INDONESIAONLINE  – Nama Kiai Kaliyah kurang begitu dikenal sebagai ulama terkemuka di wilayah Madiun. Namun jika menelisik jauh ke belakang, Kiai Kaliyah memiliki reputasi mentereng saat Madiun dan Mancanegara Timur Yogyakarta dipimpin Raden Ronggo Prawirodirdjo III.

Ya, sosok Kiai Kaliyah tak dapat dilepaskan dari masa keemasan Madiun di masa silam, saat wilayah ini masuk dalam kekuasaan Kesultanan Yogyakarta.

Siang itu, Sabtu 3 Juni 2023 Kota Madiun begitu panas menyengat, namun tidak dengan puncak Gunung Bancak di Desa Giripurno, Kecamatan Gorang Gareng, Kabupaten Magetan. Berada 15 kilometer dari pusat Kota Madiun, Gunung Bancak terasa begitu sejuk dan dingin. Sinar matahari yang “marah” kepada manusia seperti tak mampu menembus dinginnya udara Gunung Bancak yang dikelilingi pepohonan rindang. Di gunung inilah, Kiai Kaliyah beristirahat dalam damai, mendampingi dua jasad muridnya, Raden Ronggo Prawirodirdjo III dan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Maduretno.

Dilansir dari buku Banteng Terakhir Kesultanan Yogyakarta karya Akhlis Syamsal Qomar, Kiai Kaliyah merupakan seorang kiai yang berasal dari Pacitan.Dia mengabdi kepada Raden Ronggo III di keratonnya di Maospati hingga meninggal dunia. Di Maospati, Kiai Kaliyah diterima dengan baik dan menjadi guru spiritual Raden Ronggo III dan permaisurinya yang cantik GKR Maduretno.

Berdasarkan Babas Patjitan karya Raden Gandawardjaja, dikisahkan sebab Kiai Kaliyah pergi dari Pacitan dan memilih mengabdi kepada Bupati Wedana Madiun Raden Ronggo III di Maospati. Suatu hari di Dusun Gantung di Pacitan, ada seorang yang dikenal memiliki kelebihan seperti waliyullah (kekasih Allah yang mempunyai karomah atau kelebihan yang sulit dicerna akal manusia). Dia tidak lain adalah Kiai Kaliyah.

Suatu hari, Kiai Kaliyah di Pacitan berusaha membendung Sungai Grindulu yang mengakibatkan airnya naik ke daratan dan membanjiri desa-desa di sekitarnya. Hal tersebut diketahui oleh Kiai Joyoniman alias Kiai Jimat, putra Kiai Joyonudin dan masih terhitung sebagai trah Ki Ageng Buwono Keling, seorang leluhur Pacitan yang saat itu di masa Kesultanan Demak masih beragama Buddha.

Sekilas tentang Kiai Jimat, pada masa kolonialisme Inggris (1811-1816), Joyoniman bertindak sebagai ngabehi (camat) di Arjowinangun, yang berada di sisi timur Kali Pacitan atau Kali Grindulu. Setelah Setrowijoyo II (bupati Pacitan 1812-1819) mengundurkan diri pada 1819, Kiai Joyoniman naik menggantikannya sebagai bupati dengan gelar Mas Tumenggung Jogokaryo I. Pasca pensiun pada 1826, Mas Tumenggung Jogokaryo I dikenal dengan nama Kiai Jimat atau Kanjeng Jimat.

Baca Juga  Penginapan Kuno Berhantu: The Ancient Ram Inn di Wotton-under-Edge

Kembali ke ulasan mengenai Kiai Kaliyah membendung sungai. Mengetahui keadaan yang terjadi, segeralah Kiai Joyoniman berangkat ke lokasi sungai yang dibendung. Dia menjebol bendungan yang dibuat oleh Kiai Kaliyah. Dengan tongkatnya, Joyoniman berucap “Ini pasti ulah si keparat Kaliyah.” Mengetahui apa yang telah dilakukan Kiai Joyoniman, Kiai Kaliyah merasa malu dan pergi ke Maospati. Di daerah baru di Maospati, Kiai Kaliyah mengabdi kepada Raden Ronggo III, bupati Madiun merangkap bupati wedana Mancanegara Timur Kesultanan Yogyakarta.

Dari garis silsilah, Kiai Kaliyah merupakan keturunan garis laki-laki Kiai Ageng Posong, salah satu murid Bathoro Katong. Kiai Ageng Posong merupakan nama lain Kiai Ampuk Boyo, yang dikenal mendirikan Desa Posong di utara Pacitan, tepatnya di sisi barat Kali Grindulu. Kiai Ageng Posong juga merupakan tokoh yang menjadi sahabat sekaligus besan dari Kiai Ageng Menak Sopal, bupati pertama Trenggalek.

Catatan mengenai Kiai Kaliyah di Maospati dapat ditemukan dalam kisah yang berkaitan Ratu Maduretno. Alkisah suatu hari Ratu Maduretno sedang duduk santai di keraton-nya di Maospati. Dia lalu mencium bau sebuah bunga yang harum semerbak. Ratu Maduretno kemudian bertanya kepada guru spirituanya yang bernama Kiai Kaliyah. Bunga apakah itu? Mengapa baunya wangi sekali dan terletak di mana? Kiai Kaliyah menjawab bahwa dia akan segera mencari petunjuk.

Akhirnya, terdapat informasi bahwa harum semerbak tersebut berasal dari bunga sekar tanjung yang terletak di Gunung Bancak, Desa Giripurno, di sebelah selatan Maospati. Mengetahui hal tersebut, Ratu Maduretno berpesan kepada Kiai Kaliyah bahwa jika di kemudian hari dipanggil oleh Allah, dia meminta untuk dimakamkan di tempat tersebut. Akhir kisah, selanjutnya Kiai Kaliyah memberi nama Gunung Bancak tersebut dengan nama Rancang Kencono atau yang bermakna tempat yang dirancang untuk peristirahatan terakhir sang Ratu.

Di kemudian hari setelah Ratu Maduretno wafat mendadak saat melahirkan pada 1809, Astana Giripurno dibangun Raden Ronggo Prawirodirdjo III di bukit tertinggi yang menghadap tepat di kediamanya di Maospati. Hal ini tak lepas dari sisi romantisme sang bupati wedana terhadap istrinya yang dikenal paling cantik itu.

Baca Juga  Sejarah Pembungkus Kelamin Bernama Kondom

Wafatnnya Ratu Maduretno benar-benar membuat Ronggo kehilangan separuh jiwa. Raden Ronggo konon menghabiskan siang dan malam di dekat makam istrinya tersebut. Dia bahkan meratap-ratap ingin mendampingi istrinya sampai ke akhirat. Situasi ini membuat para bupati bawahannya membujuknya agar segera sadar.

Kondisi Raden Ronggo yang seperti depresi benar-benar membuat cemas orang di sekelilingnya. Tak terkecuali Kiai Kaliyah, guru spiritualnya yang berasal dari Pacitan. Kiai Kaliyah menasihati Ronggo dengan berkata, “Janganlah mengeluh dalam menerima anugerah Allah.(kehilangan istri) ini merupakan permulaan yang tidak menyenangkan (bagimu, tetapi percayalah) di belakang ini Allah (telah merencanakan, kasih dan rahmatnya akan) terlimpah (kepadamu dan) Kota Maospati. Allah (akan) menolong dan istrimu menanti.”

Belum ditemukan catatan di mana Kiai Kaliyah ketika Raden Ronggo Prawirodirdjo III melakukan serangkaian pertempuran melawan VOC di bawah komando Herman Willem Daendels. Pertempuran berlangsung antara tanggal 20 November hingga 17 Desember 1810.  Pemberontakan berlangsung singkat dan dapat segera dipadamkan oleh Daendels dengan bantuan pihak Keraton Yogyakarta.

Dalam peristiwa ini, Sultan Hamengkubuwono II tidak dapat berbuat banyak selain berpura-pura mendukung Belanda akibat tuduhan yang diarahkan Sunan Pakubuwono IV kepadanya. Sunan menuduh Sultan Yogyakarta memihak Ronggo. Sultan sebenarnya ingin melindungi Ronggo, tapi jka dia tidak berpura-pura mendukung Belanda, pihak kompeni akan menghukumnya dengan berat.

Dalam peristiwa ini, Raden Ronggo Prawirodirdjo III gugur dalam pertempuran di Kertosono. Pemberontakan Raden Ronggo gagal, namun pada akhirnya menjadi inspirasi Pangeran Diponegoro untuk mengibarkan bendera Perang Jawa melawan Belanda yang berlangsung dahsyat.

Raden Ronggo memilih memberontak setelah dituduh terlibat dalam suatu serangan lintas batas di Ponorogo yang masuk wilayah Kasunanan Surakarta. Raden Ronggo juga duadukan Sunan Pakubuwono IV terkait dengan keterlibatannya dalam peristiwa Delangu yang menewaskan seorang lurah di Delangu, Klaten. Selain melapor kepada Daendels, Sunan Surakata juga melaporkan Ronggo kepada Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Nicholas Engelhard.

Raden Ronggo memutuskan melakukan pemberontakan untuk melindungi Negara Yogyakarta dan bekas mertuanya, Sultan Hamengkubuwono II. Dia memilih untuk memberontak dan gugur sebagai ksatria daripada mati sia-sia di tangan bangsa Eropa. (ar/hel)