*dd nana veno (Dua Tubuh yang Berpelukan di Perempatan Jalan-1)

Malam menyemburatkan hitam. Meledakkan sel-sel amarah yang tersekat di belikat dada. Dengan lahap, kau tadah di mulutmu yang merah. Suaranya bergemuruh, menindas sorak-sorai para lelaki yang dibakar peperangan di lapangan kurusetra.

Tubuhmu menggelinjang. Rambutmu yang melebatkan malam mengejang. Menguarkan aroma yang asing (bukankah itu bau basa yang mengundang?) meskipun aku rasa itu bukan sekedar syahwat.

Karena semua orang tahu, kaulah perempuan yang mempersuamikan lima lelaki sekaligus, tentunya dengan cinta (?). Ya, gelinjang tubuhmu bukan sekedar syahwat, tetapi ada yang lebih intim, lebih syahwat, lebih pekat, lebih menyeruakkan segala pedih yang tergambar di raut wajah para perempuan yang pernah kujumpai.

Gelinjang tubuhmu adalah kehausan atas keharusan yang begitu lama tertunda. Terpendam oleh kesabaran, rasa kasih sayang, atau lebih tepatnya kelemahan dari para suamimu. Begitu kau suatu ketika dengan suara lirih mengatakannya padaku.

Baca Juga  Membaca Al-Fill di Malam Hari

“12 tahun aku menyeret tubuhku dalam kegelapan di hutan-hutan yang dipenuhi segala macam binatang dan tuba. Aku tak pernah mengeluh. 12 tahun aku kunyah penderitaan dengan diam dikegelapan yang diam-diam menyuntingku. 12 tahun aku mengasuh dan merawat para suamiku dalam gelombang kesetiaan tak henti-henti. Seperti lidah ombak samudera yang menjilati pesisir pantai. Aku tak pernah meminta apapun dari semua yang kulakukan. Bahkan terlalu banyak aku berikan segala kepemilikan untuk mereka”.

Tetapi kebungkaman mereka atas hak dasar keperempuanku, atas api yang warnanya berkilauan seperti puting payudaraku, tak pernah mereka lunaskan.

Mereka bilang, “Bagaimana bisa kami memerangi darah sendiri, apalagi di sana adalah atap bagi para orang tua yang kami hormati. Pinisepuh yang harus kami sembah. Bersabarlah dewi…..para dewa tak pernah tertidur.”

Baca Juga  (4) Kelopak Bunga Satu Tangkai

Ya, saat itu, kau, terdiam tanpa kata-kata. Tidak ada air mata. Tapi, dengan segala yang telah menimpamu, aku yakin, dalam dadamu yang membusung indah itu, peperangan di kurusetra sedang berkecamuk sebelum perang itu meletus, bukan begitu?

Kau tersenyum, meski dingin itu yang menyergap mataku, tetapi tak pernah aku pungkiri bahwa senyum selintas itulah yang membuatku betah untuk menemanimu setiap malam.

Menyusuri ketidakpastian, membaca arah sejarah yang selalu menunda keberpihakannya kepada yang lemah (BERSAMBUNG)…

*Pecinta Kopi Pait