(4) Kelopak Bunga Satu Tangkai

*dd nana veno (Kelopak Bunga Satu Tangkai -5)

Pagi seharusnya indah, karena segala suara dan gerak melambat di saat itu. Yang tertangkap seharusnya desah harapan. Rahim kedamaian. Ya, pagi ini seharusnya indah, sebelum terobek suara Jangkar yang berlari begitu lesat kearahku.

“Sungsang…Ibu…..Elizh…mereka.…mati…mati…dibunuh…”.  Suara Jangkar mengendap di telinga, ditangkap otak dan membuncahkannya ke seluruh sel tubuh. Seperti meriam yang melaknat setiap tubuh yang menghadang, menyerpihkannya ke segala arah,  aku ambruk.

Ada yang melesat begitu cepat, harapan yang terkoyak. Setelahnya adalah gelap yang sempurna. Jangkar, masih di sisiku, saat kesadaran menyeretku kembali.

“Apa yang terjadi……ceritakanlah Jangkar…”

“Maafkan aku yang tidak mampu menghentikan laju peristiwa ini. Tadi malam, tepatnya menjelang fajar, saat aku bersama Temon piket malam, aku melihat beberapa orang berkerumun di rumahmu. Dari bahasa dan postur tubuhnya, aku yakin mereka orang-orang Belanda, meski tidak berseragam,” ucapnya.

“Sebagian lainnya memiliki tinggi tubuh tidak jauh berbeda dengan kita.  Semuanya kurang lebih ada 10 orang. Bersenjata dan memakai cadar muka. 5 orang menjaga di luar dan sisanya masuk dengan cara paksa ke rumahmu. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Yang pasti seperkian menit kemudian, kami mendengar jeritan Ibu dan bentakan Elizh dalam bahasa belanda. Disusul dengan bentakan dalam bahasa yang sama. Kami mencoba untuk mendekat, tetap sambil bersembunyi. Dan, kami mendengar suara tawa dan tembakan di dalam rumah. Maafkan aku Sungsang…”

Baca Juga  Puisi Hujan Desember

“Kami baru sadar, telah terjadi petaka dalam rumah. Dan, entah siapa yang mendahului, kami telah bertempur. Saling melepaskan peluru. Temon tewas dan aku berhasil menyangkurkan timah panas ke 3 orang tersebut, sebelum aku melarikan diri dan bersembunyi di tempat persembunyian masa kecil kita dulu. Mereka begitu gegas dan terlihat terkejut dengan baku tembak itu. Setelah semua aku rasa aman, aku keluar dan berlari menuju rumah. Dan…Ibu juga Elizh, terlihat terkapar, dan..telan…jang…berkubang darah…Maafkan aku.”

Seandainya aku memiliki tubuh sebesar Semeru atau Mahameru yang mampu menampung dan mengendapkan gelegak lahar yang maha dahsyat. Seandainya aku Yudhistira yang mampu menahan segala duka dengan kebijakan samudera. Seandainya aku tidak meninggalkan mereka, untuk membangun rumah nikah …

“Sungsang…aku menemukan sesuatu di tangan Elizth…dan di lantai…ini…”

Sebuah kalung dari perak dengan sederet identitas berbahasa Belanda dan sehelai pita berwarna, merah putih.

Baca Juga  (2) Kelopak Bunga Satu Tangkai

“I…ini…mereka…be…tul…kah semua ini Jangkar ? Mereka….”

“Ya. Akupun berpikir sepertimu. Mmmh…banyak orang yang tidak menyukai pilihanmu untuk menikahi Elizh. Banyak orang yang masih mengendapkan benci, dendam atas pilihan Bapak menikahi Ibu yang berasal dari negeri terbenam matahari. Mereka, dari kelompok yang kini masih setia berseteru…”

Ah, betapa amarah tak mampu dibedung oleh segala do’a yang kuyakini. Betapa amarah meminta pelunasan, dendam.

“Arrggh…maka kusempurnakan takdirku sebagai penari luka. Kuhitung tiap kepala para lelaki dari dua seteru dengan kesumat. Kalau kalian sempat mengumpat, mengumpatlah senyaring luka yang pernah disandang para perempuan yang mengasihi dan kukasihi. Berdoalah, semoga bukan kepala bapak, kakak, paman, kakek, adik kalian yang terpasak esok hari. Tetapi yakinlah, aku akan datang meniti angin yang bersekutu dengan kesumatku menjumput kalian dengan aroma kematian yang pekat. Sepedih para perempuanku meregang jiwa dalam tanya. Tuhan di manapun Kau kini menetap, saksikan aku untuk menempuh jalan yang Kau inginkan ini…Saksikan aku…saksikan aku…”

Angin menyeretku menuju jalan malam, dengan lahar yang membara. Aku nikahi malam dan dendam.

“Sungsang !!!” (BERSAMBUNG)

*Pecinta Kopi Pait