INDONESIAONLINE – Kerajaan-kerajaan di Madura memasuki masa suram saat Belanda melakukan birokratisasi, awal Abad XIX (antara 1837-1886).

Belanda dengan sistem birokratisasinya menyatukan Madura ddalam satu keresidenan khusus dengan kantor pusatnya di Pamekasan.

Eksesnya kerajaan Pamekasan ditutup pada 1858 dan kemudian berganti dengan sistem kabupaten seperti saat ini.

Belanda dengan cerdik memanfaatkan kondisi Panembahan Pamekasan yakni Pangeran Adipati Ario Surio Kusumo yang berada dalam kesulitan ditambah kondisi kesehatannya yang kian lemah untuk memecatnya dari posisi administratif pada 1853. Roda pemerintahan Pamekasan sejak saat itu dijalankan oleh seorang patih dan asisten residen Belanda.

Diceritakan sejak dikukuhkan sebagai raja pada 1842, Panembahan Ario Surio Kusumo kerap membangkang kolonial. Saat itu Surio Kusumo tidak pernah menyetorkan upah dari pabrik gula sebesar 13 ribu gulden sehingga dianggap korupsi. Dia juga tak menyetorkan upeti selama dua tahun (1852-1853) sebesar 70 ribu gulden.

Setelah Kerajaan Pamekasan ditutup, giliran kerajaan Sumenep yang jadi incaran Belanda. Namun, penutupan Kerajaan Sumenep ini tidak semudah menutup Kerajaan Pamekasan. Panembahan Sumenep yang bertahta saat itu begitu kuat, bahkan punya pengaruh hingga ke Jawa lewat talian pernikahan.

Belanda baru memiliki peluang menguasai Kerajaan Sumenep setelah panembahan sepuh wafat pada 1854 dan digantikan oleh anaknya, Panembahan Noto Kusumo.

Menurut Kuntowijoyo dalam buku Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura, Noto Kusumo disebut membiarkan kantor kepatihan diambil-alih Belanda dan para pegawai digaji langsung oleh kolonial serta diberi gelar tumenggung, sebuah gelar yang lebih tinggi daripada gelar patih.

Baca Juga  Kontroversi Pajak Urine Era Romawi Kuno

Lalu, kala Panembahan Noto Kusumo jatuh sakit pada 1873, Residen Madura kala itu mengusulkan kepada Belanda agar mengambil alih sepenuhnya Kerajaan Sumenep. Usul tersebut baru didengarkan oleh Belanda setelah Panembahan Noto Kusumo wafat pada 29 Mei 1879.

Selanjutnya, untuk mencegah terjadi perselisihan atas pengambil-alihan itu, Belanda menunjuk Pangeran Ario Mangku Adiningrat, anak angkat Noto Kusomo, sebagai bupati Sumenep pada 1881. Status Kerajaan Sumenep pun resmi dicabut Belanda pada 18 Oktober 1883.

“Meski pemerintahan belum diambil alih sepenuhnya, tapi penguasa Sumenep sejak saat itu bukan lagi seorang raja mandiri,” tulis Kuntowijoyo, penulis buku Madura 1850-1940.

Kerajaan terakhir di Madura, yaitu Bangkalan jadi ujian Belanda saat akan menutupnya. Belanda baru bisa memaksakan keinginannya pada 1863 setelah Panembahan Bangkalan Cakra Adiningrat wafat setahun sebelumnya.

Sepeninggal Cakra Adiningrat, Kerajaan Bangkalan dilanda gonjang-ganjing seputar peralihan kekuasaan karena Cakra Adiningrat tak memiliki putra mahkota.

Aslinya, Pangeran Adipati, adik termuda Cakra Adiningrat, telah diangkat menjadi pengganti. Namun dia meninggal pada 1887, di usia yang masih sangat muda.

Sepeninggal Pangeran Adipati, bermuncul spekulasi seputar pengganti Cakra Adiningrat. Antara cucu laki-laki Cakra Adiningrat atau putra Pangeran Adipati.

Baca Juga  Sosok Shodanco Partohardjono Pengibar Bendera Merah Putih Pertama di Blitar yang "Terlupakan"

Sangat disayangkan dua kandidat ini “gugur”. Pertama karena cucu panembahan masih berusia 8 tahun. Kedua karena putra Pangeran Adipati dianggap tidak cakap menjadi raja.

Kemudian, gonjang ganjing peralihan kekuasaan itu dimanfaatkan Belanja untuk menekan Kerajaan Bangkalan agar membagi wilayah kekuasaannya menjadi tiga distrik, yaitu Distrik Bangkalan, Distrik Blega dan Distrik Sampang. Belanda sendiri paling mengincar wilayah Sampang.

Pada awalnya, panembahan Bangkalan menolak tawaran Belanda itu. Namun, akhirnya dicapai kesepakatan yang akhirnya membuat Sampang menjadi distrik tersendiri. Secara administratif, wilayah pesisir itu berada di bawah penguasaan Residen Madura di Pamekasan.

Sementara itu, gonjang-ganjing pengganti panembahan Bangkalan berakhir setelah Pangeran Surionegoro, paman Cakra Adiningrat, diangkat menjadi bupati pertama Bangkalan. Bangkalan sebagai kabupaten pun diresmikan pada 1 November 1885.

Pengambilalihan Kerajaan Bangkalan ini sempat mendapat penentangan dari sejumlah bangsawan Bangkalan. Salah satunya oleh Raden Ario Surio Adiningrat

Pada saat itu, Belanda khawatir dengan protes ini karena dua anak Raden Ario menguasai pasukan pribumi yang disebut Barisan. Untuk mencegah munculnya gejolak, Raden Ario akhirnya diasingkan ke Bandung, Jawa Barat.

Mereka berunjuk rasa untuk mendukung raja pribumi. Untuk mengatasi dan mencegah insiden, Belanda merespons demo itu dengan mendatangkan satu batalion pasukan infanteri dari Surabaya. Dan tampaknya cara ini berhasil. Tak ada insiden apa pun selama unjuk rasa berlangsung (ina/dnv).