INDONESIAONLINE – Panggung politik Korea Selatan kembali menyaksikan babak dramatis yang seolah menjadi kutukan bagi para penghuni Blue House.
Pada Jumat, 4 April 2025, palu Mahkamah Konstitusi mengetuk akhir dari masa jabatan Presiden Yoon Suk Yeol, mengukuhkan keputusan pemakzulan parlemen yang dipicu oleh langkah kontroversialnya memberlakukan darurat militer sepihak beberapa bulan sebelumnya.
Yoon kini tercatat dalam sejarah kelam negerinya, bukan hanya sebagai presiden kedua yang dicopot paksa, tetapi juga yang pertama ditangkap saat masih berkuasa, meski sempat dibebaskan karena celah prosedur.
Kejatuhan Yoon bukanlah sebuah anomali, melainkan gema terbaru dari serangkaian nasib tragis yang membayangi kursi kepresidenan Korea Selatan. Sejak republik ini berdiri, jalan para pemimpinnya kerap berujung pada skandal, penjara, pengasingan, bahkan kematian.
Langkah Yoon mendeklarasikan darurat militer pada 3 Desember 2024 dengan dalih memerangi “pasukan anti-negara” dan tuduhan kecurangan pemilu tanpa bukti kuat, menjadi titik baliknya.
Parlemen bergerak cepat menolak dekrit tersebut dan meloloskan mosi pemakzulan. Tuduhan pidana pemberontakan, yang membawa ancaman hukuman seumur hidup atau mati, menggantung di atas kepalanya. Setelah beberapa minggu menolak pemeriksaan dan menghindari penangkapan, Yoon akhirnya ditahan pada Januari 2025, sebelum dibebaskan tak lama kemudian.
Kini, tanpa jabatan dan perlindungan negara, ia harus angkat kaki dari kediaman resmi, sementara Korea Selatan bersiap menggelar pemilihan umum dalam 60 hari.
Ironisnya, Yoon Suk Yeol sendiri pernah menjadi aktor kunci dalam kejatuhan pendahulunya. Sebagai jaksa, ia memimpin penyelidikan yang menjerat Park Geun-hye, presiden perempuan pertama Korea Selatan.
Park, putri diktator Park Chung-hee, dimakzulkan pada 2016 dan dicopot pada 2017 atas skandal korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang melibatkan konglomerat raksasa seperti Samsung. Meski sempat dipenjara 20 tahun, ia kemudian mendapat pengampunan.
Sebelum Park, ada Lee Myung-bak (presiden 2008-2013) yang juga terjerat kasus korupsi, termasuk suap dari Samsung, dan divonis 15 tahun penjara sebelum akhirnya diampuni oleh Yoon Suk Yeol pada akhir 2022.
Jalan tragis tak hanya berupa pemakzulan dan penjara. Roh Moo-hyun (presiden 2003-2008), seorang liberal yang memperjuangkan rekonsiliasi dengan Korea Utara, memilih mengakhiri hidupnya sendiri pada 2009. Ia melompat dari tebing di tengah penyelidikan dugaan gratifikasi yang diterima istri dan kerabatnya.
Mundur lebih jauh ke era kediktatoran militer, ada Chun Doo-hwan, “Jagal Gwangju,” yang bertanggung jawab atas pembantaian demonstran pada 1980. Bersama rekannya, Roh Tae-woo, ia divonis mati pada 1996 atas kudeta, pembantaian, dan korupsi, sebelum hukumannya diringankan dan akhirnya diampuni.
Bahkan, kekuasaan absolut pun tak menjamin akhir yang damai. Park Chung-hee, ayah Park Geun-hye yang memerintah dengan tangan besi sejak kudeta 1961, tewas ditembak oleh kepala intelijennya sendiri saat jamuan makan malam pada 1979.
Kematiannya memicu perebutan kekuasaan yang dimenangkan Chun Doo-hwan. Presiden sebelum Park Chung-hee, Yun Po-sun, adalah korban kudeta Park pada 1961.
Cerita kelam ini bahkan dimulai dari presiden pertama, Syngman Rhee. Ia dipaksa mundur dan mengasingkan diri ke Hawaii pada 1960 setelah protes massal meletus akibat dugaan kecurangan pemilu untuk melanggengkan kekuasaannya.
Kisah Yoon Suk Yeol kini menambah daftar panjang pemimpin Korea Selatan yang tersandung dari puncak kekuasaan. Sebuah pola berulang yang mempertanyakan, apakah ada kutukan yang melekat pada jabatan tertinggi di negeri ginseng itu, ataukah ini sekadar cerminan dari dinamika politik yang keras dan tanpa kompromi? Yang pasti, sejarah kembali berulang, meninggalkan bayang-bayang kelam atas demokrasi Korea Selatan.