Beranda

Efisiensi Anggaran Picu Domino Effect: Industri Hotel Malang di Persimpangan Jalan

Efisiensi Anggaran Picu Domino Effect: Industri Hotel Malang di Persimpangan Jalan
Hadirnya Inpres 1/2025 terkait efisiensi anggaran membuat industri perhotelan Kota Malang khawatir terdampak secara langsung (Ilustrasi/Ist)

INDONESIAONLINE – Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran yang awalnya bertujuan menyehatkan fiskal negara, kini justru membayangi sektor vital lainnya: industri perhotelan.

Di Kota Malang, geliat pariwisata yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi lokal, terancam terpukul telak. Kekhawatiran ini bukan isapan jempol belaka, melainkan suara lantang dari pelaku industri yang merasakan langsung potensi “domino effect” kebijakan tersebut.

Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Malang melalui ketuanya Agoes Basoeki secara terbuka menyampaikan keresahan mendalam. “Efisiensi anggaran memang langkah penting, tapi dampaknya ke sektor perhotelan bisa sangat signifikan. Kami khawatir, ini justru akan memicu gelombang PHK dan penurunan pendapatan hotel, terutama di kota-kota yang mengandalkan pariwisata seperti Malang,” ungkap Agoes.

Agoes menjelaskan, selama ini, kegiatan pemerintahan – mulai dari rapat, konferensi, pelatihan, hingga pameran (MiCE) – menjadi salah satu sumber pendapatan utama bagi banyak hotel, terutama hotel-hotel yang memiliki fasilitas konvensi.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, sektor akomodasi dan makan minum menyumbang sekitar 3-4% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia secara keseluruhan. Di daerah-daerah wisata, kontribusi sektor ini bisa jauh lebih besar, bahkan mencapai dua digit persentase PDRB. Artinya, penurunan aktivitas di sektor ini bisa memiliki dampak ekonomi yang luas.

Inpres 1/2025, meski bertujuan baik, justru memicu ketidakpastian. Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah penekanan pada efisiensi kegiatan seremonial. Definisi “seremonial” yang kabur inilah yang dikhawatirkan akan diinterpretasikan secara luas, termasuk membatasi kegiatan MiCE yang sebenarnya memiliki multiplier effect ekonomi yang besar.

“Kami sepakat, kegiatan seremonial yang boros memang harus dipangkas. Tapi, MiCE ini beda. Ini bukan sekadar ‘hura-hura’, tapi kegiatan ekonomi yang melibatkan banyak pihak, dari hotel, restoran, transportasi, UMKM lokal, hingga tenaga kerja,” tegas Agoes.

Ia menambahkan, PHRI pusat telah berupaya menyampaikan aspirasi industri kepada pemerintah pusat, berharap agar kebijakan efisiensi ini ditinjau ulang dan mempertimbangkan dampak sektoral yang lebih luas.

Kekhawatiran Agoes bukan tanpa dasar. Kota Malang, dengan predikat sebagai salah satu destinasi wisata utama di Jawa Timur, memiliki puluhan hotel dengan fasilitas konvensi yang selama ini mengandalkan segmen MiCE.

Hotel-hotel seperti Grand Mercure, Savana, Ijen Suites, dan Aria Gajayana, yang disebut langsung oleh Agoes, adalah contoh nyata hotel yang investasi besar pada fasilitas MiCE. Jika kegiatan pemerintah di sektor ini dipangkas drastis, tingkat okupansi hotel-hotel ini bisa merosot tajam.

Data dari Statista mencatat, tingkat hunian kamar hotel di Indonesia pada tahun 2023 rata-rata berada di kisaran 52%. Angka ini masih jauh di bawah level pra-pandemi, yang rata-rata di atas 60%. Pandemi COVID-19 memang sudah berlalu, namun pemulihan sektor perhotelan masih berjalan lambat. Kebijakan efisiensi anggaran ini, menurut PHRI, justru bisa menjadi “rem tangan” yang menghambat laju pemulihan tersebut.

Agoes mengakui, dampak pemangkasan anggaran ini memang belum terasa secara signifikan saat ini. “Sejauh ini, tingkat keterisian kamar hotel di Malang masih relatif stabil. Tapi, ini baru kekhawatiran awal. Jika Inpres ini diterapkan secara ketat, dampaknya pasti akan terasa dalam beberapa bulan ke depan,” ujarnya.

Menghadapi situasi yang tidak pasti ini, Agoes mendorong pelaku industri perhotelan untuk tidak hanya berpangku tangan. “Kita harus kreatif. Jangan hanya bergantung pada kegiatan pemerintah. Diversifikasi pasar, promosi yang lebih gencar, dan inovasi produk adalah kunci untuk bertahan,” katanya.

Ia mencontohkan, hotel-hotel bisa lebih fokus pada pasar leisure (wisatawan individu dan keluarga), wedding, atau event swasta lainnya. Namun, upaya adaptasi dari industri perhotelan saja tidak cukup. Pemerintah, menurut Agoes, juga memiliki peran penting untuk menjaga keberlangsungan sektor ini.

“Kami berharap pemerintah pusat dan daerah bisa duduk bersama dengan PHRI, mencari solusi yang win-win. Efisiensi anggaran memang penting, tapi jangan sampai mengorbankan sektor ekonomi yang lain,” tandas Agoes (rw/dnv).

Exit mobile version