Beranda

Kilas Balik Tsunami Dahsyat Aceh 2004: Mengapa Tak Ada Peringatan Dini?

Kilas Balik Tsunami Dahsyat Aceh 2004: Mengapa Tak Ada Peringatan Dini?
Potret dampak gempa bumi yang disusul tsunami di Banda Aceh pada 26 Desember 2004. (frans delian/shutterstock)

INDONESIAONLINE – Sekitar 20 tahun lalu, tepatnya 26 Desember 2004,  Indonesia mengalami salah satu bencana alam paling dahsyat dalam sejarah, yaitu gempa bumi berkekuatan 9,1 magnitudo yang disusul tsunami besar di Aceh.

Gelombang tsunami yang mencapai ketinggian hingga 15-50 meter ini tidak hanya meluluhlantakkan Aceh, tetapi juga menyapu 13 negara lainnya, mulai dari Sri Lanka hingga Somalia di Afrika.

Bencana tersebut menelan lebih dari 227 ribu korban jiwa, dengan 45 ribu lainnya dinyatakan hilang, dan 280 ribu mengalami luka-luka. Kerugian material yang ditimbulkan mencapai Rp 51 triliun. Sementara lebih dari 100 ribu rumah yang terletak hingga lima kilometer dari garis pantai hancur diterjang air bah.

Tsunami Aceh yang terjadi pada Minggu 26 Desember 2004 pukul 08.45 WIB ini menyita perhatian dunia internasional. Namun, satu pertanyaan besar yang terus muncul adalah mengapa Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), atau yang saat itu masih dikenal sebagai BMG, tidak mampu memberikan peringatan dini tsunami?

Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono melalui akun Instagram pribadinya, @daryonobmkg, mengungkapkan alasan utama di balik ketidakmampuan BMKG memberikan peringatan dini pada saat itu. Beberapa kendala teknologi dan sistem yang dihadapi BMKG adalah sebagai berikut:

• Belum Mengoperasikan Jaringan Seismik Digital
Pada tahun 2004, BMKG masih menggunakan teknologi lama dan belum mengoperasikan jaringan seismik digital. Hal ini membuat kemampuan untuk mendeteksi gempa bumi besar sangat terbatas.

• Jumlah Sensor Seismograf yang Minim
Jumlah sensor seismograf yang dimiliki BMKG sangat sedikit, yakni hanya 28 sensor semi telemetri. Itu pun sebagian dalam kondisi rusak. Selain itu, BMKG memiliki 29 seismograf analog yang tersebar di berbagai kantor Stasiun Geofisika, tetapi semuanya belum terintegrasi dengan baik.

• Teknologi yang Ketinggalan Zaman
BMKG belum mengoperasikan teknologi broadband seismology yang mampu menentukan magnitudo momen (Mw) untuk gempa besar. Sebaliknya, mereka hanya mampu menentukan magnitudo gempa menggunakan skala Richter (SR) dengan seismograf berbasis short period. Hal ini membuat analisis kekuatan gempa kurang akurat untuk skala gempa besar.

• Proses Pengolahan Data yang Lambat
Sistem pengolahan data gempa pada tahun 2004 masih semi-digital dan manual. Akibatnya, proses penentuan parameter gempa membutuhkan waktu lama, dan hasilnya sering kurang presisi.

• Sistem Diseminasi Informasi yang Belum Optimal
Pada masa itu, BMKG belum memiliki sistem penyebaran informasi yang terintegrasi. Penyampaian informasi gempa masih bergantung pada jaringan telepon, yang tentunya kurang cepat untuk mengatasi situasi darurat seperti tsunami.

Exit mobile version