INDONESIAOLINE – Aplikasi ojek online Zendo, yang digagas Serikat Usaha Muhammadiyah (SUMU), menuai pro dan kontra. Di satu sisi, Zendo menawarkan alternatif Islami di tengah persaingan aplikasi transportasi online. Di sisi lain, aturan ketat bagi mitra drivernya menuai kritik dan sorotan publik.
Sekjen SUMU, M. Ghufron Mustaqim, membela aturan Zendo yang dianggap kontroversial. Menurutnya, aturan tersebut bukanlah aturan di balik meja, melainkan hasil pengalaman lapangan selama 9 tahun. Ghufron menekankan pentingnya memahami dinamika dan permasalahan riil di lapangan, termasuk tipu-tipu, motivasi kerja, dan standar pelayanan.
Ghufron juga menjelaskan bahwa poster Zendo yang beredar di media sosial dibuat oleh tim Zendo yang bukan profesional, sehingga menggunakan bahasa awam.
Menanggapi polemik ini, peneliti UGM Arif Novianto menawarkan tiga saran untuk meningkatkan hubungan kemitraan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Pertama, Arif mencontohkan perusahaan kurir di tiga kota yang menerapkan sistem kerja shift dan mengklasifikasikan driver sebagai buruh dengan hak-haknya, seperti gaji UMR dan BPJS.
Kedua, jika Zendo tetap mengusung konsep kemitraan, Arif menekankan pentingnya mewujudkan esensi kemitraan yang setara melalui musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan. Hal ini dinilai belum terlaksana dengan baik, bahkan oleh aplikasi ojek online besar seperti Gojek dan Grab.
Ketiga, Arif menyarankan model koperasi jika modal menjadi kendala. Dalam model ini, driver bertindak sebagai pemilik platform, sehingga pengelolaan lebih transparan.
Arif menyimpulkan bahwa aturan ketat Zendo berpotensi eksploitatif dan bertentangan dengan prinsip kemitraan. Ia menantang Zendo dan SUMU untuk merespons saran yang diberikan atau mengevaluasi aturan yang ada agar tidak melanggar esensi kemitraan dan tetap menghormati hak-hak driver.
Arif menyoroti bahwa pihak Muhammadiyah sendiri hingga saat ini belum melihat regulasi Zendo sebagai sebuah masalah (bn/dnv).