Gencatan Senjata Iran-Israel: Damai Rapuh Pasca-Perang 12 Hari

Gencatan Senjata Iran-Israel: Damai Rapuh Pasca-Perang 12 Hari
Ilustrasi gencatan senjata Iran-Israel yang menurut berbagai pakar dan media asing rapuh dan di ujung tanduk (al arabiya)

Setelah 12 hari perang sengit, gencatan senjata antara Iran dan Israel mulai berlaku. Namun, dengan ratusan korban jiwa dan kerugian ekonomi masif di kedua belah pihak, perdamaian permanen masih menjadi tanda tanya besar. Simak analisis kerugian dan keuntungan strategisnya.

INDONESIAONLINE – Suara ledakan rudal untuk sementara waktu telah hening di Timur Tengah. Setelah 12 hari pertempuran sengit yang menelan ratusan korban jiwa, gencatan senjata antara Iran dan Israel akhirnya berlaku efektif sejak Jumat, 23 Juni.

Meski begitu, kesepakatan yang dimediasi Amerika Serikat ini dinilai sangat rapuh, dengan kedua negara kini sibuk menghitung kerugian masif sambil sama-sama mengklaim kemenangan strategis.

Konflik yang berlangsung selama hampir dua minggu ini telah meninggalkan jejak kehancuran yang dalam. Di tengah kelegaan sesaat, ketidakpastian membayangi masa depan kawasan, apakah gencatan senjata ini hanya jeda sebelum badai berikutnya, atau langkah awal menuju perdamaian yang lebih permanen.

Laporan dari berbagai media internasional seperti Al Jazeera dan CNN melukiskan gambaran suram dampak pertempuran. Iran menanggung beban korban jiwa terbesar.

Data yang dihimpun menyebutkan antara 439 hingga 627 orang tewas, termasuk sejumlah perwira militer senior dan ilmuwan nuklir yang menjadi tulang punggung program strategis negara itu.

Kerusakan infrastruktur di Iran juga signifikan. Serangan Israel yang didukung Amerika Serikat dilaporkan berhasil menghantam tiga fasilitas nuklir utama serta sejumlah pangkalan militer. Kehilangan personel ahli dan kerusakan fasilitas vital ini menjadi pukulan telak bagi program pertahanan dan nuklir Teheran.

Di pihak lain, Israel juga tidak keluar tanpa luka. Serangan balasan rudal balistik dan drone Iran berhasil menembus pertahanan udara Israel, menewaskan 29 orang dan melukai lebih dari 1.200 lainnya.

Serangan tersebut juga sempat mengganggu operasi di fasilitas krusial seperti kilang minyak Bazan dan Bandara Internasional Ben Gurion, menyebabkan kerugian ekonomi yang diperkirakan mencapai US$3 juta per hari selama konflik.

Secara total, biaya perang bagi Israel diperkirakan sangat besar. Menurut analisis The Guardian, angka tersebut bisa melampaui US$20 miliar atau setara lebih dari Rp325 triliun, mencakup biaya operasional militer, kompensasi kerusakan sipil, dan ongkos rekonstruksi.

Klaim Kemenangan di Tengah Puing

Meskipun menderita kerugian besar, kedua belah pihak sama-sama mengklaim meraih keuntungan politik dan strategis.

Israel berhasil menunjukkan superioritas militernya dengan kemampuan melakukan serangan presisi jauh di dalam wilayah Iran. Dukungan terbuka dari Amerika Serikat, baik secara militer maupun diplomatik, memperkuat posisi tawar Israel di panggung internasional.

Sementara itu, Iran merayakan keberhasilannya sebagai kemenangan simbolis. Untuk pertama kalinya, Teheran mampu menunjukkan kapasitas serangan balasan langsung ke jantung wilayah Israel dan bahkan pangkalan militer AS di Qatar.

Kemampuan ini mengubah kalkulasi strategis di kawasan dan dianggap meningkatkan pengaruh Iran di mata sekutu-sekutunya.

Kini, saat kedua negara menjilat luka mereka, para pengamat menilai gencatan senjata ini berada di ujung tanduk. Dengan kerugian besar di kedua sisi dan tujuan strategis jangka panjang yang belum terselesaikan, bara konflik di Timur Tengah masih sangat mungkin untuk kembali menyala kapan saja.