INDONESIAONLINE-Sebagai kota kuno, Kotagede selalu sangat menarik dikunjungi. Di kota penghasil kerajinan perak ini, traveller bisa menemukan sejumlah tempat bersejarah peninggalan Kerajaan Mataram Islam. Salah satunya Masjid Gedhe Mataram atau Masjid Agung Kotagede.

Lokasi Masjid Gedhe Mataram berada di pusat Kecamatan Kotagede, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tepatnya lokasi masjid ini berada di selatan Pasar Kotagede.  Bangunan masjid ini pasti akan dilewati oleh traveller dan peziarah yang hendak menuju kompleks pemakaman Raja-raja Mataram di Kotagede. Bangunan masjid ini berbentuk limasan. Cirinya terdapat pada atap yang berbentuk limas. Ruanganya terbagi dua yakni inti dan serambi.

Masjid Gedhe Mataram didirikan sejak Ki Ageng Pamanahan membuka alas mentaok. Masjid ini selesai dibangun pada 1589 atau pada akhir abad ke-16 dan menjadi masjid tertua di Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain fungsinya sebagai tempat ibadah umat Islam, Masjid Gedhe Mataram merupakan bagian dari konsep catur gatra tunggal atau empat kesatuan, yakni keraton, masjid, alun-alun, dan pasar.

Masjid Gedhe Mataram juga menjadi simbolisasi akulturasi budaya di era Mataram Islam. Beberapa jejak budaya Islam, Jawa, Hindu, dan China bisa ditemukan pada tata bangunan masjid yang telah berusia berusia ratusan tahun tersebut.

Tahun berganti abad. Demikian pula setelah ibukota Kerajaan Mataram Islam berpindah tempat dari Kotagede ke tempat lain, Masjid Gedhe Mataram tetap ada. Bahkan masjid ini kokoh berdiri hingga kini sebagai tempat ibadah umat Islam. Masjid ini juga menjadi daya tarik wisatawan yang berkunjung ke Daerah Istimewa Yogyakarta.

Baca Juga  KH Abdul Ghofur, Pendiri Pondok "Tarawih Cepat" di Blitar Sekaligus Tentara Pejuang yang Gigih Melawan Penjajah

“Masjid Agung Kotagede ini berdiri sejak Mataram Islam berdiri. Dibangun sejak Ki Ageng Pamanahan hijrah dari Pajang dan membuka Alas  Mentaok,” ungkap Endrimasto, Abdi Dalem Keraton  Kasunanan. Endri adalah Abdi Dalem yang bertugas di Komplek Pemakaman Raja Mataram di Kotagede.

Dijelaskan Endri, saat perjalanan hijrah menuju Hutan Mentaok, Ki Ageng  Pamanahan saat tiba di Prambanan bertemu dengan etnis Hindu. Setelah berinteraksi dan bercengkrama, banyak etnis Hindu yang ikut Ki Ageng ke Hutan Mentaok. Kebersamaan dan toleransi cukup tinggi hingga akhirnya etnis Hindu membantu Ki Ageng Pamanahan membangun Masjid Agung Kotagede.

“Pembangunan masjid kemudian banyak dibantu Umat Hindu. Salah satu yang sangat terlihat adalah pintu masuk Masjid Gedhe Mataram Kotagede yang berwujud Pura. Dalam pembangunanya, Umat Islam membangun Masjdinya, sementara Umat Hindu membangun pagar masjid. Konsep itu dulu yang mengajarkan Sunan Kalijaga. Dan bentuk bangunan ini dipertahankan hingga saat ini,” paparnya.

Di awal pembangunanya, struktur bangunan masjid awalnya masih berupa langgar. Pembangunan kemudian dilanjutkan oleh anak Ki Ageng Pamanahan yakni Panembahan Senopati yang merupakan Raja pertama Kerajaan Mataram Islam. Di masa Panembahan Senopati inilah langgar kemudian dibangun menjadi Masjid Agung Kotagede.

Baca Juga  Golden Tulip Holland Resort Batu Hadirkan Nuansa Natal Bak di Amsterdam

Panembahan Senopati berpesan, bentuk bangunan Masjid Agung Kotagede tidak boleh diubah. Mulai dari Masjid hingga gapura masjid yang berbentuk pura harus tetap dipertahankan.

“Tidak boleh ada yang diubah. Ini pesan dari Raja Mataram Islam pertama yakni Kanjeng Panembahan Senopati. Dan bangunan yang ada hingga saat ini benar-benar dipertahankan bentuknya. Terutama Pintu gerbang bagian utara yang belum pernah melalui tahap renovasi. Bangunan tidak boleh dirubah, kalaupun boleh itu diperbaiki,” tukasnya.

Setelah masa Panembahan Senopati, Masjid Gedhe Mataram melalui dua kali era pembangunan. Pertama di masa kepemimpinan Sultan Agung. Selanjutnya Masjid Gedhe Mataram pernah direnovasi oleh Raja Keraton Kasunanan Surakarta Sri Susuhunan Pakubuwono X.

Di halaman masjid nampak sebuah prasasti setinggi 3 meter. Prasasti tersebut merupakan pertanda bahwa Sri Susuhunan Pakubuwono X pernah merenovasi masjid ini. Prasati itu berbentuk bujur sangkar. Dan di bagian puncaknya terdapat lambang Keraton  Kasunanan Surakarta. Sebuah jam diletakkan di sisi selatan prasasti sebagai acuan waktu salat.

“Ada perbedaan bagian masjid yang dibangun oleh Sultan Agung dan Paku Buwono X. Perbedaan itu terdapat pada bagian tiangnya. Tiang yang dibangun oleh Sultan Agung berbahan kayu. Sementara tiang yang dibangun Paku Buwono X berbahan besi,” pungkas Endri.