Di tengah krisis Mataram, dua tokoh beda pulau, Raden Trunajaya dan Karaeng Galesong, mengikat janji lewat pernikahan politik. Aliansi ini picu pemberontakan besar, ungkap intrik istana, luka Perang Makassar, dan keberanian para eksil melawan kekuasaan Jawa-Belanda.
INDONESIAONLINE – Istana Mataram terhuyung dalam pusaran krisis. Legitimasi kekuasaan Sunan Amangkurat I digerogoti intrik internal dan ketidakpuasan dari daerah-daerah taklukan. Di tengah kegamangan itu, benih pemberontakan mulai tumbuh subur, dipupuk oleh ambisi para bangsawan dan dendam para pelaut tangguh dari timur Nusantara.
Sejarah mencatat, pada paruh kedua abad ke-17, sebuah aliansi tak terduga terjalin, menggabungkan kekuatan dari dua pulau yang berbeda: Madura dan Sulawesi.
Dua sosok sentralnya adalah Raden Trunajaya, bangsawan muda dari Madura yang kelak menyandang gelar Panembahan Maduretno dan Karaeng Galesong seorang kesatria pelaut ulung dari tanah Makassar. Persekongkolan ini, yang dipatri bukan hanya oleh kesepakatan militer tetapi juga ikatan perkawinan politik, menjadi katalis yang menggetarkan fondasi Mataram.
Pernikahan itu bukanlah sekadar simbol romantis, melainkan kontrak berdarah dalam atmosfer perpecahan dan luka kolonial pasca-Perang Makassar. Aliansi ini terlahir dari konstelasi geopolitik yang rumit: eksil Makassar yang mencari medan perlawanan baru, ketidakstabilan di Jawa, dan ambisi keluarga kerajaan yang saling sikut.
Sebelum menggandeng Galesong, Trunajaya rupanya pernah mencoba jalan lain. Laporan Piero, seorang utusan Belanda yang tiba di Mataram pada 10 Februari 1675, mencatat pengakuan Trunajaya bahwa ia pernah menjalin perjanjian dengan Pangeran Adipati Anom, putra sulung Sunan Amangkurat I.
Perjanjian rahasia ini, diperkirakan terjadi pada tahun 1670–1671, ditafsirkan sebagai embrio koalisi oposisi terhadap sang raja.
Namun, janji sang putra mahkota itu tak pernah terwujud. Dugaan kuat menyebutkan, Adipati Anom memilih kembali merapat ke pangkuan ayahandanya setelah serangan pertama pasukan eksil Makassar ke Gresik dan Surabaya pada awal 1675 berakhir gagal. Sumber Belanda, Daghregister tanggal 20 April 1675, mencatat kegagalan serangan awal ini.
Melihat ketidakpastian dari pihak istana Mataram, Trunajaya bergerak cepat. Ia perlu sekutu yang loyal dan tangguh. Pilihan jatuh pada Karaeng Galesong. Trunajaya memberikan kemanakannya—seorang putri bangsawan Madura—kepada Galesong untuk dipersunting.
Pernikahan ini berlangsung dengan satu syarat krusial: Galesong harus menaklukkan Gresik dan Surabaya untuk kepentingan Trunajaya.
Bukti ikatan ini semakin kuat ketika pada Januari 1677, lahirlah seorang anak dari pernikahan tersebut. Ini mengindikasikan bahwa perkawinan dan pakta politik itu kemungkinan telah terjalin sejak akhir tahun 1675.
Tindakan ini membuktikan bahwa konspirasi tersebut telah direncanakan matang sebelum tahun 1676, jauh dari kesan insiden mendadak.
Karaeng Galesong: Sang Kesatria Laut dari Timur
Siapakah Karaeng Galesong, pria yang bersedia mengikat janji dengan Trunajaya dan membawa kobaran Perang Makassar ke tanah Jawa?
Karaeng Galesong bukanlah tokoh sembarangan. Ia adalah simbol perlawanan lintas wilayah terhadap dominasi kolonial Belanda. Lahir dengan nama asli I Manindori, ia adalah bangsawan tinggi Kerajaan Gowa, mewarisi darah kepemimpinan dari ayahnya, Sultan Hasanuddin—”Ayam Jantan dari Timur”—meski bukan putra mahkota.
Gelar kehormatannya, Karaeng Galesong Karaeng Tojeng, menunjukkan statusnya sebagai pangeran yang disegani dan penguasa teritorial penting.
Galesong sendiri, nama sebuah wilayah subur di selatan Gowa, adalah jantung logistik kerajaan, lumbung padi yang vital. Dari sinilah sang Karaeng kelak meneguhkan identitasnya sebagai pemimpin perang. Sejak muda, ia telah terlibat dalam berbagai ekspedisi militer, membuktikan keberanian, keahlian strategi laut dan darat, serta kapasitas intelektualnya sebagai bangsawan yang berilmu.
Namun, takdir Gowa berubah pahit pada tahun 1669. Dalam Perang Makassar yang epik, Gowa akhirnya harus mengakui keunggulan koalisi VOC dan Raja Bone, Arung Palakka. Perjanjian Bongaya 1669 menjadi lambang kekalahan, mengikat Gowa dalam ketundukan ekonomi, politik, dan militer pada Belanda. Bagi Karaeng Galesong, ini bukanlah akhir perlawanan, melainkan awal dari babak baru.
Empat tahun setelah Bongaya, tepatnya tahun 1671, Galesong mengambil keputusan besar. Ia meninggalkan Gowa bersama armada kecil yang loyal—keluarga, pengikut, dan prajurit setia. Pelayaran menuju barat bukan pengasingan, melainkan gerakan taktis untuk menyusun ulang kekuatan perlawanan terhadap VOC.
Pendaratannya di Pelabuhan Banten pada Oktober 1671 adalah persinggahan strategis, tempat ia disambut oleh Sultan Ageng Tirtayasa, penguasa Banten yang juga tengah berupaya keras mempertahankan otonomi dari cengkeraman VOC pimpinan Cornelis Speelman.
Di Banten, Galesong dan pasukannya ikut berjuang dalam Perang Banten, memperkuat perlawanan terhadap Belanda.
Namun, peta politik Jawa berubah lagi. Pada tahun yang sama, datanglah utusan dari Jawa Tengah: Raden Kajoran, bangsawan Mataram bergelar tinggi sekaligus tokoh spiritual karismatik, yang juga mertua dari Raden Trunajaya. Kajoran memohon Galesong agar bersedia membantu perjuangan menantunya yang tengah menyiapkan siasat besar menggulingkan Sunan Amangkurat I di Mataram dan mengusir pengaruh VOC.
Permintaan itu tak langsung diterima. Sebagai seorang panglima berpengalaman, Galesong paham bahwa beraliansi dengan Trunajaya berarti membuka front perang ganda—melawan Mataram dan VOC sekaligus. Namun, naluri pejuang merdeka dan memori pahit kejatuhan Gowa mendorongnya menerima permohonan tersebut. Maka, dimulailah babak baru: Perlawanan Trunajaya-Galesong melawan hegemoni Jawa-Belanda.
Makassar Bangkit: Kobaran Api di Sepanjang Pantura
Setelah mengkonsolidasikan kekuatan di Demung dan mendapat dukungan dari penguasa Madura, pasukan gabungan Trunajaya-Makassar memulai gerak sistematis ke daratan Jawa. Target pertama mereka adalah empat pelabuhan strategis di jalur Pantura Jawa Timur: Pasuruan, Pajarakan, Gombong, dan Gerongan.
Serangan dilancarkan dengan brutal dan terencana. Semua kota pelabuhan itu dibakar habis. Laporan dari Jepara tanggal 14 November 1675, serta catatan dari Jonge dalam “Opkomst VI:193”, mengkonfirmasi kehancuran yang ditimbulkan.
Meskipun serangan itu dahsyat, perlawanan lokal sempat muncul. Di Pasuruan, putra Kiai Darmayuda gugur setelah berhasil membunuh perwira Makassar bernama Karaeng Mamar. Di Gombong, Lurah Sutaprana, adik Kiai Darmayuda, berjuang sengit melawan Karaeng Panaragang dan Daeng Mamut.
Pasukan lokal sempat memukul mundur pemberontak, namun dalam waktu tiga minggu, pasukan gabungan kembali dan menghancurkan Gombong serta Pasuruan setelah pertempuran tujuh hari.
Dari pelabuhan yang dikuasai, lebih dari 50 perahu berhasil mereka boyong ke Demung, markas utama pemberontakan. Dari sinilah, pasukan Trunajaya-Makassar memperluas penetrasi ke barat dan utara, mengincar jantung perdagangan Jawa Timur: Gresik dan Surabaya.
Gresik, kota pelabuhan penting di utara Surabaya, menjadi sasaran berikutnya. Penduduk kota mencoba bertahan, membentengi pantai dengan bambu, sementara sebagian mengungsi ke Gunung Gin. Namun, pertahanan itu tak cukup. Meskipun sempat menahan serbuan awal, Gresik akhirnya jatuh. Sepuluh prajurit Makassar tewas, termasuk dua berpakaian zirah, menunjukkan sengitnya perlawanan.
Surat dari Jepara pada 7 Desember 1675 melaporkan bahwa Gresik dan Jortan (dekat Gresik) telah dimusnahkan sepenuhnya. Kepanikan melanda Surabaya. Kota itu praktis kosong. Warga sipil melarikan diri tanpa perlawanan. Daghregister tanggal 29 Januari 1676 mencatat eksodus massal warga ke hutan dan daerah pegunungan, meninggalkan kota-kota pesisir dalam kekosongan administratif.
Kesaksian langsung datang dari seorang nakhoda Melayu bernama Soutana, yang memberikan laporan mendalam di Batavia pada 10 Maret 1676. Ia menyaksikan perahunya yang tertambat di Gresik terbakar dalam kekacauan. Soutana juga memberikan rincian kekuatan pemberontak: sekitar 800 orang Makassar, 300 Bugis, dan 1.000 orang Melayu, di bawah komando Encik Amar. Mereka datang dengan armada sekitar 150 perahu.
Nama-nama penting dalam komando pasukan Makassar pun terungkap: Kraeng Bonto Marannu, Kraeng Galesong, Kraeng Panaragang, Daeng Mammangung, Daeng Manggappa, dan Daeng Lomo Tibon. Kehadiran seorang pangeran muda dari Wasya juga mencengangkan, menandakan bahwa pemberontakan ini tidak hanya didukung oleh mantan prajurit atau rakyat jelata, tetapi juga melibatkan darah biru dari kawasan timur Nusantara.
Legitimasi dari Istana: Cap dan Surat Putra Mahkota
Fakta paling mengejutkan dalam narasi pemberontakan ini adalah penemuan bahwa para pemimpin pemberontak ternyata membawa serta cap (stempel resmi) dan surat pengukuhan dari Pangeran Adipati Anom. Dalam lanskap politik Jawa, ini setara dengan mengantongi legitimasi untuk bertindak atas nama pewaris takhta yang sah.
Karena itu, banyak penguasa daerah di pesisir Jawa Timur enggan bertindak keras terhadap pemberontakan tersebut. Bahkan, Pangeran Madura, Pangeran Sampang, dan Pangeran Surabaya terang-terangan menyatakan kesetiaan mereka kepada sang putra mahkota—bukan kepada Sunan Amangkurat I.
Menurut laporan yang dikumpulkan dari orang Melayu, kesetiaan diam-diam Adipati Anom terhadap pemberontakan ini dipicu oleh kabar bahwa sang Sunan hendak mengangkat putra lainnya, Pangeran Probatarani dari Singasari, sebagai pewaris takhta yang baru.
Kebijakan ini menciptakan keretakan internal istana yang dimanfaatkan sempurna oleh kekuatan oposisi untuk merekrut sekutu dari kalangan bangsawan dan militer yang kecewa.
Sementara sumber Belanda dan Melayu berfokus pada kronologi militer, sumber-sumber Jawa seperti Babad B.P. dan Babad Meinsma memberikan sudut pandang berbeda. Mereka menyoroti ketidakhadiran para penguasa lokal di tempat saat serangan terjadi sebagai penyebab utama rapuhnya pertahanan.
Di Pajarakan, misalnya, Ngabei setempat sedang berada di Mataram ketika diserang. Hal serupa terjadi di Demung. Ini mencerminkan kegagalan sistem pemerintahan pusatistik Mataram dalam menjamin perlindungan efektif bagi daerah-daerah pinggiran dari ancaman luar.
Sebuah Warisan Perlawanan Lintas Pulau
Konspirasi Trunajaya dan Karaeng Galesong pada tahun 1675 bukanlah peristiwa lokal yang berdiri sendiri. Ia adalah hasil pahit dari pertarungan klaim politik dalam tubuh kerajaan Mataram, luka mendalam yang dibawa oleh para eksil pasca-Perang Makassar, dan jaringan sosial-politik yang melintasi batas geografis—dari Madura, Bugis, Gowa, hingga jantung Jawa Tengah.
Pernikahan politik antara Trunajaya dan Galesong bukan hanya menyatukan dua individu, melainkan dua dunia yang sebelumnya terpisah selat dan kepentingan. Dari aliansi inilah meletus pemberontakan besar yang mengguncang fondasi kekuasaan Amangkurat I hingga ke akar-akarnya.
Dengan menelusuri data dari laporan daghregister Belanda, catatan babad lokal, dan kesaksian para pedagang, kita dapat melihat betapa kompleksnya sejarah Indonesia abad ke-17—sebuah era interkoneksi kekuasaan, kejatuhan dinasti, dan persekutuan antar bangsa yang melintasi batas etnis dan agama.
Historiografi periode ini tak bisa dipisahkan dari konflik internal kerajaan Jawa dan dinamika geopolitik maritim Nusantara pasca-kolonialisasi Gowa.
Dalam arus deras sejarah tersebut, konspirasi Trunajaya-Galesong menjadi simbol tragedi dan tekad perlawanan—bahwa dalam politik Nusantara, darah, pernikahan, dan pengkhianatan seringkali menjadi mata uang yang paling berharga, memicu peristiwa besar yang mengubah jalannya sejarah.
Meskipun nasib mereka berdua berakhir tragis—Trunajaya dihukum mati atas perintah penguasa baru, dan Galesong gugur dalam pertempuran—nama mereka tetap dikenang. Mereka bukan sekadar tokoh yang terseret dalam pusaran perang takhta, tetapi simbol dari perlawanan yang melampaui ambisi pribadi.
Trunajaya, bangsawan Madura, berani mengguncang pusat kekuasaan Jawa. Karaeng Galesong, pendekar dari Timur, membawa semangat maritim Gowa ke jantung tanah Jawa, bertempur hingga akhir demi cita-cita merdeka yang telah direnggut dari negerinya.
Persekutuan mereka barangkali rapuh di hadapan kekuatan besar yang terorganisir. Namun, semangat yang melatarbelakangi perlawanan mereka—berjuang untuk tanah air, bukan sekadar untuk mahkota—adalah ketulusan yang dikenang rakyat.
Sejarah mungkin mencatat perpecahan dan kekalahan mereka, tetapi ingatan kolektif menghargai keberanian dan pengorbanan mereka. Dalam denyut perjuangan bangsa, nama Trunajaya dan Galesong tak pernah benar-benar padam. Mereka adalah peringatan abadi bahwa perjuangan melawan penindasan tidak mengenal batas darah, pulau, atau bahasa—melainkan disatukan oleh cita-cita kemerdekaan (ar/dnv).