45 Tahun di Balik Dinding RSJ: Kisah Kasibba, Perempuan yang Suaranya Direnggut

45 Tahun di Balik Dinding RSJ: Kisah Kasibba, Perempuan yang Suaranya Direnggut
Ilustrasi Kisah Kasibba yang terkurung selama 45 tahun di RSJ Inggris (Ist)

INDONESIAONLINE – Bayangkan 45 tahun hidupmu terenggut, terkunci di balik dinding dingin rumah sakit jiwa (RSJ), padahal jiwamu tak sakit. Bayangkan suaramu tak didengar, kebutuhanmu tak dipenuhi, identitasmu direduksi menjadi label mengerikan: “pencungkil mata”.

Inilah kisah Kasibba, seorang perempuan penyandang autisme dengan gangguan belajar yang terperangkap dalam labirin sistem kesehatan mental Inggris sejak usia tujuh tahun.

Kasibba, nama yang diberikan otoritas setempat untuk melindunginya—seperti hantu terlupakan, diyakini berasal dari Sierra Leone. Tanpa suara, tanpa keluarga yang berteriak membela, ia menghabiskan hampir seluruh hidupnya di sebuah institusi yang seharusnya menjadi tempat penyembuhan, bukan penjara. Bahkan, 25 tahun dari hidupnya dihabiskan dalam ruang isolasi, sunyi dan terasing.

Dr. Patsie Staite, seorang psikolog klinis, menjadi mercusuar harapan di tengah kegelapan hidup Kasibba. Sembilan tahun lamanya, Dr. Staite berjuang keras, menghadapi tembok birokrasi dan stigma, demi membebaskan perempuan yang tak berdaya ini.

Kisahnya, yang terungkap dalam investigasi BBC File on 4, adalah cermin buram dari sistem yang gagal melindungi mereka yang paling rentan.

“Saya belum pernah melihat seseorang hidup dalam situasi seperti yang dialaminya,” ungkap Dr. Staite dengan nada getir dilansir dari BBC.

“Yang paling mengejutkan adalah semua itu sah,” ucapnya getir.

Sah di mata hukum, namun sungguh biadab di mata kemanusiaan. Di balik fasad rumah sakit yang “sah”, tersembunyi kenyataan pahit bahwa Kasibba “dikurung selama lebih dari 23 jam dalam sehari”.

Di rumah sakit jiwa—yang namanya dirahasiakan demi melindungi Kasibba—Dr. Staite menunjukkan sebuah lubang menganga di pagar. Lubang itu, katanya, sengaja dipotong agar Kasibba bisa melihat secercah dunia luar, orang-orang yang berlalu lalang di luar tembok penjara mentalnya.

Kisah kelam Kasibba dimulai jauh sebelum itu. Diperkirakan ia diperdagangkan dari Sierra Leone sebelum usia lima tahun. Sempat singgah di panti asuhan, namun penempatan itu gagal. Di usia tujuh tahun, takdir membawanya ke rumah sakit jiwa, tempat yang seharusnya menjadi perlindungan, justru menjadi kurungan seumur hidup.

Staf rumah sakit jiwa, dalam catatan mereka, melabeli Kasibba sebagai individu “berbahaya” dan “pencungkil mata”. Dr. Staite menelusuri arsip dan menemukan secuil insiden yang menjadi dasar julukan mengerikan itu: kebakaran kecil, kepanikan, dan cakaran seorang anak perempuan berusia 19 tahun yang ketakutan, melukai mata pasien lain.

Sejak saat itu, stigma “pencungkil mata” melekat erat, mengubur kemanusiaan Kasibba di bawah tumpukan prasangka.

“Tuduhan itu tidak benar,” tegas Dr. Staite, suaranya bergetar.

Bagaimana mungkin seorang perempuan setengah baya dengan gangguan belajar, yang menghabiskan puluhan tahun dalam isolasi, bisa dianggap “berbahaya”? Pertanyaan ini menggema, menantang logika dan hati nurani.

Berbulan-bulan Dr. Staite mencurahkan waktu dan tenaganya, menyusun laporan setebal 50 halaman yang ia serahkan kepada Dewan Camden, otoritas lokal yang pertama kali mengirim Kasibba ke rumah sakit jiwa. Laporan itu jelas: Kasibba tidak sakit jiwa, tidak berbahaya, dan aman untuk hidup di masyarakat.

Pada tahun 2016, sebuah tim profesional terbentuk. Misi mereka tunggal: membebaskan Kasibba. Lucy Dunstan, seorang advokat disabilitas dari Changing Our Lives, bergabung sebagai suara independen bagi Kasibba. Tugasnya berat: membangun argumen yang tak terbantahkan tentang mengapa Kasibba layak menghirup udara kebebasan.

Namun, jalan menuju kebebasan terjal dan berliku. Keputusan akhir ada di tangan Pengadilan Perlindungan, institusi yang membuat keputusan bagi mereka yang dianggap tak mampu membuat keputusan sendiri. Ketika Dunstan pertama kali melihat Kasibba, staf rumah sakit hanya memperkenalkan perempuan itu sebagai “si pencungkil mata”.

“Rasanya seperti diperlakukan layaknya binatang,” kenang Dunstan, pilu.

Ia melihat Kasibba dari balik jendela kecil di pintu terkunci. “Dia hanya berbaring di sofa. Kamar itu sangat kosong. Hidupnya benar-benar menyedihkan.”

Enam tahun berlalu sejak pertemuan pertama itu. Lalu, datanglah panggilan telepon yang mengubah segalanya. Pengadilan Perlindungan memutuskan: Kasibba bebas.

“Saya menangis. Senang. Lega. Kagum padanya. Bangga,” kata Dunstan, emosinya meluap.

“Ini bukan tentang saya dan apa yang kami lakukan, tetapi tentang dia yang melakukannya dan dia menunjukkannya kepada mereka,” ungkapnya.

Kini, Kasibba hidup di tengah masyarakat, dikelilingi pekerja kemanusiaan yang berkomunikasi dengan sentuhan lembut, gerakan, dan bahasa sederhana. Manajer perawatannya bercerita tentang Kasibba yang menyukai mode, bangga dengan rumah barunya, dan menikmati interaksi sosial.

“Dia memiliki selera humor yang luar biasa. Dia manusia yang cantik,” kata manajer itu, suaranya penuh haru. “Setelah sekitar dua minggu bekerja di sini, dia benar-benar datang dan memeluk saya. Bukan untuk mencungkil mata, lho.”

Kisah Kasibba adalah keajaiban kecil di tengah tragedi besar. Reformasi Undang-Undang Kesehatan Mental yang tengah dibahas di parlemen Inggris diharapkan dapat mencegah tragedi serupa terulang. Namun, janji pemerintah untuk memindahkan penyandang disabilitas dari rumah sakit jiwa ke perawatan masyarakat masih jauh dari kenyataan. Target demi target terlewati, ratusan orang masih mendekam, terabaikan.

Jess McGregor, pejabat Dewan Camden, mengakui “tragedi” yang menimpa Kasibba. “Saya pribadi minta maaf,” katanya. “Dia seharusnya tidak mengalami apa yang dialaminya.”

Namun, permohonan maaf saja tak cukup. Kisah Kasibba adalah seruan lantang untuk perubahan sistemik. Ini adalah pengingat pedih bahwa di balik angka statistik dan jargon birokrasi, ada manusia, ada kehidupan yang berharga, yang seringkali terlupakan dan terabaikan.

Kisah Kasibba adalah kisah tentang suara yang akhirnya didengar, tentang kebebasan yang akhirnya diraih, setelah penantian panjang selama 45 tahun di balik dinding rumah sakit jiwa. Semoga, kisahnya menjadi pelajaran berharga agar tragedi serupa tak pernah terulang.