INDONESIAONLINE – Sejarah lahirnya negara Indonesia tidak dapat lepas dari berbagai peristiwa yang pernah terjadi di Jawa. Salah satu fotografer yang memiliki peranan penting dalam mendokumentasikan berbagai budaya, seni dan peristiwa yang terjadi.

Orang yang pertama melakukan seni fotografer ini adalah Kassian Cephas. Banyak penggemar fotografer yang tak mengenal sosok Kassian Cephas. Untuk itu, simak penjelasan berikut untuk tahu lebih lengkap kisah dari bapak fotografer ini.

Dilansir dari akun Tiktok @goodnewsfromindonesia, Nama Kassian kemungkin besar dari kata “Kasihan” yang dalam bahasa Jawa berarti “kasih”. Putra dari Kartodrono dan Minah, pasangan pribumi ini, lahir di Yogyakarta pada 15 Januari 1845 dengan nama Kassian. Kassian mengambil nama Cephas sebagai nama baptis yang kemudian pada 1889 diresmikan sebagai nama marga.

Kassian memulai karirnya di bidang fotografi dengan magang bersama Simon Willem Camerik, fotografer istana. Sultan Hamengkubuwono IV tertarik dengan minat dan bakatnya pada dunia fotografi dan merekomendasikannya kepada Camerik.

Pada tahun 1869, Isaac Groneman, seorang dokter didatangkan dari Bandung ke Yogyakarta. Groneman yang bekerja sebagai dokter pribadi Sultan Hamengkubuwono VI ini mempunyai minat besar pada arkeologi dan budaya Jepang.

Karena itu Kassian kerap turut ikut dalam perjalanan Groneman ke situs-situs sejarah sebagai fotografer. Karya fotografi profesionalnya dimuat pertama kali dalam buku In den Kedaton te Jogjakarta karya Groneman.

Sultan Hamengkubuwono VII naik tahta menggantikan ayahnya Sultan Hamengkubuwono VI. Dirinya kemudian menunjuk Kassian Cephas sebagai fotografer istana yang selalu mendokumentasi kegiatan raja. Foto pertama yang dapat dibilang sebagai karya Kassian Cephas adalah tentang Borobudur dan berangka tahun 1872.

Ketika terbit koran pertama Yogyakarta, Mataram, Cephas memasang iklan di dalam edisi perdananya, 15 Januari 1877, mengumumkan bahwa studio buka 7.30–11.00 pagi. Pada Juni 1877, studio harus ditutup sementara, karena hujan deras yang membanjiri daerah Loji Kecil menyebabkan kerusakan yang cukup parah. Setelah itu, Cephas tidak lagi rutin mengiklankan usaha fotografinya di koran.

Studio Cephas di Loji Kecil hampir pasti menjadi tempat pengambilan gambar banyak potret orang dan keluarga. Namun demikian, sulit ditentukan apakah banyak potret keluarga Keraton, termasuk Sultan, juga dibuat di sana. Di samping potret, Cephas juga membuat banyak foto bangunan, jalanan, dan monumen kuno, baik di dalam kota maupun jauh di luar kota.

Cephas pertama dicantumkan namanya sebagai jurufoto topografi untuk khalayak nonlokal di dalam artikel Groneman yang ditulis untuk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Masyarakat Seni dan Ilmiah Batavia. Di dalam artikel ini, yang mengangkat topik istana air Tamansari, Januari 1884. Groneman menyatakan bahwa ‘sang jurufoto Jawa’ Cephas membuat beberapa ‘fotogram’ yang bagus dari reruntuhan Tamansari.

Baca Juga  Inspiratif, Mantan TKI Lamongan Bikin Pesawat Terbang STOL

Di dalam pengantar In den Kedaton te Jogjåkartå, Groneman menyebut bahwa seni tari Hindu-Jawa klasik masih terpelihara secara luar biasa di daerah Jawa Tengah, khususnya Yogyakarta. Dengan seijin Sultan Hamengkubuwana VII, Cephas menghasilkan lebih dari 16 gambar dari adegan tari. Karena biaya reproduksi yang tinggi, penerbit terpaksa membatasi publikasi 16 collotype saja.

Pada 1886, Cephas membeli kamera untuk ‘photographie instantanée’. Kamera jenis ini dapat mengambil gambar di dalam 1/400 detik, yang merupakan kemajuan besar. Sebelumnya, orang yang difoto harus diam tidak bergerak selama beberapa saat. Cephas membuat foto dari beberapa tempat di kota dengan kamera baru itu dan menjual cetakan foto ukuran besar, kepada masyarakat seharga f. 1. (Gulden) tiap fotonya. Foto-foto itu dijual sebagai kepada anggota elite Eropa lokal ketika mereka meninggalkan Yogyakarta.

Pada 1888, Cephas memulai prosedur guna diberi status hukum ‘gelijkgesteld met Europeanen’, atau ‘setara dengan orang Eropa’, Akhirnya, pada Oktober 1891, Kassian, dan anak-anaknya, Sem dan Fares diberi pengakuan status hukum sebagai orang Eropa oleh Gubernur Jenderal. Kassian dan anak-anaknya tetap pribumi, namun memperoleh hak untuk diperlakukan sesuai hukum dan aturan Eropa, dan tidak dengan aturan pribumi. Salah satu konsekuensinya, dia diharuskan menikahi istrinya, Dina, sekali lagi, kali ini menurut hukum Eropa. Upacara pernikahan berlangsung pada Desember 1893.

Setelah Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (Royal Institute for Linguistics and Anthropology) di Den Haag menerbitkan karya Kassian Cephas mengenai Prambanan, tulisan Groneman De garebeg’s dikirimkan untuk kali kedua kepada Institute. Sekali lagi, Dewan menolaknya. Namun demikian, pada awal 1895, pada rapat umum tahunan Institute, beberapa anggota mengajukan permohonan untuk penerbitan karya tulis yang menarik tersebut. Dewan akhirnya setuju menerbitkannya sebagai publikasi khusus. De garebeg’s te Ngajogyakarta dihiasi 25 ‘fotogram’ oleh Cephas. Kali ini, ‘fotogram’ yang dimaksud bukanlah collotype, melainkan cetakan blok proses.

Tahun berikutnya, untuk menghormati kegiatannya bagi Perkumpulan Arkeologi, Kassian Cephas dicalonkan menjadi anggota Royal Institute, yang dia terima dengan bangga di dalam sebuah surat bertanggal 15 Juni 1896.

Pada 1901, Kassian Cephas menerima tanda terimakasih lain dari Kerajaan Belanda. Pada perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina, dia diberi penghargaan medali emas Orange-Nassau. Kassian Cephas barangkali diberi penghargaan tersebut karena upayanya memotret dan melestarikan peninggalan arkeologis dan budaya Jawa.

Pada Juni 1899, Groneman dan Kassian Cephas bekerjasama untuk kali terakhir. Mereka meliput pertunjukan wayang orang Pregiwa, sebuah drama tari klasik, yang berlangsung selama empat hari dan bertempat di Keraton. Acara ini diselenggarakan untuk mengenang penobatan Putra Mahkota Gusti Raden Mas Putro alias Mengkunegara III, empat tahun sebelumnya.

Baca Juga  Pernah Jabat Kasat Lantas di Polres Batu, Kini Oskar Syamsudin Ambil Alih Kursi Kapolres

Pada 1902, Kassian Cephas membuat beberapa foto wayang beber dari desa Gelaran di Gunung Kidul. Bentuk seni rakyat ini segera punah dari seluruh Jawa. Saat itu, hanya ada beberapa set gambar tersisa, yang dilukis di gulungan kertas dari kulit kayu. Satu-satunya wayang beber yang tersisa di Yogyakarta adalah di Gelaran, milik seseorang bernama Gunakarya. Masyarakat Yogyakarta hanya melihatnya pada kesempatan yang jarang, misalnya pada perayaan sunat Putra Mahkota atau pada 1898 saat memperingati penobatan Ratu Wilhelmina di Belanda.

Lalu pada September 1902, wayang beber Gelaran dipesan oleh Patih, Kangjeng Raden Adipati Danureja VI, untuk dibawa ke Yogyakarta guna dipelajari oleh G.A.J. Hazeu, seorang guru Bahasa Jawa yang terkenal dari Batavia. Pada saat inilah wayang beber difoto oleh Cephas. Sayangnya, artikel Hazeu terbit tanpa ilustrasi.

Awal 1900-an, ayah dan anak Cephas tidak lagi banyak membuat foto untuk tujuan arkeologi dan umum. Pada 1901, pemerintah kolonial di Batavia mendirikan Oudheidkundige Commissie, atau Komisi Arkeologi, yang kegiatannya mencakup seluruh kepulauan Nusantara. Pada 1913, Komisi digantikan oleh Oudheidkundige Dienst, atau Layanan Arkeologi. Organisasi ini melakukan pengambilan foto sendiri. Pembentukan badan pusat demikian merupakan pukulan kuat bagi perkumpulan arkeologi amatir lokal, seperti Perkumpulan Arkeologi di Yogyakarta, yang memiliki jurufoto sendiri.

Menjelang usia 60 tahun, Kassian Cephas pensiun dari urusan fotografi, menyerahkannya sepenuhnya kepada anaknya, Sem. Selama beberapa waktu, Kassian menjadi ordonnans di Keraton, seorang petugas resmi yang mengantarkan surat dan bertindak sebagai perantara, di dalam upaya menjaga hubungan dengan Residen dan pejabat lain.

Pada 1905, Kassian ditunjuk menjadi ketua. Gelar barunya adalah hoofdordonnans atau wedanarodonas. Kassian dan istrinya, Dina, telah pindah dari Loji Kecil Wetan ke sebuah rumah di sisi timur laut Keraton, di Musikanan, tempat wedanarodonas biasa bertempat tinggal. Disebut Musikanan, karena di situ tinggal para pemusik kerajaan yang memainkan alat musik Eropa.

Pada 16 September 1911, istri Cephas meninggal dunia dan pada 16 November 1912, setelah menderita penyakit cukup lama. Sementara Kassian Cephas juga turut meninggal di usianya yang ke-68 tahun atau tepatnya pada tanggal 16 November 1912, dua pekan kemudian, 2 Desember 1912 sebuah kecelakaan yang tidak dijelaskan, membuat sahabatnya Isaac Groneman juga meninggal dunia. (Mut/Yah)