Beranda

Anggaran LPSK Dipangkas 62%: Perlindungan Korban Kanjuruhan Terancam?

Anggaran LPSK Dipangkas 62%: Perlindungan Korban Kanjuruhan Terancam?
Saat Yayasan Korban Tragedi Kanjuruhan (YKTK) diresmikan dan akhirnya mendapat bantuan LPSK yang kini anggarannya dipangkas pemerintah dengan adanya kebijakan efisiensi anggaran (Ist)

INDONESIAONLINE – Kebijakan efisiensi anggaran yang digaungkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 menuai kritik tajam. Bukan dari oposisi politik, melainkan dari Yayasan Korban Tragedi Kanjuruhan (YKTK), sebuah organisasi yang seharusnya mendapatkan uluran tangan negara, bukan justru merasakan dampaknya secara langsung.

Pemangkasan anggaran ini, ironisnya, mengarah pada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), satu-satunya harapan bagi keluarga korban tragedi kelam yang merenggut ratusan nyawa di Stadion Kanjuruhan.

Kabar pahit ini bak petir di siang bolong bagi YKTK. Anggaran LPSK, lembaga yang selama ini menjadi garda terdepan dalam melindungi saksi dan korban kejahatan, dipangkas secara drastis hingga 62 persen. Dari alokasi awal Rp 229 miliar, kini hanya tersisa Rp 85 miliar.

Sebuah pukulan telak yang tidak hanya mengancam operasional LPSK, tetapi juga masa depan perlindungan bagi mereka yang paling rentan, termasuk keluarga korban Kanjuruhan.

Ketua YKTK, Devi Athok, dengan suara bergetar mengungkapkan keterkejutannya. “Kami baru mengetahui kabar pemangkasan anggaran ini pada Sabtu kemarin (8/2/2025). Sontak, kami langsung membuat surat terbuka sebagai bentuk protes dan permohonan bantuan,” ujarnya dengan nada getir, Minggu (9/2/2025). Resah dan khawatir jelas terpancar dari suaranya.

Surat terbuka YKTK bukan sekadar curahan hati. Ditujukan langsung kepada Presiden Prabowo, Menteri Keuangan, serta Komisi III dan XIII DPR RI, surat ini memuat poin keberatan yang sangat mendasar.

“Keputusan pemerintah memangkas anggaran LPSK sebesar 62 persen ini berdampak langsung pada terancamnya perlindungan yang selama ini kami rasakan. LPSK adalah lembaga negara yang masih setia membersamai kami, keluarga korban,” tegas Devi.

Sebelum kebijakan efisiensi ini diterapkan, Devi mengakui bahwa 32 keluarga korban Kanjuruhan yang tergabung dalam YKTK merasakan keamanan dan perlindungan dari LPSK. Namun, bayang-bayang ketidakpastian kini menghantui. Pertanyaan besar menggantung: Bagaimana nasib perlindungan mereka selanjutnya?

“Kami sangat resah. Khawatir akan keselamatan kami, keluarga korban, yang selama ini dilindungi LPSK,” ujar Devi mengungkapkan kecemasannya.

Tragedi Kanjuruhan bukan sekadar insiden masa lalu. Trauma mendalam dan potensi ancaman masih membayangi keluarga korban. Perlindungan LPSK bukan lagi sekadar fasilitas, melainkan kebutuhan mendesak untuk menjaga stabilitas psikologis dan fisik mereka.

Lebih dari sekadar anggaran yang dipangkas, YKTK melihat ini sebagai sinyal kemunduran komitmen negara dalam memberikan keadilan dan perlindungan bagi korban kejahatan. Pemangkasan anggaran LPSK di tengah masih banyaknya kasus pelanggaran HAM dan kebutuhan perlindungan saksi yang kompleks, dianggap sebagai langkah yang kontraproduktif.

Dalam surat terbukanya, YKTK juga mendesak Komisi III DPR RI untuk segera merespons surat permohonan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang telah mereka kirimkan sejak 20 Januari 2025. Permohonan yang dikirimkan melalui email dan pos ini, hingga kini belum mendapatkan jawaban.

“Kami meminta Komisi III DPR RI segera merespons permohonan RDPU kami. Masih ada satu tersangka dalam Tragedi Kanjuruhan, Ahmad Hadian Lukita, yang belum disidangkan. Ini adalah bagian dari upaya kami mencari keadilan secara tuntas,” Devi menjelaskan urgensi RDPU tersebut.

Selain isu tersangka yang belum diadili, YKTK juga ingin membahas dua poin krusial lainnya dalam RDPU. Pertama, penanganan laporan model B atas nama Devi Athok terkait Tragedi Kanjuruhan yang mandek di Bareskrim Mabes Polri. Kedua, masalah restitusi di Pengadilan Negeri Surabaya yang dinilai tidak sesuai dengan nominal yang diajukan LPSK selaku kuasa hukum keluarga korban.

Restitusi, sebagai hak korban untuk mendapatkan ganti rugi, menjadi semakin krusial di tengah kondisi ekonomi yang sulit. Pemangkasan anggaran LPSK, secara tidak langsung, juga berpotensi menghambat proses pendampingan dan pengawalan restitusi bagi keluarga korban Kanjuruhan.

Surat terbuka YKTK adalah alarm bagi pemerintah dan DPR RI. Efisiensi anggaran memang penting, namun jangan sampai mengorbankan perlindungan kelompok rentan dan rasa keadilan bagi korban kejahatan. Tragedi Kanjuruhan adalah luka bangsa yang belum sepenuhnya sembuh. Membiarkan keluarga korban kehilangan perlindungan, sama saja dengan mengorek kembali luka tersebut dan mengabaikan tanggung jawab negara untuk hadir bagi warganya yang membutuhkan (to/dnv).

Exit mobile version