Dalam opini berjudul “Jember Mencari Keadilan” yang disiarkan di jatimtimes.com (https://jatimtimes.com/opini/269061/20220705/104400/jember-mencari-keadilan), dimuat lebih sepekan lalu (5-7-2022), yang sebagian isinya dipenuhi tuduhan dan sesat nalar (terutama appeal to emotions) melulu, Dr. Aries Harianto, S.H., M.H. juga menyoroti tentang keberadaan Dewan Kesenian Jember (DKJ). Seolah-olah ditenggelamkan dalam empati yang membuatnya kehilangan kata-kata, Dewan Pakar MD KAHMI Jember itu menulis demikian:

 

“Mengelus dada, ketika para seniman dan budayawan tidak mendapatkan payung hukum untuk memajukan kesenian Jember. . .. Kemudian pernyataannya dilanjutkan, “ . . . hanya soal ‘selera’ pendopo yang menghalangi diterbitkannya legalitas berupa SK atas Dewan Kesenian Jember pada diri mereka yang memang selama ini berkutat dengan seni budaya Jember”.  

 

Mari kita periksa pernyataan Dr. Aries tersebut. Dalam bentuk argumen pernyataan tersebut dapat dibaca: “Karena ‘selera’ pendopo menghalangi para seniman dan budayawan  mendapatkan payung hukum (legalitas/SK) atas Dewan Kesenian Jember maka (aku) mengelus dada”.

 

Ungkapan emosi pada bagian konklusi – maka (aku) mengelus dada – tersebut tidak relevan untuk membuktikan apakah ‘selera’ pendopo menghalangi atau tidak menghalangi penerbitan SK Dewan Kesenian Jember (DKJ). Ungkapan emosi tersebut hanya berfungsi memicu empati agar pembaca terdistraksi atau teralihkan perhatian dari problem DKJ yang sebenarnya.

Problem kedua dalam pernyataan argumentatif tersebut adalah premisnya: “’Selera’ pendopo menghalangi para seniman dan budayawan mendapatkan payung hukum atas DKJ”.  Premis ini, bagaimanapun, ditujukan untuk menyerang pendopo, menistakan pendopo. Dalam hal ini bukan berarti menyerang atau menistakan pendopo (jika diasumsikan menggunakan majas totum pro parte, “pendopo” mengacu pada Bupati) selalu sesat nalar. Menyerang atau menistakan Bupati itu bisa tidak sesat nalar sepanjang premisnya logis dan relevan.

Apa yang dimaksud “’selera’ pendopo” dalam premis tersebut? Kalau “selera” berarti kepentingan pribadi Bupati; apakah kepentingan pribadi Bupati selalu berkorelasi relevan/logis dengan menghalangi para seniman dan budayawan mendapatkan legalitas untuk DKJ? Hambatan penerbitan legalitas/SK DKJ tidak selalu dilakukan Bupati berdasarkan kepentingan pribadi. Premis tersebut mengandung sesat nalar ad hominem, argumen yang dalam ranah politik bisa disebut mudslinging, menistakan dan menuduh secara tidak adil dengan tujuan menghancurkan reputasi lawan.

Selain sesat nalar, pernyataan Dr. Aries tersebut juga obskur atau tidak jelas. Kita ambil contoh saja, sebenarnya siapa yang ia sebut para seniman dan budayawan dalam pernyataannya tersebut? Bila yang ia maksud adalah (sebagian atau seluruhnya) anggota DKJ periode sebelumnya, ia seharusnya dapat menyatakannya dengan jelas. Menyebut anggota DKJ periode sebelumnya dengan para seniman dan budayawan, sama saja dengan membesar-besarkan.

Baca Juga  Pak Awal dan Sontoloyo | Jatim TIMES

Apalagi ditambah dengan klaim bahwa mereka, para seniman dan budayawan tersebut, sangat berkontribusi dalam mengomunikasikan Jember di mata nasional dan internasional. Kita tidak akan berbantah mengenai benar salahnya klaim tersebut. Namun, karena konteks bahasannya tentang DKJ, mau tidak mau klaim tersebut terdengar memberikan pujian hanya pada para seniman dan budayawan anggota DKJ. Seolah-olah para seniman dan budayawan di luar anggota DKJ tidak memberikan kontribusinya untuk Jember.  

Walaupun pernyataan yang sesat nalar dan obskur tidak layak ditanggapi, namun karena artikel tersebut manipulatif dan beresiko merusak cara berpikir khalayak, aku kira, artikel tersebut harus dijernihkan. Sebelum melangkah lebih jauh, kita harus tekankan di sini, bahwa tulisan ini hanya menanggapi bagian artikel yang membicarakan tentang DKJ, yang hanya kurang dari tiga paragraf pendek.

Di atas, sedikit banyak, kita sudah menjernihkan dua paragraf yang membicarakan DKJ. Namun kita tidak perlulah menanggapi secara rinci paragraf ketiga yang mengidap kontradiksi tak tersembuhkan atau nggak nyambung. Agar mendapat gambaran yang jelas kita kutip utuh paragraf tersebut: “Meskipun tidak mempersoalkan legalitas karena komunitas mereka berbuat atas dasar gerak hati dan ketulusan, seniman dan budayawan yang juga dipelopori akademisi itu tetap produktif sebagai manifestasi I Love Jember. Bahkan masih mengiang dalam ingatan soal otoritas yang ‘merampas’ lapangan bola Talangsasri”.  Apa hubungannya “tidak mempersoalkan legalitas” dengan “otoritas yang ‘merampas’ lapangan bola Talangsari?”  

Setelah memeriksa konstruksi logis kalimat-kalimat dalam tiga paragraf. Sekarang waktunya membahas secara esensial premis “’Selera’ pendopo menghalangi para seniman mendapatkan payung hukum/SK atas DKJ”. Benarkah kepentingan pribadi Bupati menghalangi para seniman mendapatkan payung hukum/legalitas/SK atas DKJ? Sebelum menyampaikan pernyataan tersebut, seharusnya Dr. Aries memeriksa terlebih dahulu apa landasan legal yang mendasari pembentukan DKJ periode lalu. Apakah landasan legal pembentukan DKJ periode lalu tersebut memberikan dasar bagi Bupati untuk menerbitkan SK? Jika tidak, maka bukan kepentingan pribadi Bupati yang menghalangi diterbitkannya SK untuk memperbaharui kepengurusan DKJ, tetapi landasan legal pembentukan DKJ itu sendiri.

Baca Juga  RKUHP untuk Kepentingan Bangsa atau Oligarki Penguasa

 

Sesungguhnya Dewan Kesenian Kabupaten Jember (DKKJ) secara kelembagaan telah ada landasan legal pembentukannya dan masih berlaku. Tetapi landasan legal pembentukan kelembagaan DKKJ yang berupa Peraturan Bupati No.60 Tahun 2006 bukanlah landasan legal yang diacu pada pembentukan DKJ periode lalu. Dalam konteks ini saya berharap Dr. Aries juga mau memeriksa Keputusan Bupati Jember (SK) tentang Dewan Kesenian Jember Periode Tahun 2016 – 2021. Terutama pada bagian Memutuskan poin Ketiga dari Perbub tersebut. Kita berharap Dr. Aries dapat memberikan opini atau pendapat tentang isi poin Ketiga tersebut. 

 

Saran Dr, Aries agar “. . . pendopo melakukan tradisi menggali saran, menimba masukan, juga dilakukan terhadap komunitas di luar lingkar birokrasi” dalam kaitan dengan DKJ sesungguhnya sudah dilaksanakan..Pada tanggal 6 Juni 2022, Dinas Pariwisata Kabupaten Jember dan Tim Caretaker DKKJ telah mengadakan Focus Group Discussion (FGD) bersama Pakar dengan tema Tata Kelola Kelembagaan Dewan Kesenian Daerah di gedung Jember Kreatif Laboratorium. Pelaksanaa FGD tersebut adalah itikad dan komitmen Pemerintah Kabupaten untuk membenahi keberadaan DKKJ agar menjadi lembaga kesenian yang strategis.

 

FGD yang merupakan upaya menggali pendapat yang relevan untuk tata kelola DKJ tersebut mengundang para seniman-budayawan, akademisi, dan unsur pemerintah yang berlatar belakang pernah atau sedang duduk dalam kepengurusan DKJ dan tidak pernah duduk  pada kepengurusan DKJ. Sayang sekali tidak semua undangan dapat hadir, termasuk sebagian undangan yang pernah atau sedang duduk pada kepengurusan DKJ.

 

Tentu kita tidak dapat mengetahui dengan pasti kenapa sebagian undangan tersebut tidak hadir. Namun demikian, FGD yang merupakan salah satu metode penelitian kualitatif dengan wawancara semi terstruktur  telah menghasilkan sejumlah rekomendasi untuk pembenahan tata kelola DKKJ. Mari kita tunggu kelahiran DKKJ “baru” yang diharapkan  dapat menjadi lembaga strategis dalam pengelolaan, pengembangan, pemajuan, perlindungan seni-seniman, dan sekaligus dapat melayani kebutuhan nalar estetik dan rasa estetik khalayak di Kabupaten Jember.

 

*) penulis adalah Kritikus Sastra