INDONESIAONLINE – Di balik kemegahan tembok batu dan kilau ukiran emas pendapa Keraton Yogyakarta pertengahan abad ke-19, tersembunyi lebih dari sekadar rutinitas istana. Di sana, di jantung kekuasaan Jawa yang kian terkekang, seorang raja muda merajut intrik, membangun konspirasi senyap, dan menanam benih ambisi tersembunyi yang kelak membuat cemas para penguasa kolonial.
Ini adalah kisah Sri Sultan Hamengkubuwana V dan proyek politiknya yang paling rahasia: Klub Rahasia Tumenggung Sclusin.
Dibentuk secara hati-hati sekitar tahun 1845–1846, klub ini di permukaan hanyalah perkumpulan para bangsawan dan pejabat muda. Mereka dikenal gemar bersenang-senang, mungkin juga berjudi, menikmati privilese di lingkaran dalam keraton.
Namun, seperti lapisan gula yang menutupi pil pahit, di balik aktivitas sosial yang tampak ringan itu, tersembunyi cita-cita politik yang jauh lebih dalam. Cita-cita yang, jika berkembang, bisa menggoyang tatanan yang selama ini dijaga ketat oleh pemerintahan Hindia Belanda.
Klub ini adalah upaya Hamengkubuwana V untuk menyusun kembali loyalitas, membangun kekuatan eksklusif di luar struktur tradisional, dan mungkin, menumbuhkan arus bawah perlawanan di pusat kekuasaan Jawa.
Hamengku Buwono V: Takhta di Usia Tiga Tahun
Untuk memahami langkah Sultan muda ini, kita harus mundur ke masa kecilnya yang tak lazim. Lahir sebagai Gusti Raden Mas Gatot Menol pada 20 Januari 1821, ia adalah putra dari Hamengku Buwono IV. Namun, takdir menempatkannya di jalur yang berbeda. Ketika ayahnya wafat mendadak pada 1823, GRM Gatot Menol yang masih bayi, baru berusia tiga tahun, harus memangku gelar raja.
Keraton pun dihadapkan pada situasi genting. Sebuah Dewan Perwalian dibentuk, beranggotakan tokoh-tokoh berpengaruh seperti nenek buyut (Ratu Ageng), ibunda (Ratu Kencono), Pangeran Mangkubumi, dan Pangeran Diponegoro. Tapi kekuasaan mereka tak utuh. Pemerintahan harian praktis dipegang oleh Patih Danurejo III, yang ironisnya, berada di bawah pengawasan ketat Residen Belanda. Sultan cilik hanyalah simbol, walinya penasihat, dan kendali riil ada di tangan asing.
Ketegangan memuncak. Tahun 1825, Pangeran Diponegoro, sang sepupu yang cemerlang dan sebelumnya bagian dewan perwalian, melancarkan perang yang kelak mengguncang Jawa. Merasa dilecehkan oleh kebijakan kolonial dan campur tangan dalam adat keraton, Diponegoro mengangkat senjata.
Perang Jawa (1825–1830) pun meletus, menjadi konflik terbesar di tanah Jawa melawan Belanda.
Selama perang berkobar, kekuasaan di keraton kian goyah. Sultan cilik sempat digantikan sementara oleh kakek buyutnya, Hamengku Buwono II, yang dikembalikan Belanda demi stabilitas. Pemerintahannya yang keras hanya singkat, 1826–1828, hingga akhirnya tahta kembali pada GRM Gatot Menol.
Baru pada 1836, di usia 16 tahun, GRM Gatot Menol dinyatakan dewasa dan secara resmi memerintah penuh sebagai Hamengku Buwono V. Ia naik takhta di tengah puing-puing politik dan luka Perang Jawa yang belum sepenuhnya kering. Pangeran Diponegoro sendiri telah ditangkap secara licik pada 1830 dan diasingkan.
Dibesarkan dalam bayang-bayang trauma perang dan di bawah kontrol ketat, Hamengku Buwono V memilih jalur yang berbeda dari para pendahulunya yang militan. Ia menolak konfrontasi terbuka, memilih “perang pasif.”
Kedekatannya dengan Belanda, yang sering disalahpahami sebagai kolaborasi buta, sebenarnya adalah strategi bertahan hidup politik. Ia tahu, adu kekuatan langsung hanya akan menghancurkan keraton yang sudah lemah. Maka, ia memainkan peran diplomatis, menjaga marwah keraton sambil menenangkan Batavia.
Namun, langkah ini tak diterima semua pihak. Di internal keraton, ia dipandang lemah, terlalu “Belanda”. Beberapa sejarawan mencatat julukan “sultan pemelihara status quo.” Tapi gambaran ini barangkali terlalu sederhana.
Hamengkubuwana V, dalam interpretasi lain, mencoba menghidupkan kembali keraton sebagai pusat kebudayaan, bukan medan perang kekuasaan. Ia mendorong kesenian, sastra, pelestarian warisan leluhur—benteng identitas Jawa saat kekuatan politiknya terbatas.
Hidup Hamengkubuwana V berakhir mendadak dan misterius pada 5 Juni 1855. Beberapa sumber mengisyaratkan intrik istana, meski tak tercatat resmi. Ia wafat tanpa penerus langsung dari permaisuri pertamanya, dan istri keduanya sedang mengandung. Tahta pun berpindah ke adiknya, Raden Mas Mustojo, yang menjadi Hamengku Buwono VI.
Klub “Tumenggung Sclusin”: Dari Main-main ke Politik Serius
Menurut laporan Residen R. de Fillietaz Bousquet dan Komisioner Khusus J.F.W. van Nes, jantung dari proyek politik Sultan ini adalah klub eksklusif “Tumenggung Sclusin.” Anggotanya bukan hanya bangsawan senior (enam bupati), tetapi juga para bupati muda (lebih dari dua puluh dua), serta ratusan panji dan nayaka lebet—pejabat dalam keraton. Mereka direkrut dan diangkat langsung oleh Sultan, seringkali berdasarkan favoritisme, bukan garis keturunan atau senioritas.
Sultan memberikan jabatan dan imbalan yang menarik: tanah luas dan gaji bulanan untuk para tumenggung, serta imbalan lebih kecil untuk anggota lainnya. Ia juga memerintahkan pembuatan senjata pusaka baru dan mengumpulkan kembali keris-keris dari pangeran senior untuk diberikan kepada anggota klub saat sumpah setia. Ini bukan sekadar pemberian hadiah; ini adalah tindakan simbolis dan politis—menciptakan legitimasi baru dan memutus ikatan dengan tradisi lama.
Apa yang paling membuat pihak kolonial resah bukanlah jumlah anggota yang terus bertambah, melainkan simbolisme yang dipakai klub itu. Para anggota secara satiris menggunakan nama-nama pejabat tinggi Belanda sebagai identitas mereka: ada yang menyebut dirinya Raad van Indië, Jenderal Cochius, bahkan Residen De Fillietaz sendiri. Bagi sebagian orang ini mungkin lelucon, tapi Van Nes melihatnya lebih dalam: sebagai bentuk “magis politik,” penolakan terselubung terhadap kekuasaan kolonial melalui substitusi simbolik.
Dinamika internal Keraton juga memainkan peran. Sejak awal abad ke-19, istana terpecah menjadi dua faksi utama: Faksi Kasepuhan (pangeran senior, seperti putra HB II) dan Faksi Karajaan (pendukung HB III dan HB V, termasuk patih).
Hamengkubuwana V merasa tertekan di antara dua kutub ini. Ia bahkan secara ironis menyebut dirinya “Tumenggung Kliwon Sasranagara”—gelar rendah untuk seorang tumenggung—atau “Raden Suka Praja Punakawan,” sindiran pahit terhadap posisinya yang seolah sekadar pelengkap istana. Klub ini adalah upayanya untuk membangun faksi ketiganya sendiri.
Intervensi Kolonial dan Bara yang Tersisa
Pada akhir 1846, kecurigaan Belanda memuncak. Van Nes memerintahkan penyelidikan terbuka. Gubernur Jenderal Rochussen, melihat klub itu sebagai ancaman, memerintahkan pembubarannya. Sultan, meski enggan, akhirnya menuruti. Tumenggung Sclusin dibubarkan, keris pusaka dikembalikan, aktivitas dihentikan. Patih Danurejo IV, yang dianggap melindungi gerakan ini, dipensiunkan.
Namun, api di balik dinding istana tak sepenuhnya padam. Tahun 1849, tiga tahun setelah pembubaran klub, muncul laporan tentang pertemuan rahasia di malam hari di dalam keraton. Kali ini melibatkan tuan tanah Eropa dan Indo-Eropa bersama bangsawan Jawa, termasuk mantan tokoh penting seperti Patih Danurejo V. Diskusi politik sensitif ini, yang dianggap “tidak layak tentang pemerintah,” menyebar dan memicu kecemasan baru di Batavia. Gubernur Jenderal Rochussen kembali mengirim surat keras, menuntut penghentian semua pertemuan politik rahasia.
Dalam pusaran ini, nama Pangeran Arya Rangga mencuat. Tokoh muda penuh semangat ini memiliki koneksi luas, bahkan dengan ulama karismatik. Ia sempat dikabarkan menyusun rencana “pengorbanan diri” demi nama besar Diponegoro. Belanda menuduhnya bagian dari konspirasi baru—sisa bara dari jaringan klub rahasia Sultan. Arya Rangga akhirnya ditangkap dan diasingkan ke Ternate. Surat-suratnya dari pengasingan menunjukkan ambiguitas: ia menyebut Diponegoro masih sebagai “Sultan Erucakra,” simbol perlawanan messianistik, namun di sisi lain mengaku hanya mencari kedudukan lebih baik.
Meski singkat dan berakhir dengan pembubaran paksa, Tumenggung Sclusin bukan sekadar perkumpulan sosial atau hura-hura. Ia adalah cermin dari kegelisahan politik di Keraton yang kehilangan sebagian besar kekuasaannya. Ia adalah upaya seorang raja muda untuk beradaptasi, untuk mencari cara baru membangun legitimasi dan loyalitas, bukan lagi dari garis darah atau tradisi semata, melainkan dari hubungan personal dan imbalan.
Dalam pandangan kolonial, ini tindakan yang membahayakan. Namun, dari kacamata sejarah pribumi, ini bisa dilihat sebagai salah satu bentuk bagaimana elite pribumi, terutama yang lebih muda, mencoba merintis jalan baru, menemukan ruang gerak di bawah bayang-bayang penjajahan.
Sejarah mungkin tak mencatat “Tumenggung Sclusin” sebagai awal revolusi besar. Tak ada pertempuran yang meletus dari sana, tak ada semboyan kemerdekaan yang lahir. Namun dalam kesenyapannya, dalam penggunaan nama-nama satir Belanda, dalam sumpah setia dan keris pusaka yang diberikan, tersimpan desah pertama dari sebuah niat—keyakinan bahwa masa depan Jawa belum sepenuhnya ditulis oleh penguasa asing. Bahwa takhta bukan hanya warisan masa lalu, melainkan medan pertarungan visi, arah, dan pembangunan kekuatan baru di tengah dunia yang berubah (ar/dnv).