Beranda

Jerat Predator di Sekolah: Upaya Bungkam Korban Rp 5 Juta dan Intimidasi

Jerat Predator di Sekolah: Upaya Bungkam Korban Rp 5 Juta dan Intimidasi
Ilustrasi kekerasan seksual yang terjadi pada pelajar di Kota Batu, Jatim oleh oknum PNS sejak 2022 (deepai/io)

Kasus kekerasan seksual di Kota Batu mengungkap upaya oknum PNS membungkam korban pelajar dengan uang Rp 5 juta setelah melakukan pencabulan berulang kali.

INDONESIAONLINE – Upaya damai berbalut uang Rp 5 juta menjadi tabir kelam yang menyelimuti kasus dugaan kekerasan seksual di Kota Batu. Alih-alih penyesalan, seorang oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) bernama Supriyanto (53) diduga kuat mencoba membeli kebisuan SA (16), seorang siswi SMA yang telah menjadi korbannya sejak tahun 2022.

Kasus yang lama terpendam akibat ketakutan dan ancaman ini akhirnya meledak ke permukaan, mengungkap sisi gelap dari penyalahgunaan kepercayaan di lingkungan terdekat korban.

Terduga pelaku, yang bekerja sebagai penjaga sekolah dan masih kerabat ayah korban, kini telah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Batu. Namun, jalan menuju keadilan bagi SA diwarnai oleh upaya intervensi sistematis untuk menghentikan proses hukum.

Tawaran Damai dan Surat Perjanjian Cacat Hukum

Sebelum laporan polisi dibuat pada 12 Juli lalu, Supriyanto disebut gencar melakukan manuver untuk menyelesaikan kasus ini “secara kekeluargaan”. Menurut Kuasa Hukum korban, Rochmat Basuki, upaya ini tidak main-main.

“Pelaku sempat meminta mediasi. Dia mengajak RT, RW, bahkan Babinsa dan Bhabinkamtibmas setempat untuk membuat surat perjanjian damai,” ungkap Rochmat, Senin (21/7/2025).

Sebuah surat perjanjian bahkan telah dibuat, di mana pelaku menawarkan imbalan uang senilai Rp 5 juta sebagai kompensasi agar kasus tidak dilanjutkan. Rochmat menegaskan bahwa surat tersebut tidak memiliki kekuatan hukum apa pun untuk menghentikan proses pidana, terutama dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak.

“Surat itu kami duga dibuat atas intervensi kuat dari terduga pelaku. Jika diminta, kami siap mengembalikan uang itu. Yang terpenting adalah keadilan bagi korban,” tegasnya.

Upaya membungkam tidak berhenti di situ. Keluarga korban, yang telah kehilangan sosok ibu sejak 2022, juga diintimidasi. “Mereka ditakut-takuti, dibilang nanti korban tidak bisa sekolah, tidak akan mampu bayar pengacara. Saya pastikan kami dampingi tanpa biaya agar hukum tetap tegak,” tambah Rochmat.

Puncak Gunung Es dan Darurat Nasional

Kasus di Kota Batu ini bukan insiden tunggal, melainkan cerminan dari darurat kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) Kementerian PPPA menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2023 saja, tercatat 17.164 kasus kekerasan terhadap anak, dengan kekerasan seksual mendominasi sebanyak 9.588 kasus.

Fakta yang lebih mengkhawatirkan, seperti dalam kasus SA, pelaku seringkali adalah orang yang dikenal dan dipercaya korban.

Riset ECPAT Indonesia dan Kementerian PPPA menemukan bahwa 87% pelaku kekerasan seksual anak adalah orang dari lingkungan terdekat, termasuk keluarga, tetangga, dan tenaga pendidik. Pola ini menciptakan relasi kuasa yang timpang, membuat korban sulit untuk melapor.

Langkah Tegas Kepolisian dan Kebutuhan Pendampingan Psikologis

Polres Batu bergerak cepat setelah menerima laporan. Kasat Reskrim Polres Batu, AKP Joko Suprianto, mengonfirmasi bahwa kasus ini telah naik ke tahap penyidikan.

“Kami sudah lakukan visum obgyn dan memeriksa sedikitnya empat orang saksi. Terduga pelaku (Supriyanto) telah kami tangkap dan tetapkan sebagai tersangka,” ujar Joko.

Menurut pengakuan tersangka, perbuatan cabul terakhir dilakukan pada 30 Mei 2025 di rumah korban. Atas perbuatannya, Supriyanto dijerat dengan Pasal 82 UU RI No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun.

Meski proses hukum berjalan, satu aspek krusial masih menjadi sorotan: kondisi psikologis korban. Rochmat Basuki menyebut hingga kini SA belum mendapatkan pendampingan psikologis profesional untuk membantunya menghadapi trauma mendalam.

Penangkapan Supriyanto adalah babak awal dari penegakan hukum. Namun, perjuangan sesungguhnya terletak pada pemulihan total bagi SA dan menjadi pengingat keras bahwa tidak ada ruang “damai” bagi kejahatan seksual, terutama ketika predator bersembunyi di balik status sosial dan hubungan kekerabatan (pl/dnv).

Exit mobile version