelah. Aku pelacur, kau teroris. Betapa hebat kuasa memilih tubuh, bukan begitu…?”

“ Biarkan aku menyuntingmu kini…”

“Berbagai masa, berjuta lelaki dalam bentuk yang berbeda telah singgah di sini. Di dada yang terus berderap meminta tubuh yang nikmat. Semua yang menetap, semua yang sekedar, semua yang luka, semua yang merindu adalah edar takdir yang diminta. Begitu juga kita…biarlah…biarkan…”

“Biarkan aku menyuntingmu…”

“Cukup, cukup lelakiku disemua masa, cukuplah semua itu. Tak perlu lagi kita lahirkan perayaan tanda-tanda. Karena kita telah menjadi waktu yang berderap terus, menukik relung-relung sejarah, meski tak tercantum dikitab-kitab. Itulah kita. Lelakiku disemua masa, edar takdir kita telah diputuskan. Maka biarkanlah….Dengarkanlah peluit itu kembali berbunyi…larilah !…larilah lelakiku disemua masa…larilah !!!”

Baca Juga  (2) Kelopak Bunga Satu Tangkai

Cemas itu seperti dulu. Air matamu juga seperti yang pernah aku isap di masa yang telah pulang, tetapi aku telah lelah untuk berlari dan bersembunyi.

“Derap itu lagi, padahal aku belum di ujung penyuntingan, biarkanlah…biarlah semua lunas dalam penyaliban yang berulang.”

Tangismu buncah dalam diam di dadaku, di luar orang-orang saling melemparkan kata, hingar. Berderap memukul dinding waktu.

Kami tulikan pendengaran ini, hingga suara derap yang berebut, sedikit demi sedikit lesap, yang terlihat sesaat adalah benda itu.

Benda yang menempel ketat di balik punggung atau bahu dan pinggang para lelaki dari matahari tenggelam. Seukuran badan maupun sedepa tangan. Benda laknat yang hitam sehitam tapak-tapak sepatu mereka yang berderap mengoyak pesisir, merobek keseimbangan hidup, menanamkan benih takut, kesumat dan amarah yang diam.

Kembali bersaksi. Dua tubuh berlubang-lubang menyiarkan darah. Lusinan selongsongan timah berserakan, beku membatu menjelma khuldi. Meninggalkan kesunyian yang melayang tak bisa pulang disekap ruang.

Hanya kami yang terus ada berderap mengitari edar takdir, ngembara dan berharap menemukan tubuh yang indah, tubuh yang menghikmati penyatuan yang satu. Seperti dulu. Di luar pecah kembali suara-suara. Semakin bingar, semakin merah.

Awalnya hanya segunung rempah, sebelum semua cerita menderas ke muara yang sama, kekalahan bagi tubuh-tubuh yang tak indah.

Bukankah kita dulu satu? kelopak bunga satu tangkai (TAMAT).

*Pecinta Kopi Pait

Tulisan ini ditulis 2005