INDONESIAONLINE – Dibuangnya Sunan Amangkurat III hingga wafat di Srilanka berujung dendam anak keturunannya kepada garis keturunan Pakubuwono I. Putera dan keluarga Amangkurat III menilai kudeta Pakubuwono I merupakan cara licik pengambilalihan suksesi kekuasaan. Korban dari intrik keluarga ini adalah Pangeran Teposono.

Ya, catatan Keraton Mataram dan Belanda mengisahkan Amangkurat III diasingkan dan meninggal di Srilanka setelah kudeta Pangeran Puger yang kala itu bekerja sama dengan VOC. Setelah lengser, Amangkurat III meninggalkan Istana Kartasura dan membawa pusaka-pusaka asli Kasultanan Mataram. Puger kemudian mengambil alih kendali kekuasaan Kerajaan Mataram dan bertahta dengan gelar Susuhunan Pakubuwono I.

Dan yang terjadi selanjutnya adalah, penyimpangan keturunan garis monarki dari Amangkurat III ke Pangeran Puger. Pangeran Puger dan permaisurinya, Ratu Mas Blitar  kemudian menurunkan raja-raja Mataram hingga saat ini. Sunan Surakarta, Sultan Yogyakarta, Adipati Mangkunegaran dan Adipati Pakualaman, semuanya adalah keturunan Puger dan Ratu Mas Blitar.

Perebutan kekuasaan secara paksa tersebut cukup kontroversial. Bahkan rakyat Jawa sekalipun menilai perebutan kekuasaan tersebut terjadi karena intervensi Belanda. Perebutan kekuasaan dengan cara kotor ini telah mengubah kerajaan dari garis sah ke garis yang tidak sah.

Amangkurat III adalah putra Raja Mataram Amangkurat II yang mendirikan Keraton Kartasura. Amangkurat III saat bertahta kala itu dikenal sebagai raja yang anti terhadap Belanda, sama seperti kakek buyutnya raja terbesar Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo. Dari garis ini jelas, Amangkurat III adalah pewaris sah penerus tahta Mataram.

Dengan sikap anti-bangsa Eropa, bertahtanya Amangkurat III di singgasana Istana Mataram dinilai Belanda sebagai sebuah ancaman untuk mengabadikan kolonialisme di tanah Jawa. Begitu pun dengan Pakubuwono I, keberadaan Amangkurat III harus dihapuskan dari sejarah untuk mengamankan tahta dan menjauhkan kerajaan dari benih-benih pemberontakan akibat dendam masa lalu.

Pangeran Teposono memang sangat tidak dikenal di sejarah panjang Kerajaan Mataram Islam. Namanya mungkin memang sengaja ditenggelamkan karena sebetulnya dia adalah putra pertama Amangkurat III yang kelak menjadi raja Mataram berikutnya. Sayangnya, tragedi suksesi kekuasaan antara ayahnya dengan Puger telah menghancurkan masa depannya sebagai pewaris tahta.

Catatan versi keraton dan Belanda menyatakan Amangkurat III wafat di Srilanka pada 1734. Tiga tahun kemudian, anggota keluarganya yang masih hidup bersama Amangkurat III di Srilanka kembali ke Jawa bersama benda pusaka kerajaan. Di antara anggota keluarga itu ada dua putra Amangkurat III, yakni Pangeran Teposono dan Pangeran Wiramenggala.

Setelah tiba di Jawa, jenazah Amangkurat III kemudian diberikan kehormatan dengan dimakamkan kembali di Astana Sultanagungan di Imogiri.

Dua putra Amangkurat III dan beberapa anggota keluarga lain itu kemudian diterima kembali di istana. Sayang, kedua pangeran itu kemudian dieksekusi mati atas perintah Raja Surakarta Pakubuwono II. Keduanya dieksekusi di istana setelah terlibat persekongkolan di dalam keraton.

Eksekusi ini dilakukan sebelum Pakubuwono II melancarkan serangan terhadap garnisum VOC di Kartasura pada bulan Juli 1741.

Belum ditemukan keterangan jelas terkait persekongkolan yang dituduhkan Pakubuwono II terhadap dua putra Amangkurat III itu. Namun menurut sumber dari Setono Gedong, Pakubuwono II mengeksekusi dua pangeran itu karena indikasi kuat akan melakukan pemberontakan.

Baca Juga  Permohonan Dispensasi Pernikahan Belum Cukup Umur di PA Banyuwangi Hampir Tembus Seribu

“Cerita dari putro wayah Amangkurat III, Pangeran Teposono dan saudarannya dibunuh oleh Pakubuwono II. Lalu jenazah Pangeran Teposono dibawah ke Kediri dan dimakamkan di Setono Gedong,” jelas juru kunci makam Setono Gedong, Kota Kediri M. Yusuf Wibisono.

Dimakamkannya Pangeran Teposono di Kediri ini kiranya cukup menarik untuk dikaji lebih lanjut.  Konon selain di Imogiri, di Situs Setono Gedong Kota Kediri juga ada makam Sunan Amangkurat III. Di kompleks makam Amangkurat III di Setono Gedong itulah, Teposono dan istrinya dimakamkan. Di situs ini juga terdapat makam Sunan Amangkurat III. Entah makam atau petilasan,  makam itu dikunjungi oleh banyak keturunan Amangkurat III. Bahkan beberapa keturunan yang dekat secara kekerabatan menegaskan makam di Setono Gedong ini berisi jasad sang raja.

Cerita lisan di Kediri memang kontradiktif dengan cerita lisan versi keraton dan Belanda. Cerita lisan versi Kediri menyatakan setelah turun tahta, Amangkurat III memilih untuk menetap di Kediri. Di Kediri inilah Amangkurat III menghabiskan sisa hidup dengan beribadah dan meninggalkan keduniawiannya. Ia memilih meneruskan hidupnya dengan menjadi wali.

Cerita lisan Amangkurat III menghabiskan sisa hidup di Kediri ini didukung oleh bukti yang cukup kuat. Bukti-bukti otentik tersebut di antaranya adanya petilasan-petilasan. Makamnya yang diyakini berisi jasad pun juga ada di Situs Setono Gedong. Di samping makamnya terdapat sebuah kuburan yang berisi pusaka-pusaka asli Kasultanan Mataram yang dulu dibawa lari saat Amangkurat III lengser dari tahta.

Tepat di depan gedongan makam Amangkurat III,  terdapat makam Raden Ajeng Reksporodjo, seorang abdi dalem perempuan yang bertugas membawa dan merawat pusaka-pusaka keraton milik Amangkurat III. Diduga pusaka-pusaka yang dijaga Reksoprodjo itu adalah pusaka yang dibawa Amangkurat III  dari Keraton Kartasura.

“Sebetulnya setelah lengser, beliau tidak sampai dibuang hingga ke Srilanka. Saat perjalanan dalam pelarian, beliau bersama punggawa yang masih setia saat itu dijemput oleh bantuan dari beberapa kasultanan di antaranya dari Banten, Madura dan bahkan ada yang dari Manado. Beliau dijemput dan diantar kembali ke tanah Jawa. Setelah sampai di Jawa beliau tidak ingin kembali ke Solo dan memilih menetap di Kediri,” terang Yusuf, juru kunci Makam Setono Gedong.

Yusuf menambahkan, semasa tinggal di Kediri pada waktu itu Amangkurat III dan Pangeran Teposono tinggal di daerah Joyonegaran. Namun sayangnya, bangunan rumah tempat Amangkurat III tinggal saat ini sudah dibongkar. Andaikan masih ada, bangunan rumah tersebut dapat memperkuat bukti otentik Amangkurat III tinggal dan menetap di Kediri hingga akhir hayatnya.

“Ada bangunan rumahnya di Joyonegaran, tapi sayangnya sudah dibongkar. Dulu tinggalnya beliau di situ,” imbuh Yusuf.

Satu lagi fakta yang nyaris tidak diketahui orang. Keberadaan Amangkurat III di Kediri berpengaruh besar terhadap peradaban. Dalam perkembangannya banyak keturunan Amangkurat III dan Pangeran Teposono yang kemudian bermukim di wilayah Kediri, Blitar dan Tulungagung. Salah satu keturunan dari Pangeran Teposono itu adalah Roro Rahayu yang tak lain ibu dari pahlawan Peta (Pembela Tanah Air) dari Blitar Shodanco Supriyadi.

Baca Juga  Gus Baha Beri Trik saat Bertemu Pocong, Semua Makhluk Halus Akan Ketakutan

Berdasarkan catatan silsilah kekeluargaan trah Susuhunan Amangkurat III, Roro Rahayu menikah dengan Raden Darmadi (bupati ke-9 Blitar, bupati ke-12 Kediri), seorang bangsawan keturunan Kanjeng Jimat Brebek. Dari pernikahan ini lahir anak pertama, yakni Raden Supriyadi. Di kemudian hari Raden Supriyadi tampil sebagai kesatria Nusantara dengan memimpin pemberontakan Peta Blitar yang meletus pada 14 Februari 1945. Supriyadi adalah representasi dari reinkarnasi darah perjuangan leluhurnya yakni Sultan Agung dan Amangkurat III.

Catatan putro wayah juga menyebutkan ada banyak keturunan Amangkurat III yang menjadi ulama, seperti Kiai Mahfudz dari Blitar serta Pangeran Dipokusumo, bangsawan yang pernah mendapat jabatan tinggi di Keraton Yogyakarta dan menjabat Pj Bupati Madiun setelah tewasnya Raden Ronggo Prawirodirdjo III pada 1810.

Jauh sebelum Supriyadi dari Blitar tampil sebagai kesatria yang mengubah wajah Nusantara, putra kesayangan Amangkurat III yakni Pangeran Teposono wafat dengan meninggalkan seorang putra bernama Raden Mas Garendi yang berumur 12 tahun. Di tengah kehidupannya yang sulit, Garendi kemudian diadopsi oleh para pemberontak Tionghoa dan dijadikan pemimpin tituler mereka. Garendi kemudian lebih dikenal dengan nama Sunan Kuning.

Nama Raden Mas Garendi kemudian muncul dalam peristiwa Geger Pecinan. Geger Pecinan adalah peristiwa pemberontakan besar sebagai imbas kekecewaan para panglima Perang Jawa dan laskar Tionghoa terhadap sikap Raja Kasultanan Mataram Susuhunan Pakubuwono II yang berbalik arah mendukung kompeni.

Puncak dari Geger Pecinan terjadi pada 30 Juni tahun 1742. Pasukan gabungan Jawa-Tionghoa menyerang istana Kasultanan Mataram di Kartasura. Pasukan Sunan Kuning berhasil menjebol benteng istana Kartasura. Penjebolan dilakukan dengan menggunakan meriam. Jejak dahsyatnya serangan ini masih bisa ditemui hingga saat ini. Jejak tersebut berupa jebolan tembok selebar 2 meter di komplek situs Karaton Kartasura di Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah.

Walau masih muda, Raden Mas Garendi dipilih karena punya kharisma dan kepemimpinan. Tanggal 1 Juli 1742 setelah puncak serangan Geger Pecinan ke Karaton Kartasura, Raden Mas Garendi naik tahta dengan gelar Sri Susuhunan Amangkurat V Senopati Ing Alaga Abdurahman Sayidin Panatagama. Garendi dianggap sebagai pewaris sah tahta Kasultanan Mataram. Garendi juga punya darah keturunan raja dari kakeknya  Susuhunan Amangkurat III.

Setelah berhasil membalaskan dendam kematian ayahnya dan berkuasa, Amangkurat V bermaksud menggempur pasukan Belanda di Semarang. Ia mengirim 1.200 prajurit gabungan etnis Jawa dan Tionghoa di bawah pimpinan Raden Mas Said dan Singseh (Tan Sin Ko).

Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa merupakan Jawa ningrat yang dendam kepada Mataram karena konflik kerajaan. Ayah Raden Mas Said yakni Pangeran Arya Mangkunegara dibuang VOC ke Srilanka akibat konflik kekuasaan.

Serangan Amangkurat V ke Semarang dilancarkan. Namun, pasukan Belanda berhasil mengalahkan pasukan Amangkurat V di Welahan. Kondisi Amangkurat V yang kehilangan banyak pasukan dimanfaatkan Pakubuwono II merebut kembali Keraton Kartasura. (ar/hel)