Menelusuri narasi tersembunyi politik Madiun abad ke-17 dan 18. Dari loyalitas hingga perlawanan terhadap kolonialisme, temukan peran vital Pangeran Balitar, Trunojoyo, dan Untung Surapati.
INDONESIAONLINE – Sejarah Jawa abad ke-17 hingga awal abad ke-18 adalah sebuah epik bergejolak, sarat dengan pergeseran kekuasaan, perang saudara yang merobek persatuan, dan cengkeraman kolonial yang kian menguat. Di balik narasi besar yang didominasi oleh Sultan Agung, Amangkurat I, Trunojoyo, dan Untung Surapati, tersimpan jejak-jejak politik daerah yang tak kalah krusial, meski seringkali luput dari sorotan utama.
Salah satu jejak vital itu adalah Madiun, sebuah jantung strategis di timur Jawa, yang pada masa itu berdegup di bawah kepemimpinan trah Balitar.
Antara 1645 hingga 1704, Madiun bukan sekadar wilayah pasif, melainkan aktor yang lihai bermain di atas panggung politik yang kompleks. Peran Madiun mungkin tidak selalu terukir eksplisit dalam arsip kolonial yang bias, namun dapat diselami melalui jejak genealogis, perlawanan militer, dan keberpihakan ideologisnya.
Pangeran Balitar (1645–1677) dan penerusnya, Pangeran Balitar Tumapel (1677–1703), adalah tokoh kunci yang menavigasi bahtera politik Madiun di tengah badai Trunojoyo dan Surapati.
Artikel ini, melalui pendekatan historiografi kritis, berusaha menyingkap kronologi dan makna politik Madiun sepanjang era tersebut. Membaca ulang sumber-sumber lokal dan kolonial memungkinkan kita menangkap jejak Madiun yang kerap tersamar di balik hegemoni Kartasura dan VOC.
Lebih dari itu, tulisan ini membedah bagaimana ideologi, spiritualitas, dan bahkan dendam sejarah, membentuk orientasi politik Madiun, dari loyalitas yang berhitung hingga keberanian menentang cengkeraman asing.
Dari Martalaya ke Balitar: Politik Madiun Pasca-Sultan Agung (1645–1677)
Tahun 1645 adalah titik balik bagi Madiun. Wafatnya Tumenggung Martalaya mengantar estafet kepemimpinan kepada Pangeran Balitar, putra Panembahan Juminah sekaligus kakak Martalaya. Ironisnya, pergantian ini hampir bersamaan dengan mangkatnya Sultan Agung pada 1646, yang kemudian digantikan putranya, Amangkurat I (1646–1677). Pergantian ganda di pusat dan daerah ini menciptakan iklim politik yang sarat ketidakpastian.
Madiun di era Sultan Agung dikenal sebagai pilar militer Mataram, benteng pengendali wilayah Brang Wetan (Jawa Timur). Pasukan Madiun tak jarang dikerahkan dalam ekspedisi ke Blambangan atau memadamkan pemberontakan pesisir.
Namun, di bawah Amangkurat I, peran militer Madiun dalam catatan resmi tak lagi menonjol. Ini bukan berarti Madiun pasif; sebaliknya, para pemimpinnya agaknya memilih strategi politik yang lebih berhati-hati, menimbang loyalitas pada Mataram dan simpati pada kekuatan pemberontak yang mulai bersemi.
Situasi kian keruh ketika Amangkurat I kehilangan legitimasi akibat kebijakan otoriter, penindasan bangsawan, dan kedekatannya dengan VOC. Ketidakpuasan yang memuncak melahirkan koalisi perlawanan yang kelak dipimpin Raden Trunojoyo dari Madura.
Pemberontakan Trunojoyo dan Pilihan Politik Madiun (1676–1679)
Trunojoyo, seorang bangsawan Madura cucu Cakraningrat I, berhasil membangun jaringan aliansi strategis. Ia bersekutu dengan Raden Mas Rahmat (Pangeran Adipati Anom), putra mahkota Mataram yang kecewa pada Amangkurat I, serta Raden Kajoran, seorang ulama berdarah Wali Songo dan keturunan Batoro Katong.
Dukungan juga mengalir dari sisa-sisa pasukan Gowa pimpinan Karaeng Galesong. Dengan jaringan multi-etnis ini—Madura, Makassar, dan Jawa pesisir—Trunojoyo menjelma menjadi momok menakutkan bagi pusat Mataram.
Pada 1676, gelombang pasukan Trunojoyo melanda sebagian besar Mataram. Puncaknya, pada Juli 1677, ibukota Plered jatuh. Amangkurat I melarikan diri ke barat dan wafat di Tegalwangi, dikenang sebagai Sunan Tegal Arum. Takhta kemudian diwariskan kepada Pangeran Adipati Anom, yang dilantik VOC sebagai Amangkurat II (1677–1703).
Dalam pusaran konflik ini, posisi Madiun terkesan ambigu. Pangeran Balitar masih berada dalam orbit Mataram, namun pada saat yang sama, ia membiarkan Trunojoyo beroperasi di Brang Wetan tanpa gangguan berarti. Fakta bahwa Trunojoyo memilih Kediri, wilayah yang berdekatan dengan Madiun, sebagai basis pertahanan terakhirnya, mengisyaratkan adanya simpati atau setidaknya sikap nonkonfrontatif dari Madiun.
Amangkurat II, setelah bertahta dengan dukungan VOC, berupaya memulihkan kekuasaan. November 1678, pasukan gabungan VOC (Kapten Tack), Ambon (Kapten Jonker), dan Bugis (Arung Palaka) menyerbu Kediri. Pertempuran berakhir pada 1679 dengan kekalahan Trunojoyo, yang kemudian ditangkap di lereng Gunung Kelud dan dieksekusi secara brutal.
Sikap Madiun dalam periode ini mencerminkan dilema para bangsawan daerah: tunduk pada Mataram yang bersekutu dengan Belanda, atau membiarkan kekuatan alternatif seperti Trunojoyo yang mengusung agenda anti-VOC. Dalam kacamata historiografi kritis, pilihan ambigu ini bukan kelemahan, melainkan strategi bertahan yang cerdas dalam menghadapi konstelasi kekuasaan yang bergejolak.
Balitar Tumapel dan Era Surapati (1677–1703)
Wafatnya Pangeran Balitar pada 1677 membuka jalan bagi putranya, Pangeran Balitar Tumapel, yang memimpin hingga 1703. Masa kepemimpinannya bertepatan dengan babak baru sejarah Jawa, ditandai kemunculan Untung Surapati, mantan budak yang menjelma menjadi panglima perlawanan anti-VOC.
Surapati, seorang budak Bali yang dijual ke Batavia, melarikan diri dan memimpin pemberontakan budak pada 1684. Setelah itu, ia melarikan diri ke Mataram sambil mengawal Ratu Gusik Kusuma, istri Pangeran Purbaya. Di Kartasura, ia justru mendapat perlindungan Amangkurat II, meski hal ini memicu kecurigaan VOC.
Februari 1686 menjadi saksi insiden besar: Kapten François Tack, utusan VOC, tewas dibunuh pasukan Surapati di halaman istana Kartasura. Peristiwa ini memicu konfrontasi terbuka antara Surapati dan VOC, menempatkan Mataram dalam posisi serba salah.
Dalam konflik ini, Madiun memilih berpihak pada Surapati. Dukungan ini terekam dari berbagai catatan pasukan Madiun yang menghadang tentara VOC saat mengejar Surapati ke timur. Beberapa senopati Madiun tercatat bergabung dengan Surapati, seperti Sindurejo (yang kemudian menetap di Ponorogo) dan Singoyudo (cikal bakal Desa Candi di Sawahan).
Pertempuran di wilayah Madiun menelan korban besar di pihak VOC, mengindikasikan bahwa dukungan lokal terhadap Surapati tidak bisa diremehkan.
Keberpihakan Madiun pada Surapati tak hanya didorong kepentingan politik jangka pendek, melainkan juga ideologi. Surapati dipandang sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan kolonial. Bagi bangsawan dan prajurit Madiun, bersekutu dengan Surapati berarti menjaga marwah kemandirian Jawa dari intervensi asing.
Ada pula dimensi spiritual: Surapati sering digambarkan dalam tradisi lisan sebagai sosok yang diberi “wahyu” perlawanan, sementara VOC dilihat sebagai kekuatan adigang-adigung-adiguna yang bertentangan dengan tatanan kosmis Jawa.
Madiun Pasca-Amangkurat II (1703–1704) dan Lahirnya Arya Blitar
Dalam Perang Suksesi Jawa pertama, yang pecah setelah wafatnya Amangkurat II pada 1703, Madiun secara tegas berpihak kepada Pangeran Puger. Sikap ini diperkuat oleh ikatan perkawinan politik antara Puger dengan putri sulung Bupati Madiun Balitar Tumapel.
Dari perkawinan itu lahirlah Pangeran Arya Blitar (Raden Mas Sudomo), tokoh penting yang kelak menjadi ujung tombak kemenangan Puger atas Amangkurat III. Dukungan Madiun menjadi krusial dalam memperkuat posisi Puger hingga akhirnya ia naik takhta sebagai Pakubuwana I.
Konteks ini sangat penting, sebab sangat jarang seorang perempuan bangsawan muncul sebagai figur pengambil keputusan politik-militer di abad ke-17. Namun, Ratu Mas Blitar, putri Balitar Tumapel dan permaisuri Pakubuwana I, melalui putranya, Arya Blitar, menancapkan jejak pengaruh yang tak terbantahkan.
Pangeran Arya Blitar (Raden Mas Sudomo) bukanlah adipati di daerah Blitar secara geografis, melainkan pewaris gelar kebangsawanan “Blitar” yang turun-temurun dari trah Panembahan Juminah, putra Panembahan Senapati dengan Retno Dumilah, Ratu Madiun. Dengan demikian, Arya Blitar merepresentasikan dua garis trah besar: Pakubuwanan Kartasura dan kepangeranan Madiun.
Setelah Amangkurat III kalah dan terdesak ke Blitar, legitimasi Pakubuwana I belum sepenuhnya aman. Sisa-sisa kekuatan loyalis lawan, terutama di Malang dan Pasuruan, masih menjadi ancaman serius. Dalam situasi ini, Arya Blitar tampil sebagai ujung tombak militer ayahandanya.
Ia ditugasi menjemput pusaka kerajaan yang masih di tangan Amangkurat III (tombak Kyai Baru, keris Kyai Belabar, dan Kyai Gondil), sekaligus menumpas sisa pengaruh politik lawan di Jawa Timur.
Misi tersebut dijalankan dengan ketegasan. Arya Blitar memburu dan mengeksekusi Arya Pulangjiwa, bekas pejabat tinggi Amangkurat III yang pernah menyandang gelar “Arya Blitar” sebelum digantikan oleh Sudomo. Eksekusi di hutan Pasuruan itu menjadi simbol bahwa gelar kebangsawanan “Blitar” hanya sah berada di tangan putra Pakubuwana I.
Setelah itu, operasi besar-besaran dilancarkan di Malang dan Pasuruan: barisan Adipati Wiranagara dihancurkan, rumah-rumah loyalis dibakar, dan tokoh-tokoh penting seperti Wiraguna, Mandurareja, Arya Tiron, serta Mangunagara ditawan.
Laporan kemenangan disampaikan langsung kepada Pakubuwana I. Sang raja memuji keberanian putranya, meskipun tetap menegaskan bahwa pusaka tidak lebih penting dari legitimasi spiritual Mataram yang bertumpu pada Kadilangu dan Masjid Demak. Dari sini terlihat, Arya Blitar tidak hanya menjadi komandan militer, melainkan juga simbol pemulihan martabat politik Kartasura pasca-perang saudara.
Gelar Pangeran Arya Blitar untuk Dinasti Mataram–Madiun: Politik Simbolik Panembahan Senapati
Gelar Balitar atau Blitar, yang kelak disandang Panembahan Juminah, putra Panembahan Senapati dari permaisuri kedua, Raden Ayu Retno Dumilah (putri sulung Panembahan Timur, Adipati Madiun I), adalah salah satu simbol politik utama. Pernikahan ini menyatukan garis darah Mataram dan Madiun, sekaligus menghubungkan dua pusat kekuasaan penting di pedalaman.
Raden Mas Bagus, yang menerima gelar Pangeran Adipati Juminah, diangkat menjadi Bupati Madiun pada 1601 hingga 1613 setelah wafatnya kakaknya, Raden Adipati Pringgalaya. Dengan posisi ini, ia memperkuat integrasi politik sekaligus legitimasi Mataram di wilayah timur.
Dari pernikahannya dengan Ratu Mas Hadi, janda Panembahan Hanyakrawati dan ibu Sultan Agung, Panembahan Juminah memiliki empat anak: Raden Ayu Djurumayem, Pangeran Adipati Balitar II (Bupati Madiun 1645–1677), Raden Haryo Suroloyo, dan Raden Ayu Kajoran. Dari Balitar II lahir Pangeran Tumenggung Balitar Tumapel III (Bupati Madiun 1677–1703), yang menurunkan Pangeran Arya Balitar IV (Bupati Madiun 1704–1709). Dari garis Arya Balitar IV lahirlah Kanjeng Ratu Mas Blitar, permaisuri Sunan Pakubuwana I.
Kanjeng Ratu Mas Blitar, putri Pangeran Balitar Tumapel (yang dimakamkan di kompleks makam kuno Kuncen, Kota Madiun), merupakan ibu dari tiga putra Pakubuwana I: Sunan Amangkurat IV, Pangeran Adipati Purbaya, dan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Blitar.
Melalui keturunan Ratu Mas Blitar inilah lahir empat pusat kekuasaan Mataram di kemudian hari: Keraton Surakarta (Sunan Pakubuwana II), Keraton Yogyakarta (Sultan Hamengkubuwana I melalui Pangeran Mangkubumi), Puro Mangkunegaran (Raden Mas Said, alias Sambernyawa, cucu Arya Blitar dan Arya Mangkunegara), serta Puro Pakualaman (melalui Pangeran Joyokusumo, putra Hamengkubuwana I).
Keempat pusat ini menandai integrasi simbolik dan politik antara garis darah Madiun dan Mataram. Gelar Blitar, dengan demikian, menjadi penanda legitimasi politik, simbol keterhubungan genealogis, dan sarana untuk menegaskan klaim Mataram atas wilayah timur Jawa.
Pangeran Arya Blitar sendiri tidak pernah memerintah Blitar secara langsung. Ia muncul sebagai penguasa tandingan setelah runtuhnya Kartasura, membangun basis di Kartasekar (Bantul) pada awal abad ke-18. Dengan dukungan tokoh seperti Arya Dipanagara dan Panji Surengrana, ia menyatukan kekuatan militer, legitimasi darah, dan dukungan spiritual untuk menentang VOC.
Kartasekar jatuh pada 1721, memaksa Arya Blitar mundur ke Lumajang, namun jejak simbolik dan genealogisnya tetap hidup, terutama melalui Raden Mas Said, pendiri Mangkunegaran.
Gelar Blitar pada trah Juminah lebih dari sekadar penanda geografis. Ia menegaskan klaim politik Senapati, mengintegrasikan bangsawan Madiun ke dalam struktur Mataram, dan menjadi pelindung politik bagi pemegangnya.
Dalam perspektif historiografi kritis, strategi simbolik ini menunjukkan bahwa legitimasi di Jawa abad ke-17–18 dibangun dari perpaduan darah, simbol, dan dukungan spiritual, bukan sekadar kekuasaan administratif. Pangeran Arya Blitar menjadi bukti bagaimana gelar simbolik dapat memengaruhi politik, perlawanan rakyat, dan jaringan kekuasaan.
Ia menegaskan bahwa dalam dinamika Mataram pasca-Pajang, legitimasi dan identitas darah seringkali lebih menentukan daripada jabatan formal. Runtuhnya Kartasekar hanyalah kekalahan militer; secara ideologis, Arya Blitar tetap menjadi simbol ketahanan trah Mataram–Madiun yang menolak tunduk pada hegemoni VOC.
Referensi:
-
Arsip VOC (Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta): Berisi laporan-laporan dan surat-menyurat pejabat VOC yang seringkali mencatat aktivitas politik dan militer di Jawa, termasuk interaksi dengan penguasa daerah seperti Madiun. Misalnya, laporan Kapten Tack atau catatan mengenai pergerakan pasukan di Jawa Timur.
-
Babad Tanah Jawi (Berbagai Edisi): Meskipun bersifat kronik dan seringkali dibumbui mitos, Babad Tanah Jawi adalah sumber penting untuk menelusuri genealogi, suksesi, dan narasi-narasi lokal tentang kerajaan Mataram dan daerah-daerah taklukannya. Versi-versi kritis Babad dapat membantu memisahkan fakta dari fiksi.
-
Serat Kandha: Sumber-sumber naratif lokal Jawa yang bisa memberikan perspektif berbeda tentang peristiwa-peristiwa penting dan tokoh-tokoh daerah.
-
Karya Historiografi Modern:
-
Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia Since c. 1200. Stanford University Press. (Untuk konteks umum sejarah Jawa dan Mataram, intervensi VOC, dan pemberontakan Trunojoyo serta Surapati).
-
Pigeaud, Th. G. Th. Java in the Fourteenth Century: A Study in Cultural History. Martinus Nijhoff. (Meskipun fokus pada abad ke-14, karya Pigeaud memberikan fondasi kuat tentang struktur sosial dan politik Jawa pra-kolonial yang relevan untuk memahami konteks Madiun).
-
Dinas Sejarah Daerah Madiun atau Pusat Penelitian Sejarah Lokal
-
Jurnal-jurnal Ilmiah: Artikel-artikel di jurnal seperti Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (BKI) atau jurnal-jurnal sejarah Indonesia lainnya yang fokus pada periode Mataram dan politik lokal
-