Bathara Katong dan Sejarah Berdirinya Kabupaten Ponorogo

 

 

INDONESIAONLINE-Kabupaten Ponorogo adalah daerah di Jawa Timur yang begitu dikagumi oleh dunia internasional. Kekaguman itu karena Ponorogo memiliki Reog, kesenian warisan leluhur yang masih terus hidup hingga hari ini. Reog Ponorogo adalah maskot seni dan budaya Indonesia yang rumahnya ada di Ponorogo.

Selain kesenian reog yang dikagumi dunia internasional, Kabupaten Ponorogo juga memiliki banyak situs-situs dan peninggalan bersejarah. Situs bersejarah Ponorogo yang paling banyak dikunjungi orang itu adalah Makam Bathara Katong, tokoh yang diyakini sebagai bupati pertama Ponorogo. Lokasi makam ini berada di Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo. Makam Bathara Katong adalah maskot wisata religi dan wisata sejarah milik Ponorogo.

Makam Bathara Katong cukup dekat dari pusat Kota Ponorogo. Jika ditempuh dari Alun-alun Ponorogo, hanya butuh waktu perjalanan sekitar 30 menit saja dengan kendaraan bermotor. Tiba di lokasi makam, pengunjung akan disambut dengan gapura kuno berwarna putih. Sekilas gapura itu identik dengan arsitektur Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Bathara Katong adalah tokoh paling dihormati di Ponorogo. Ia bernama asli Joko Piturut, ia juga memiliki nama lain Lembu Kanigoro, putra kelima Raja Majapahit terakhir Prabu Brawijaya V. Lembu Kanigoro adalah adik dari raja pertama Demak Raden Patah. Raden Katong adalah nama pemberian Raden Patah untuk adiknya yang sebelumnya beragama Buddha. Raden Patah dan Bathara Katong adalah putra Raja Brawijaya V dari selir putri Campa.

Raden Katong yang telah memeluk Islam  tiba di Ponorogo yang saat itu bernama Wengker atas perintah Raden Patah. Raden Patah memberi tugas Raden Katong untuk membentuk pemerintahan di Wengker yang pada waktu itu dikuasai oleh Ki Ageng Kutu. Ki Ageng Kutu sejatinya adalah kerabat Prabu Brawijaya V yang berkuasa di daerah Wengker. Perintah Raden Patah itu sejatinya dilandasi oleh kekhawatiran akan karier kekuasaan Ki Ageng Kutu.

Dalam misi ini, Raden Katong mengerahkan 140 prajurit yang semuanya muslim dan bisa mengaji Al Quran dan berbagai kitab. Para prajurit itu dipimpin oleh orang kepercayaan Raden Katong yang bernama Ki Ageng Mirah.

Baca Juga  Kanjeng Jimat, Bupati Pertama dan Pahlawan Rakyat Trenggalek Melawan Belanda

Ketika Prabu Brawijaya V  menobatkan Raden Patah sebagai pemimpin Kerajaan Demak, Ki Ageng Kutu merasa kecewa karena dia merasa seharusnya dirinyalah yang lebih pantas untuk menyandang jabatan tersebut. Karenanya ketika terjadi peperangan di Majapahit, Ki Ageng Kutu memilih untuk pergi dan pada akhirnya mendirikan padepokan di daerahnya, Wengker.

Ki Ageng Kutu hijrah ke Wengker dan sukses membangun peradaban serta wilayah kekuasaan baru. Raden  Patah yang pada waktu itu menjadi raja pertama Demak merasa khawatir dengan keberhasilan Ki Ageng Kutu. Raden Patah merasa keberhasilan pemerintahan Ki Ageng Kutu di Wengker akan jadi ancaman bagi kekuasaan Demak. Raden Patah kemudian memerintahkan Raden Katong dan pengawalnya membentuk sebuah daerah kekuasaan di daerah Wengker.

Pada masa itu Ki Ageng Kutu adalah tokoh paling berpengaruh di Ponorogo. Ia mendidik rakyat Wengker dengan ilmu kanuragan, filsafat dan seni. Akibatnya, rakyat Wengker pada waktu itu tidak percaya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Banyak sumber yang menyatakan reog adalah ciptaan dari Ki Ageng Kutu.

Sumber lain menyatakan, sebenarnya kesenian reog itu awalnya dibuat sebagai kritik atas Prabu Brawijaya yang ditundukkan oleh rayuan wanita. Karena kesenian yang diciptakannya melambangkan sebuah seni barongan yang menampilkan sosok kepala harimau sebagai simbol raja Majapahit yang ditunggangi merak sebagai simbol putri Campa.

Setelah tiba di Wengker, Raden Katong  bersama para prajuritnya mengajarkan agama Islam kepada orang-orang Jawa di daerah setempat yang masih Bergama Buddha. Ajaran islam itu diterima baik oleh orang-orang Wengker. Banyak warga setempat yang kemudian memeluk agama Islam.

Ki Ageng Kutu tidak terima dengan kedatangan Raden Katong di Wengker. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya pertarungan antara dua tokoh keturunan Majapahit itu. Memiliki kesaktian yang sebanding, pertarungan berjalan seimbang tanpa pemenang. Ketidaksenangan Ki Ageng Kutu dan para pimpinan desa itu salah satunya karena perbedaan agama. Raden Katong beragama Islam, sedangkan Ki  Ageng Kutu dan pengikutnya beragama Buddha dan Brahma.

Sumber lain dari Babad Negara Patjitan menyatakan, sebenarnya Ki Ageng Kutu tidak mengahalangi Raden Katong menyebarkan Islam di Wengker karena hal itu merupakan perintah Sultan Demak. Namun lama kelamaan Raden Katong terus melakukan invasi dari utara ke selatan yang mendekati wilayah kekuasaan Ki Ageng Kutu. Raden Katong bahkan ikut menyarankan Ki Ageng Kutu agar memeluk agama Islam. Ki Ageng Kutu menolak saran tersebut karena ia merasa sudah tua dan merasa cocok dengan Agama Buddha.

Baca Juga  Kisah Pangeran Teposono, Putra Amangkurat III yang Dieksekusi Mati Pakubuwono II

 

Ketidakcocokan antara dua tokoh itu pada akhirnya memicu perang antara orang Islam dengan penganut Buddha. Raden Katong memutar otak dan terus merancang taktik untuk menaklukkan Ki Ageng Kutu. Raden Katong menerjunkan Tawangsari menjadi mata-mata. Di sisi lain ia mendekati dan menikahi anak gadis Ki Ageng Kutu yaitu Niken Gandini untuk bisa mengambil pusaka Ki Ageng Kutu.

Pada akhirnya Ki Ageng Kutu berhasil ditaklukkan setelah pusaka yang ia miliki diambil oleh Raden Katong. Ki Ageng Kutu kalah dan menghilang pada Jumat Wage. Tempat menghilangnya Ki Ageng Kutu itu disebut Gunung Bacin yang terletak di daerah Kecamatan Bungkal.

Rakyat Wengker sangat marah terhadap Raden Katong. Rakyat Wengker menganggap Raden Katong telah membunuh Ki Ageng Kutu. Untuk meredam amarah rakyat, Raden Katong beralibi jika Ki Ageng Kutu mengalami moksa. Selain itu Raden Katong mengaku bahwa dia adalah manusia setengah dewa. Sehingga inilah asal mula dia memiliki ‘bathara’ di tengah namanya yang melambangkan sifat kedewaannya. Ia kemudian menjadi terkenal dengan panggilan Bathara Katong.

Sumber lain menyebutkan, Bathara Katong mendirikan Kabupaten Ponorogo pada 11 Agustus 1496 masehi, hingga saat ini tanggal tersebut diperingati sebagai tanggal ulang tahun Kabupaten Ponorogo. Nama Ponorogo itu disepakati berdasarkan hasil musyawarah yang dilakukan oleh Bathoro Katong, Ki Ageng Mirah, Selo Aji dan Joyodipo pada hari jumat saat bulan purnama.

Hasil musyawarah itu sebenarnya menetapkan daerah yang sebelumnya bernama Wengker itu dengan nama baru yaitu Pramana Raga. Lama kelamaan Pramana Raga disebut dengan sebutan Ponorogo.

Pramana Raga terdiri dari dua kata yang bermakna Pramana daya kekuatan, rahasia hidup serta Raga yang bermaknakan badan dan jasmani.