Evaluasi mendalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kota Batu pasca-insiden keracunan. Artikel ini menyoroti tantangan kualitas, pengawasan, dan inovasi solusi demi kesehatan siswa.
INDONESIAONLINE – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah Kota Batu menghadapi ujian berat. Serangkaian insiden keracunan dan temuan makanan tak layak konsumsi, yang terakhir menimpa belasan siswa SMPN 1 Batu pada Rabu (24/9/2025), memicu sorotan tajam dari Wali Kota Batu, Nurochman. Insiden ini bukan sekadar catatan minor, melainkan alarm penting untuk mengevaluasi fondasi program yang bertujuan mulia ini.
Wali Kota Nurochman, yang akrab disapa Cak Nur, tak tinggal diam. Usai berdialog langsung dengan para siswa terdampak di SMPN 1 Batu pada Senin (29/9/2025), ia mengeluarkan instruksi tegas yang menandai pergeseran paradigma: siswa berhak menolak makanan yang disajikan jika dirasa tidak layak.
“Siswa boleh menolak. Kalau memang feeling dia terhadap masakan ini tidak layak, tidak apa-apa, kembalikan saja. Dan guru tidak boleh memaksa,” tegas Cak Nur.
Penekanan pada hak tolak ini bukan hanya soal kualitas, tetapi juga edukasi dini tentang pentingnya kesadaran pangan dan keberanian bersuara.
Ancaman di Balik Piring: Dugaan Penyebab dan Tantangan Kualitas
Dugaan awal penyebab insiden di SMPN 1 Batu mengarah pada kesegaran bahan baku dan proses pengolahan. “Tadi saya tanya satu (siswa) katanya memang kondisi buah dan sayurnya tidak segar, mungkin basi. Kemudian dicampur dengan masakan panas dan ditutup, nah mungkin ada reaksi-reaksi tertentu yang menyebabkannya,” ungkap Cak Nur.
Fenomena ini, yang dikenal dalam ilmu pangan sebagai kontaminasi silang atau pertumbuhan mikroba akibat penyimpanan yang tidak tepat, bisa diperparah oleh perbedaan ketahanan tubuh anak-anak. Makanan yang tampak aman bagi satu siswa, bisa menjadi bumerang bagi siswa lain yang kondisi tubuhnya sedang rentan.
Data dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menunjukkan bahwa kasus keracunan pangan di Indonesia masih menjadi isu serius, seringkali dipicu oleh sanitasi yang buruk, penyimpanan tidak tepat, dan kontaminasi bakteri seperti Escherichia coli atau Staphylococcus aureus yang dapat berkembang biak cepat pada suhu ruangan.
Laporan dari Kementerian Kesehatan RI tahun 2023 bahkan mencatat peningkatan kasus keracunan pangan di lingkungan sekolah, menandakan perlunya pengawasan ekstra pada program pemberian makan berskala besar.
Cak Nur menggarisbawahi bahwa masalahnya mungkin bukan pada resep atau menu, melainkan pada inkonsistensi kualitas dalam proses produksi massal. “Sebelum-sebelumnya tidak ada masalah, baru kejadian itu hari ke berapa, berarti konsistensi di dalam proses pengolahan masakan yang memang perlu ada pengawasan,” jelasnya.
Ini menunjukkan bahwa meskipun standar resep telah ditetapkan, implementasi di lapangan seringkali menjadi celah yang perlu diperbaiki.
Pengawasan Terintegrasi dan Skala Produksi: Sebuah Dilema
Tantangan utama program MBG di Kota Batu adalah skala produksinya. Dengan 2.600 porsi per hari yang harus disiapkan oleh satu dapur, pengawasan kualitas menjadi krusial dan kompleks. “Besok (30/9/2025) akan saya kumpulkan semua. Kita ingin mendiskusikan ini. Sebenarnya tahapannya sudah detail dan ketat sekali, mulai dari kapan belanja hingga kapan memasak. Tapi dengan jumlah 2.600 porsi per hari, memang butuh pengawasan ekstra,” imbuh Cak Nur.
Menciptakan sistem yang kuat untuk memastikan keamanan pangan dalam produksi massal bukanlah hal mudah. Sebuah studi dari World Food Programme (WFP) tentang program makan siang sekolah di negara berkembang menunjukkan bahwa kendala utama seringkali terletak pada kapasitas logistik, pelatihan personel, dan sistem pengawasan yang belum matang.
Idealnya, setiap tahap mulai dari pengadaan bahan baku, penyimpanan, persiapan, pengolahan, hingga distribusi harus memiliki titik kontrol kritis (CCP) yang diawasi ketat, mirip dengan prinsip Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) yang diterapkan industri pangan besar.
Untuk mengatasi ini, Cak Nur menyerukan penguatan kolaborasi antara Satuan Tugas (Satgas) MBG yang telah dibentuk pemerintah kota dengan Badan Gizi Nasional (BGN) melalui kepala dapur di masing-masing unit produksi. Sinergi ini diharapkan mampu menciptakan mekanisme pengawasan yang lebih terintegrasi dan responsif.
Maju ke Depan: Prioritas Kesehatan dan Inovasi Solusi
Keselamatan dan kesehatan anak-anak tetap menjadi prioritas utama. Evaluasi menyeluruh yang akan melibatkan Satgas MBG dan pihak penyelenggara (SPPG) menjadi langkah konkret untuk menambal celah yang ada.
Potensi solusi jangka panjang bisa melibatkan beberapa pendekatan inovatif:
-
Sistem Audit Kualitas Berkala: Melibatkan ahli gizi dan sanitarian independen untuk melakukan audit mendadak pada dapur produksi dan sampel makanan yang disajikan.
-
Pelatihan Berkelanjutan: Meningkatkan kapasitas dan kesadaran seluruh personel yang terlibat, dari juru masak hingga distributor, mengenai praktik higiene pangan (GMP) dan penanganan bahan baku yang benar.
-
Teknologi Sensor dan Pemantauan: Menerapkan teknologi sederhana seperti termometer digital untuk memastikan suhu penyimpanan dan penyajian makanan berada dalam batas aman.
-
Desentralisasi Produksi (Opsional): Jika memungkinkan secara logistik dan finansial, mempertimbangkan pembagian beban produksi ke beberapa dapur yang lebih kecil untuk memudahkan pengawasan dan mengurangi risiko kontaminasi berskala besar.
-
Edukasi Gizi dan Pangan untuk Siswa: Membekali siswa dengan pengetahuan dasar tentang ciri-ciri makanan yang layak konsumsi, sehingga mereka dapat menjadi ‘pengawas’ tambahan di garis depan.
Insiden di Kota Batu ini adalah pengingat bahwa program mulia seperti Makan Bergizi Gratis membutuhkan lebih dari sekadar niat baik. Ia menuntut sistem yang kuat, pengawasan tanpa kompromi, dan kesiapan untuk beradaptasi demi memastikan setiap porsi makanan yang tersaji benar-benar menjadi sumber gizi, bukan potensi ancaman (pl/dnv).