Malahayati, Laksamana Perempuan Pertama di Dunia

INDONESIAONLINE – Malahayati pendiri Inong Balee, pasukan perang pertama yang seluruh anggotanya adalah perempuan. Keberadaan Inong Balee menjadi momok yang menakutkan bagi musuh di perairan pesisir Aceh Besar serta Selat Malaka.

Mengutip indonesia.go.id, kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 atau tepat 78 tahun silam tak lepas dari peran besar para pejuang dalam upaya mengusir penjajah yang bercokol di bumi Nusantara sejak 350 tahun lampau.

Sudah tak berbilang berapa banyak nyawa melayang oleh para kusuma bangsa demi terwujudnya kemerdekaan sebagai syarat berdirinya suatu negara berdaulat. Malahayati adalah salah satu dari sekian banyak pejuang tersebut.

Ia merupakan perempuan asli Aceh kelahiran 1 Januari 1550 lampau dan menjadi satu di antara beberapa singa betina dari Tanah Rencong yang bernyali besar, selain Cut Nyak Dien dan Cut Nyak Meutia yang melawan kolonialisme. Terlahir dengan nama Keumalahayati, ia berasal dari keluarga pengarung samudra berdarah biru.

Seperti tertulis di dalam buku Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah, karya Ismail Sofyan disebutkan bahwa ayah Malahayati yakni Laksamana Mahmud Syah adalah Panglima Angkatan Laut Kesultanan Aceh. Malahayati adalah cicit dari Sultan Salahuddin Syah, raja kedua di Kesultanan Aceh yang memerintah pada tahun 1530 sampai 1539.

Masa Remaja di Istana

Masa remaja Malahayati dihabiskan di lingkungan istana termasuk mengikuti akademi militer matra angkatan laut kesultanan bernama Mahad Baitul Maqdis. Saat baru berusia 35 tahun atau sekitar 1585, Malahayati menjabat Kepala Barisan Pengawal Istana Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah semasa Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil memerintah.

Malahayati pertama kali melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Portugis lewat sebuah pertempuran di perairan Teluk Haru dekat Selat Malaka pada 1586. Suami Malahayati, Laksamana Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief yang juga Kepala Pengawal Sultan memimpin pertempuran.

Puluhan kapal kayu Kesultanan Aceh berusaha mencegat kapal-kapal perang Portugis. Armada perang Kesultanan Aceh mampu memukul mundur Portugis, namun sayang suami Malahayati gugur dalam pertempuran tersebut.

Ia tidak dapat menerima kenyataan tersebut dan berjanji menuntut balas dan meneruskan perjuangan sang suami. Kemudian Malahayati menggantikan posisi mendiang Laksamana Tuanku Mahmuddin.

Oleh Sultan Riayat Syah, Malahayati dapat pangkat laksamana dan menjadi perempuan pertama di dunia kala itu yang menyandangnya. Malahayati mengungkapkan sebuah rencana besar kepada Sultan. Dirinya mengaku ingin membangun sebuah armada tempur laut yang seluruh prajuritnya adalah perempuan.

Baca Juga  Viral Petugas PMK Jakarta Evakuasi Ular Besar yang Berada di Dalam Aspal

Inong Balee

Ia menamakan pasukan elite tersebut dengan Inong Balee atau prajurit perempuan yang berstatus janda. Jumlahnya pun tak main-main, mencapai 2.000 orang. Mereka seluruhnya adalah para janda dari prajurit yang gugur kala bertempur melawan Portugis. Berbekal kemampuan ketika menimba ilmu di Mahad Baitul Maqdis, Malahayati melatih Inong Balee menjadi pasukan tempur yang kuat.

Apalagi kala belajar di Mahad Baitul Maqdis, Malahayati mendapat ilmu dari instruktur-instruktur perang tangguh dari Turki, seperti dalam buku Malahayati: Srikandi dari Aceh. Sultan Aceh kemudian mendaulatnya sebagai panglima armada laut alias laksamana dan merupakan perempuan pertama di dunia yang menyandang jabatan itu. Sultan juga membekali pasukan Inong Balee dengan 100 unit kapal perang ukuran besar berkapasitas masing-masing 400 pasukan.

Pasukan Inong Balee terlibat dalam beberapa peperangan melawan Portugis dan Belanda. Wilayah pertempuran mereka tidak hanya sebatas di perairan Selat Malaka saja, namun juga sampai ke pantai timur Sumatra dan Malaya.

Mereka juga membangun Benteng Inong Balee di sebuah perbukitan tak jauh dari pesisir Teluk Lamreh, Krueng Raya, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Tempat perlindungan pertama yang seluruhnya berkat kaum hawa tersebut memiliki tinggi tembok sekitar 100 meter dan cukup aman untuk menahan serangan musuh.

Benteng Jadi Pelatihan Tempur

Benteng tersebut menjadi koloni pasukan Malahayati sekaligus pusat pelatihan tempur Inong Balee. Pasukan Malahayati juga menjalankan misi khusus yakni mengamankan jalur laut perdagangan kesultanan serta mengawasi pelabuhan-pelabuhan samudra Aceh kala itu.

Sampai akhirnya pada 21 Juni 1599, dua bersaudara de Leeuw dan de Leeuwin memimpin dua kapal Belanda. Cornelis dan Frederik de Houtman ingin bersandar di pelabuhan Aceh Besar. Bumi Serambi Makkah itu menjadi tujuan kesekian dari dua bersaudara de Houtman setelah sebelumnya menyinggahi Banten, Madura, sampai ke Bali untuk berburu rempah-rempah.

Hanya saja, mereka selalu menemui perlawanan masyarakat setempat karena tabiat pasukan de Houtman bersaudara. Hal serupa juga mereka alami saat mencapai Aceh Besar. Mereka tertahan di atas kapal di tengah laut karena tak dapat izin dari Sultan.

Taklukkan Cornelis de Houtman

Laksamana Malahayati dan pasukan Inong Balee telah menunggu dan bersiaga. Sultan pun memerintahkan Laksamana Malahayati mengusir dua kapal Belanda tersebut. Pertempuran di tengah laut tak terelakkan. Pasukan Inong Balee berhasil menghancurkan dua kapal dagang itu. Dalam sebuah duel satu lawan satu di atas kapal musuh pada 11 September 1599, Laksamana Malahayati berhadapan dengan Cornelis. Nyawa Cornelis pun melayang.

Baca Juga  Heboh Ponpes Al Kafiyah: Wanita Imami Salat, Isya 100 Rakaat, Boleh Tiduri Bukan Muhrim

Menurut sejarawan Marie van C Zeggelan lewat bukunya Oude Glorie yang terbit pada 1935, Belanda banyak kehilangan pasukan mereka, dan sebagian yang masih hidup termasuk Frederik de Houtman dijebloskan ke hotel prodeo alias penjara.

Tak hanya cakap sebagai panglima perang di lautan, Malahayati juga sebagai juru runding yang piawai. Pemerintah Belanda mengajukan pembebasan para tawanan perang mereka yang ditahan pihak Kesultanan Aceh termasuk Frederik de Houtman. Sultan pun mengutus Malahayati untuk maju ke meja perundingan menghadapi Belanda. Sebuah syarat pun diajukannya, yaitu Belanda harus membayar ganti rugi atas peperangan yang mereka timbulkan demi membebaskan prajurit-prajurit.

Malahayati menerima utusan khusus Ratu Elizabeth I bernama James Lancaster yang juga seorang saudagar dagang besar pada masanya. Lancaster mengunjungi Aceh pada 5 Juni 1602 memakai kapalnya, Red Dragon. Ia mengutarakan maksud kepadanya untuk membeli rempah-rempah Aceh, seperti halnya saat mengunjungi Maluku dan Banten. Misi itu berlangsung sukses karena Malahayati setuju dengan tawaran Lancaster bahwa mereka hanya ingin berdagang dan bukan berperang.

Malahayati wafat pada 1615 dan makamnya di dekat bentengnya di Desa Lamreh, Krueng Raya. Oleh Presiden Joko Widodo, Malahayati menjadi Pahlawan Nasional pada 9 November 2017 berdasarkan Keputusan Presiden RI nomor 115/TK/Tahun 2017.

Jadi Nama Pelabuhan

Selain sebagai nama salah satu kapal perang TNI-Angkatan Laut (AL), namanya juga menjadi nama pelabuhan di Desa Lamreh Krueng Raya, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar. Pelabuhan Malahayati sejak masa Sultan Iskandar Muda, sebelum 1970 sebagai pelabuhan transit. Lalu sempat menjadi tempat persinggahan kapal dan menjadi mangkrak pascatragedi tsunami 2004. Baru pada 2007 Pelabuhan Malahayati kembali beroperasi untuk mengangkut produk ekspor asal Aceh ke kawasan Eropa dan Timur Tengah.

Pihak TNI-AL sendiri berencana mengangkat kembali kisah heroik Malahayati lewat sebuah pementasan teaterikal di Jakarta, 8-9 September 2023 nanti, sekaligus memperingati HUT TNI-AL 10 September 2023. Sejumlah nama besar di dunia seni pertunjukan dan teater melibatkan Jay Subiakto, sutradara Iswadi Pratama, Nyak Ina Raseuki atau Ubiet dan Marcella Zalianty.