Nasib Pilu Surakarta, Daerah Istimewa yang Dibekukan Pemerintah RI

INDONESIAONLINE- Surakata dewasa ini kalah pamor dengan saudara mudanya Yogyakarta sebagai destinasi wisata sejarah dan budaya. Alasan kenapa orang ingin berwisata ke Jogja rata-rata karena beranggapan jika Jogja itu istimewa. Namun jika kita melihat ke belakang, sebenarnya Surakarta atau Kota Solo juga adalah daerah istimewa.

Ya, Surakarta adalah Negara sepuh yang berusia 200 tahun pada 17 Agustus 1945. Pada 18 Agustus 1945 atau satu hari setelah proklamasi kemerdekaan Bangsa Indonesia, Raja Surakara Pakubuwono XII dan Adipati Mangkunegaran KGPAA Mangkunegara XIII menyampaikan ucapan selamat atas kemerdekaan Indonesia. Ucapan selamat tersebut diikuti dengan maklumat penegasan dukungan keraton berdiri di belakang Republik Indonesia tepat 78 tahun yang lalu, 1 September 1945. Isi dari maklumat itu adalah sebagai berikut :

Makloemat Seri Padoeka Ingkang Sinoehoen Kandjeng Soesoehoenan kepada seloeroeh pendoedoek negeri Soerakarta Hadiningrat.

1.Kami Pakoeboewono XII, Soesoehoenan Negeri Soerakarta-Hadiningrat, jang bersifat keradjaan adalah Istimewa dari Negara Repoeblik Indonesia, dan berdiri di belakang Pemerintah Poesat Negara Repoeblik Indonesia.

2.Kami menjatakan, bahwa pada dasarnja segala kekoeasaan dalam daerah Negeri Soerakarta Hadiningrat terletak di tangan Soesoehoenan Soerakarta-Hadiningrat dengan keadaan dewasa ini, maka kekoeasaan- kekoeasaan jang sampai kini tidak di tangan kami dengan sendirinja kembali ke tangan kami.

3.Kami menyatakan, bahwa berhoebungan antara Negeri Soerakarta-Hadiningrat dengan pemerintah Poesat Negara Repoeblik Indonesia bersifat langsoeng.

4.Kami memerintahkan dan percaja kepada seloeroeh pendoedoek Negeri Soerakarta-Hadiningrat, meraka akan bersikap sesoeai dengan sabda kami terseboet di atas.

Maklumat tersebut di bawahnya ditandatangani oleh Pakoebowono XII pada 1 September 1945.

Menindaklanjuti maklumat itu, Presiden Republik Indonesia Ir Soekarno memberikan piagam kedudukan kepada Sunan Pakubuwono XII dan KGPAA Mangkunegara VIII pada kedudukan sebagai kepala Daerah Istimewa.  Piagam kedudukan itu dikeluarkan presiden pada 19 Agustus 1945.

REPOEBLIK INDONESIA

Kami, PRESIDEN REPOEBLIK INDONESIA, menetapkan:
Ingkang Sinohoen Kanjeng Soesoehoenan Pakoeboewono Senopati Ing Ngalogo Abdoerrahman Sayidin Panotogomo Ingkang Kaping XII, ing Soerakarta-Hadiningrat
pada kedoedoekannya
dengan kepertjayaan bahwa Seri Padoeka Kanjeng Soesoehoenan akan mentjoerahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga oentoek keselamatan daerah Soerakarta sebagai bagian dari pada Repoeblik Indonesia.

Djakarta 19 Agoestoes 1945

Presiden Repoeblik Indonesia
Ttd.
Ir. SOEKARNO

Pengakuan pemerintah atas kedudukan Sunan Pakubuwono XII sebagai kepala daerah istimewa itu kemudian diperkuat dengan pemberian pangkat militer Letnan Jenderal. Pangkat Letnan Jenderal itu merupakan bentuk penghormatan sekaligus pengakuan perjuangan Raja Surakarta Pakubuwono XII untuk kemerdekaan bangsa Indonesia dan berdirinya NKRI.

Baca Juga  Kisah Gerakan Emansipasi Wanita Belanda Pemilik PG Modjopanggung Tulungagung

Ya, Daerah Istimewa Surakarta (DIS) dalam sejarahnya pernah ada. Namun sayangnya, status keistimewaan Surakarta itu hingga saat ini masih dibekukan akibat kekacauan politik dan gerakan anti swapraja yang dipimpin Tan Malaka. Gerakan anti swapraja itu terbentuk pada Oktober 1945. Gerakan ini mengkampanyekan anti monarki dan anti feodalisme di Surakarta pada waktu itu. Di kemudian hari gerakan ini lebih dikenal dengan pemberontakan Tan Malaka.

Dalam praktiknya, gerakan anti swapraja itu memasang beberapa target. Selain membubarkan DIS, gerakan ini juga menginginkan dicabutnya kewenangan-kewenangan istimewa yang dimiliki Keraton Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran. Dengan dicapainya target ini, kelompok gerakan ini kemudian membagikan tanah-tanah yang dikuasai keraton penerus Dinasti Mataram Islam itu kepada para petani.

Gerakan anti swapraja mendapat dukungan dari kelompok-kelompok kiri. Gerakan ini memandang keraton Jawa adalah simbol dari feodalisme. Pegangan kelompok ini adalah revolusi, demokrasi, serta anti feodalisme. Kelompok Tan Malaka memainkan kekacauan sosial dengan menculik dan membunuh kerabat istana dan kerabat Raja Surakarta pada waktu itu. Salah satu tokoh yang jadi korban keganasan kelompok anti swapraja itu adalah RM Soerjo (Gubernur pertama Provinsi Jawa Timur).

Lalu kenapa gerakan anti swapraja itu muncul di Surakarta? Bukan di Yogyakarta yang juga memiliki kerajaan dan tipe masyarakat yang hampir sama?. Perlu diketahui konsep DIS tidaklah sama dengan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Di DIY, Sultan Yogyakarta dan Adipati Pakualaman merangkap sebagai gubernur dan wakil gubernur akan menerima bantuan dana APBN dari pemerintah pusat.

Sedangkan dalam konsep DIS, Surakarta sebagai daerah istimewa akan mandiri penuh dan menanggung seluruh anggaran untuk kebutuhan rakyat dan pembangunan. Konsep ini dalam perkembangannya tidak mudah dijalankan karena banyak rakyat Solo yang pesimis dengan DIS. Pesimisme itu salah satunya rakyat memandang Surakarta tidak memiliki sumber daya alam yang memadai untuk menjalankan roda pemerintahan sebagai sebuah Negara mandiri di dalam Negara.

Setelah dideklarasikan dengan Tan Malaka sebagai salah satu pimpinannya, gerakan anti swapraja bergerak di Surakarta. Gerakan ini membuat kekacauan, kerusuhan dan aksi-aksi anarkisme di Kota Bengawan. Bupati-bupati di Daerah Istimewa Surakarta yang masih kerabat Keraton Surakarta dan Mangkunegaran diturunkan paksa oleh kelompok ini.

Baca Juga  Bathara Katong dan Sejarah Berdirinya Kabupaten Ponorogo

Melihat situasi yang semakin genting dan tak terkendali, Pemerintah RI mengeluarkan mengirimkan pasukan untuk menjaga Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran. Pemerintah juga dengan cepat mengeluarkan beleid pembentukan Karesidenan Surakarta dan Kotamadya Surakarta. Status Daerah Istimewa Surakarta dibekukan oleh Pemerintah RI dan akan dikembalikan jika keadaan sudah benar-benar aman.

Usulan pembekuan Daerah Istimewa Surakarta itu pertama kali diusulkan oleh Wuryaningrat dalam pertemuan pada tanggal 22-23 Mei 1946. Pertemuan itu dilaksanakan setelah terjadi kekacauan di gedung Javaasche Bank Surakarta. Pertemuan ini dihadiri sejumlah tokoh antara lain PM Syahrir, Mendagri Soedarsono, Menpen Amir S, Pakubuwono XII dan Patih, KGPAA Mangkunegara VII dan Patih, serta beberapa menteri. Dalam pertemuan ini Wuryaningrat mengusulkan agar Daerah Istimewa Surakarta untuk sementara waktu diserahkan kepada pusat dan akan dikembalikan kepada yang berhak jika keadaan sudah benar-benar aman. Usulan pembekuan ini sebagai strategi untuk meredakan kekacauan yang terjadi di Surakarta.

Pemerintah RI kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden No.16/SD th 1946 yang berisi : “Sebelum bentuk susunan pemerintahan daerah Kasunanan dan Mangkunegaran ditetapkan dengan UU, maka daerah tersebut untuk sementara waktu dipandang merupakan karesidenan. Pemerintah daerah Surakarta dan Yogyakarta berada langsung di bawah pimpinan pemerintah pusat.

Berdasarkan kutipan tersebut, pembentukan Karesidenan Surakarta dipandang tidak bersifat permanen. Karesidenan dipandang hanya dibentuk sementara sebelum pemerintah menetapkan undang-undang yang secara sah menetapkan Surakarta (Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran) menjadi daerah istimewa yang bernama Daerah Istimewa Surakarta (DIS).

Dan konyolnya, di kemudian hari pemerintah ternyata tidak mengeluarkan undang-undang yang mencabut status “sementara” itu. Sehingga Surakarta tetap berstatus Karesidenan sampai dikeluarkannya undang-undang yang mengatur eksistensi Karesidenan yakni UU No. 22 Tahun 1948.

Hingga zaman silih berganti dan Surakarta menjadi kota yang damai, janji untuk mengembalikan daerah istimewa itu tak pernah ditepati. Surakarta yang pernah istimewa itu malah dimasukkan dalam wilayah provinsi Jawa Tengah. Pemberontakan kelompok Gerakan Anti Swapraja bisa dikatakan berjalan sukses. Surakarta yang dulu istimewa itu kini hanyalah sebuah kota di Jawa yang tenang, sederhana dan membawa kerinduan. Surakarta rindu menjadi daerah istimewa.