*dd nana veno (Dua Tubuh yang Berpelukan di Perempatan Jalan-3)

Sungguh, amarahmu yang murni itu telah mengunci mulutku. Aku hanya mampu mendampingimu yang terus menyibak malam dengan desir halus rambutmu yang menyaput jalanan.

Di tangan kirimu cericit bunyi pedang begitu pilu, merobek segala yang terlelap. Selalu, di setapak jalan yang kita lalui, segala gambar tercipta dari helai rambut dan pedang yang kau seret. Seperti relief di candi-candi, terlihat begitu agung meskipun menyimpan deburan ombak kesedihan yang berlaut-laut.

Dan, sunyi harus segera disibakkan sebelum membeku menjadi paku di matamu yang jelita.

“Kau tahu, malam adalah ruang pesta para kucing tanpa majikan.”

“Karena itulah aku mencoba moksa dengannya.”

“Tidakkah terbesit rasa takut di dadamu yang indah itu bahwa penghuni malam, para kucing itu, begitu mudah melumat tubuh kencanamu. Membenamkan kesucianmu ke lembah-lembah yang tak berdasar. Tidakkah kau tahu?”

Baca Juga  Lelaki Itu

“Aku ingin menjadi Clara1

“Apa!! Wanita suci sepertimu ingin menjadi Clara? perempuan yang terbakar oleh sesuatu yang tidak bisa diterima logika sehat manapun. Perempuan yang meminta-minta kepada para lelaki yang dijumpainya agar bersedia memperkosa dirinya. Kau sudah gila!!!.”

“Ya, aku ingin menjadi Clara, sehingga para suamiku terbakar oleh rasa amarah. Sehingga semedi mereka yang dikira hening, terbatalkan, lantas keluar menyambut samudera api, tanpa perlu menunggu api itu dikobarkan waktu. Aku ingin menjadi Clara, agar para lelaki belajar untuk bersikap kstaria. Faham atas kewajibannya terhadap perempuan, terutama pada istrinya.”

“Aku ingin menjadi Clara agar tidak hanya tertulis dalam sepotong bibir bernama sejarah, sebagai sepotong daging yang pasrah atas kehendak para lelaki atas nama kesetiaan ataupun cinta. Padahal dalam dadanya penuh dengan samudera air mata yang tak teruraikan, tak terbahasakan. Dan kau, aku tahu tak mungkin bisa memperkosaku. Maka, pulanglah….”

Baca Juga  (1) Kelopak Bunga Satu Tangkai

“Kau sudah gila!!!”

“Ya, aku sudah menjadi gila sejak tubuhku hanya dijadikan bayang hitam di kelir-kelir yang berfungsi untuk menghibur kesedihan para penonton. Sejak tubuhku tidak lagi kumiliki sendiri, dan ditumpuk berjejal-jejal dengan tubuh-tubuh lainnya dalam sebuah kotak yang pengap, tanpa privasi, tanpa kehormatan sama sekali. Aku bukan sekedar wayang yang harus tunduk atas epos dalang. Ya, aku sudah gila sejak dulu.”

 Perempuan dengan rambut selantai yang tergerai

dan sebilah pedang di tangan kiri

menyibak malam yang tak pernah padam

segala kenangan telah menjadi kemarahan yang

tak memiliki ruang penyaliban

air mata, tak lagi menjadi wakil derita

katanya, biarkan aku moksa dalam gerit pedang dan

desir halus rambutku yang tergerai

semakin panjang melaut

dan biarkan aku telanjang

menjadi bayang kegilaan dunia yang panjang.

1 Tokoh dalam Cerpen Seno Gumira Ajidarma “Clara”

(BERSAMBUNG)…

*Pecinta Kopi Pait