(2) Kelopak Bunga Satu Tangkai

*dd nana veno (Kelopak Bunga Satu Tangkai-4)

Hingga di suatu senja tarianku menguarkan birahi yang lain. Menjerat perpaduan gerak yang lama. Seorang Noni Kumpeni, begitu ibuku yang berasal dari negeri benda-benda melafalkannya untukku. Mendekatiku, membisikan kata-kata yang begitu akrab (engkaukah itu dewi ?) merapatkan kehangatan yang asing di tarianku. Menyentuhku.

Sentuhan yang sangat menakutkan sekaligus membuka mataku terhadap yang lain. Merobek relung-relung terdalam ego, menyingkapkan keberadaan sejatiku. Kami tiba-tiba menjelma satu, melepas berbagai rencana titipan dari mereka yang berseteru.

“Aku mengenalmu, begitu dekat. Sangat dekat, sebelum api mengawini panasnya, sebelum air mewujudkan diri dalam dinginnya. Aku mengenalmu terlalu purba, meski tubuh kita kini berbeda.”

Labirin itu terangkat, kita menari dalam bahasa angin yang lain, seperti dulu (kenapa kau pilih tubuh itu, kekasih). Saling membelit dalam tari pasifisme bagi mereka. Mengundang paramaut semakin mendekat, semakin melekat.

Baca Juga  Puisi (Rock) Mini

“Menarilah terus kekasihku, dekap aku lebih sengit hingga menggigit legit melebihi kuasa amarah mereka.”

Tubuhmu bergetar dihujam asal.

“Kita telah sampai dalam tarian yang satu. Penuhkanlah elizh, sehingga seteru menjadi sekutu yang saling memahami. Seperti kita, dulu dan kini.”

Dan, kami terus menari diantara cerca yang deras menghujan dari sekawan bapak, dari para kumpeni yang entah dengan alasan apa terluka harga dirinya (kekasih, adakah dulu saat penyatuan begitu utuh benda yang bernama harga diri). Tarian kami dengan lebat menjadi kilat bagi kedua seteru.

“Ya, Sungsang  anakku lelaki, itulah esensi segala tarian. Diciptakan dari pemasrahan hasrat tubuh yang purba menuju titik di tubuhmu juga, jiwa. Sehingga tercipta keselarasan raga dan jiwa dalam harmoni yang saling menjaga, itulah gerak yang sedang kau tarikan saat ini. Dalam pencapaian di titik gerak tersebut, anakku lelaki, tak akan lagi ada yang menohok karena beda warna, suara, bau…”

Baca Juga  Puisi Percakapan di Ruang Tunggu

Ada airmata yang kini kuhikmati, airmata Ibu yang berkata-kata dengan kelembutan sempurna.

Kini kufahami makna tiap butir air mata yang menyusuri wajah para perempuan yang mencinta, menjaga segala yang retak agar tidak berserak.

“Sembah sujudku Ibu…..” (BERSAMBUNG)

*Pecinta Kopi Pait