*dd nana veno (Dua Tubuh yang Berpelukan di Perempatan Jalan-4)

Aku bukan sekedar wayang.

Ya, aku sepakat dengan kemarahannya itu. Tetapi, apakah kau sepakat dengan pernyataanku bahwa, manusia, baru mempertanyakan dirinya saat keadaan menyeretnya ke sisi paling pinggir, paling ekstrim. Kebanyakan manusia tersadarkan oleh kekuatan dari luar dirinya, bukan atas kesadaran dalam dirinya. Bukan begitu?

Dulu, aku bagian dari jenis manusia seperti itu. Begitu mudah larut oleh sesuatu yang dirasa menawan, berpijar, menggelora. Dunia pewayangan adalah salah satunya. Aku pernah memamah segala epos pewayangan, dunia hitam putih yang mengasyikan.

Dan, aku hanyut. Mematut-matut diri dengan tokoh-tokoh yang kupilih, terutama Arjuna, kesatria sakti mandraguna berparas kencana. Putra ketiga Pandu dari lima bersaudara.

Sembadra, Jimambang, Citrahoyi, Dersanala, bahkan Banowati, istri dari Duryudana, pernah mengisi malam-malam penuh purnama yang melelehkan madu dalam kehidupanku. Hingga suatu ketika…..

“Dasar Gigolo !!!”

Aku terkapar dengan tubuh berdarah-darah. Para lelaki berpostur tinggi, kekar dan gempal itu, terus menerus menghujani tubuhku dengan pukulan dan tendangan. Dan perempuan yang kukencani itu hanya bisa diam, mengikuti perintah lelaki tambun dengan tubuh yang dipenuhi perhiasan. Meninggalkan tubuhku yang teronggok, bersimbah darah. dan, segala bayang tentang keperkasaan Arjuna, lesat dalam kepala. Hanya luka dan rasa sakit yang mengendap.

Akupun merekonstruksi cita-cita, setelah rasa sakit menyadarkanku. Menjadi Yudisthira, Bima, Nakula, Sadewa, Bhisma, Durna, Duryudana, Karna, Rama, Lesmana, Rahwana, Kumbakarna, Kresna, Wisnu dan lainnya.

Dan, kau tahu, peran itu semuanya menyakitkan, penuh dengan darah, kutukan, dan sengkarut perselisihan. Semua peran itu menempatkan diriku di kursi listrik berkekuatan besar, siap untuk menarik seluruh sel tubuhmu dalam liukan maut.

Dengan cepat rasa muak itu menyerangku setiap pagi. Aku muntah tanpa kotoran apapun, hanya cairan bening. Kau tahu rasa sakitnya?

“Kenapa kau tidak mencoba untuk menjadi punakawan saja, mungkin petruk, bagong, atau si cepot ?”

Baca Juga  (5) Kelopak Bunga Satu Tangkai

“Ha…ha…ha….untuk menjadi mereka, aku harus mendistorsi atau mungkin melenyapkan diriku yang selama ini terdidik dan dididik untuk menjadi Resi, Brahmana, ataupun Kesatria.”

“Lantas, apa yang membuatmu berat untuk melakukan itu. Kau kira para punakawan, adalah orang-orang bodoh. Kalau itu anggapanmu, aku katakan kepadamu kau salah besar. Merekalah sebenarnya yang mengasuh sejarah.”

“Aku memahaminya. Merekalah pengasuh sekaligus pemilik dari sejarah itu. Mereka bukan orang-orang bodoh walaupun memiliki tipikal rupa bodoh. Mereka pulalah yang  sebenarnya memiliki dan memahami aji Jamus Kalimasada, bukan Yudisthira. Oleh karena itulah, aku belum bisa memerankan dan menjadi para punakawan.”

“Sekarang apa yang sedang kau perankan?”

“Entahlah. Mungkin Antareja, Antasena, Wisanggeni atau Kumbakarna.”

Aku mendengar dengus dari lubang hidung yang runcing itu. Ah, betapa inginnya kusentuh ujung runcing hidungmu. Seperti inginku untuk menyentuh gerai rambutmu, atau mengecup sepasang matamu yang binar dengan samudera derita yang di kandungnya.

Perasaan ini begitu kuat, lahir setiap malam saat tubuh kita bermantelkan malam dengan lembab udara yang menempel di rambut kita.

“Kenapa mereka yang kau pilih. Tidak cukupkah segala peran yang pernah kau lakonkan itu? Kaupun tahu, mereka, adalah orang-orang yang harus menyempurnakan takdir yang telah diciptakan para dewa. Takdir kematian dalam genangan darahnya sendiri. Kalau aku boleh menyarankan, ambillah peran yang lain, misalnya peran-peran yang dicipta para sineas Hollywood. Atau kau boleh berperan menjadi seorang pemerkosa yang hafal lirik-lirik Chairil Anwar seperti yang pernah di tuliskan Seno Gumira. Mungkin peran itu lebih seksi, menggairahkan bagi para penonton, termasuk aku. ”

Kini akulah yang menghembuskan udara dari hidung. Sungguh, tak pernah aku memimpikan peran-peran yang dianjurkannya, apalagi menjadi pemerkosa meskipun memiliki selera sastra. Tidak !.

“Kau takut untuk memerankannya? Ah, betapa naifnya kau, padahal di sampingmu, di malam yang lenggang ini, ada tubuh kencana, begitulah menurutmu,  yang siap menampung segala geliat syahwat itu. Yang membuka rahimnya untuk siapapun untuk mendapatkan kembali kesejatiannya. Atau, memang rahimku hanya untuk pedang ini, sehingga para serigala malam tak berani memamerkan taringnya itu. Atau…”

Baca Juga  (8) Kelopak Bunga Satu Tangkai

“Cukup. Cukuplah !!. Jangan paksa aku menjadi seperti apa yang kau inginkan.”

“Ah lelaki, padahal aku tahu kau begitu syahwat kepadaku. Takutkah kau dengan dosa ?”

Dosa. Ah, kenapa harus kau utarakan kata-kata itu. Dosa hanyalah gumpalan daging berwarna hitam yang tersimpan di dada. Yang berdenyut-denyut tak pernah mati. Lantas kenapa aku harus takut pada dosa. Aku dan dosa adalah kesatuan yang saling mengisi dalam kemesraan.

“Sebentar lagi, malam akan memekarkan fajar. Dan jalan yang kita setapaki akan bercabang di sana. Tentukan peranmu secepatnya.”

Ya, malam sebentar lagi menjemput pagi. Dan di sana, 100 meter lagi jalan akan terbelah empat. Tetapi aku belum menentukan peran yang kau anjurkan, sedangkan gerit pedang dan saputan rambutmu itu semakin nyaring di telinga.

Aku merasakan dingin yang lain. Dingin yang membisikan sesuatu tentang perpisahan. Bukan perpisahan seperti malam-malam yang telah diziarahi oleh kita. Perpisahan ini, mungkin akan abadi. Padahal cerita belum juga usai kita baca tuntas.

“Waktu telah habis lelaki….pulanglah.”

“Pulang? Adakah pintu rumah yang sudi aku ketuk? Aku tidak punya jalan pulang, kalaupun ada itu adalah kau.”

“Kau, kucing malam yang sial. Aku bukanlah jalan pulangmu. Aku hanyalah malam yang panjang. Penuh luka, kini nista. Pergilah! derit pedang mulai meminta tubuhmu

“Dari awal aku tahu kaulah lelaki itu. Dan, akupun harus selekasnya menjemput ranjang pengantin itu. Aku nikahi kamu, pedang, sesempurna pagi yang menyemburatkan terang.”

Di suatu siang, orang-orang ramai bergunjing. Di perempatan jalan ditemukan sepasang manusia berjenis kelamin beda saling berpelukan. Keduanya telah mati, begitulah orang-orang saling berbisik. Cahaya kamera membekukannya.

*Pecinta Kopi Pait