INDONESIAONLINE – Mesatia atau Pati Obong menjadi salah satu tradisi kuno yang mencerminkan kompleksitas budaya dan kepercayaan masyarakat Jawa di masa lampau. Terlihat sebagai tindakan pengorbanan ekstrem, tradisi ini melibatkan pembakaran diri secara sukarela oleh istri atau selir bangsawan yang ditinggalkan suaminya.
Dengan narasi yang menggabungkan kesetiaan, romantisme, dan tragedi, praktik ini pernah tercatat dalam beberapa catatan sejarah, termasuk dokumen berharga dari Ma Huan, salah satu pengawal Laksamana Cheng Ho, dan relief Candi Jago yang menampilkan adegan penuh simbolisme.
Ma Huan dan Catatan tentang Pati Obong
Pada abad ke-15, Ma Huan, penerjemah dan pengawal Cheng Ho, mencatat berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa dalam karyanya: Yingyai Shenglan. Salah satu catatan yang paling menggugah adalah praktik Pati Obong. Tradisi ini terjadi selama upacara Pitra Yadnya atau kremasi, yakni tubuh raja yang telah meninggal dibakar bersama pengikut setianya, termasuk istri atau selir. Dalam catatan Ma Huan, ia menggambarkan prosesi dramatis saat jenazah seorang raja diarak dengan pagoda bertingkat (bade) menuju tempat kremasi.
Di sana, para istri dan selir yang telah mempersiapkan diri dengan ritual khusus menaiki menara bambu berbentuk jembatan yang memutus. Berdiri di puncak menara, mereka memandang jenazah yang terbakar sebelum akhirnya melompat ke dalam kobaran api. Momen ini diliputi suasana haru dan campuran emosi, dari kesetiaan mendalam hingga ketakutan yang mungkin tersimpan di balik wajah tabah para perempuan tersebut.
Candi Jago dan Simbolisme Mesatia
Relief Candi Jago di Malang memberikan penggambaran visual tentang praktik Pati Obong. Dalam relief ini, terlihat adegan pembakaran jenazah yang diiringi dengan para perempuan di sekitar wadah berbentuk lembu. Wadah ini adalah simbol penting dalam tradisi kremasi Hindu di Jawa, yang menggambarkan perjalanan jiwa menuju alam baka.
Salah satu relief bahkan menampilkan adegan sastra klasik Jawa yang berkaitan dengan kematian tragis istri Angling Dharma, seorang tokoh epik. Kisah ini menjadi gambaran simbolik tentang bagaimana masyarakat Jawa memandang kematian bukan hanya sebagai akhir, tetapi juga sebagai bentuk pengabdian dan transendensi spiritual.
Blambangan: Puncak Pati Obong di Jawa Timur
Dalam sejarah Jawa, praktik Pati Obong terbesar tercatat di Blambangan, Banyuwangi, pada upacara kremasi Raja Tawang Alun. Raja yang dikenal memiliki 400 selir ini meninggalkan warisan dramatis dalam tradisi kremasi. Sebanyak 270 perempuan, dari para selirnya, dengan sukarela menyelam ke dalam kobaran api sebagai tanda kesetiaan kepada suaminya.
Peristiwa ini dilaporkan oleh jurnalis VOC yang menyaksikan langsung prosesi tersebut. Mereka menggambarkan suasana yang mengerikan sekaligus memukau, dengan ratusan perempuan bergiliran menaiki menara dan menceburkan diri ke dalam api. Bagi masyarakat Blambangan kala itu, tindakan ini dianggap sebagai bentuk kehormatan tertinggi dan keinginan untuk menyatu kembali dengan suami mereka di alam baka.
Akhir Praktik Pati Obong
Mesatia tidak hanya dikenal di Jawa, tetapi juga di Bali, dan praktik ini bertahan hingga abad ke-20. Kasus terakhir Pati Obong tercatat pada tahun 1903, sebelum akhirnya dihapuskan secara resmi pada tahun 1905 oleh otoritas kolonial Belanda. Pelarangan ini didorong oleh tekanan internasional dan pandangan modern yang menganggap praktik tersebut sebagai pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Namun, pelarangan itu tidak sepenuhnya menghapus kenangan tentang tradisi ini. Hingga saat ini, narasi tentang Pati Obong masih hidup dalam sastra, seni, dan budaya, terutama melalui relief candi, cerita rakyat, dan adaptasi modern seperti serial televisi Angling Dharma yang menampilkan adegan dramatis pengorbanan istri sang raja.
Refleksi Budaya dan Spiritualitas
Sebagai bagian dari warisan budaya Jawa, Pati Obong merepresentasikan dinamika kompleks antara keyakinan spiritual, struktur sosial, dan peran gender. Praktik ini mencerminkan pengorbanan tanpa syarat, tetapi juga memperlihatkan bagaimana perempuan diposisikan dalam konteks patriarkal pada masa itu.
Melalui catatan sejarah seperti Yingyai Shenglan, relief candi, dan dokumentasi kolonial, kita dapat melihat bagaimana Pati Obong menjadi simbol kesetiaan sekaligus tragedi manusia. Ini mengingatkan kita akan pentingnya menggali dan memahami tradisi masa lalu, bukan hanya sebagai bagian dari sejarah, tetapi juga sebagai refleksi nilai-nilai yang membentuk identitas budaya kita hari ini.
Pati Obong, meski telah lama berlalu, tetap menjadi bagian dari narasi besar yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Tradisi ini mengajarkan kita tentang kekuatan cinta, kesetiaan, dan pengorbanan, sambil mengingatkan kita akan perlunya memandang sejarah dengan kritis dan penuh penghormatan terhadap kompleksitasnya.