Beranda

Paradoks Investasi: Dana Triliunan, Kenapa Cari Kerja Sulit?

Paradoks Investasi: Dana Triliunan, Kenapa Cari Kerja Sulit?
Ilustrasi seorang pencari kerja di tengah klaim pemerintah terkait investasi yang mencapai ratusan triliun rupiah per kuartal (ai image/io)

Analisis mendalam mengapa investasi triliunan rupiah di Indonesia gagal menciptakan lapangan kerja yang sepadan. Mengungkap masalah dari kompetensi SDM, arah investasi yang keliru, hingga kebocoran dana akibat birokrasi, berdasarkan data BPS dan BKPM.

INDONESIAONLINE – Angka investasi yang memecahkan rekor seolah menjadi fatamorgana di tengah realitas pahit jutaan pencari kerja di Indonesia. Di satu sisi, pemerintah bangga mengumumkan realisasi investasi yang mencapai ratusan triliun rupiah per kuartal. Namun di sisi lain, keluhan “sulit cari kerja” semakin nyaring terdengar, dari warung kopi hingga ruang diskusi parlemen.

Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKB, Zainul Munasichin, menyoroti tajam anomali ini. Menurutnya, ada masalah fundamental yang membuat kucuran dana investasi raksasa tidak serta-merta berbanding lurus dengan terbukanya lapangan kerja berkualitas bagi masyarakat.

Ini bukan sekadar masalah angka, melainkan sebuah simpul kusut yang melibatkan kompetensi sumber daya manusia (SDM), iklim usaha, hingga efektivitas birokrasi.

“Kita berada dalam sebuah paradoks. Dana masuk triliunan, tapi serapan tenaga kerjanya sangat kecil. Ini harus dibedah, ada apa sebenarnya?” ujar Zainul.

Mismatch Keterampilan: Lowongan Ada, Kompetensi Tiada?

Salah satu dugaan utama yang mengemuka adalah adanya ketidaksesuaian (mismatch) antara kebutuhan industri dengan ketersediaan tenaga kerja. Zainul mengutarakan kekhawatirannya bahwa SDM Indonesia belum sepenuhnya siap mengisi lowongan yang ada karena standar kompetensi yang tidak terpenuhi.

“Jangan-jangan memang kita ini enggak siap dengan SDM yang kompeten. Lowongan kerja banyak tetapi enggak terserap, karena standar SDM kita ini enggak kompeten untuk bisa mengisi lowongan itu,” tegasnya.

Dugaan ini diperkuat oleh data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2024, yang menunjukkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) masih berada di angka 4,82% atau setara dengan 7,2 juta orang. Ironisnya, pengangguran ini didominasi oleh lulusan jenjang pendidikan menengah dan tinggi.

Yakni SMK: menjadi penyumbang TPT tertinggi sebesar 7,22%, SMA sebesar 6,02%, dan Universitas (Sarjana) sebesar 4,77%.

Data ini mengindikasikan bahwa ijazah saja tidak cukup. Industri modern menuntut keterampilan spesifik yang sering kali tidak didapatkan di bangku sekolah formal, menciptakan jurang antara lulusan dan dunia kerja.

Investasi Padat Modal, Bukan Padat Karya

Faktor krusial lainnya adalah arah investasi yang masuk ke Indonesia. Zainul menyoroti bagaimana investasi triliunan rupiah hanya mampu menyerap sedikit tenaga kerja.

“Realisasi investasi kuartal I-2024 menurut data Kementerian Investasi/BKPM mencapai Rp 401,5 triliun dan menyerap 505.412 tenaga kerja,” analisisnya.

“Jika dihitung, artinya untuk merekrut satu orang pekerja dibutuhkan investasi sekitar Rp 794 juta. Mahal sekali!” lanjut Zainul.

Kondisi ini terjadi karena investasi yang masuk cenderung bersifat padat modal (capital-intensive), bukan padat karya (labor-intensive). Sektor-sektor seperti industri logam dasar, pertambangan, dan kimia memang membutuhkan modal besar untuk mesin dan teknologi, namun tidak menyerap banyak tenaga manusia.

Sebagai perbandingan, Zainul memberikan ilustrasi tajam:

  • Sektor Pertambangan (Padat Modal): Investasi Rp 1 triliun mungkin hanya menyerap sekitar 5.000 pekerja.

  • Sektor Pertanian (Padat Karya): Investasi Rp 1 triliun berpotensi menyerap hingga 150.000 pekerja.

Data BKPM sendiri mengkonfirmasi tren ini. Sektor yang mendominasi realisasi investasi kerap kali adalah industri logam dasar, pertambangan, transportasi, dan pergudangan—sektor yang secara alamiah tidak menyerap tenaga kerja secara massal.

Kebocoran Akibat Birokrasi dan Iklim Usaha yang Tak Sehat

Masalah tidak berhenti di jenis investasi. Zainul juga menyinggung “kebocoran” dana investasi akibat proses birokrasi yang berbelit dan biaya tinggi (high-cost economy). Iklim usaha yang tidak sehat menjadi penghambat utama terciptanya lapangan kerja berkualitas.

“Bisa jadi investasinya padat karya, tapi karena proses birokrasi kita tidak mendukung, banyak dana yang bocor. Uang yang seharusnya untuk produksi habis untuk mengurus perizinan yang mahal, termasuk gangguan dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab,” ungkapnya.

Jika sektor hulu (iklim usaha, perizinan, regulasi) tidak sehat, maka sektor hilir (penciptaan lapangan kerja) mustahil bisa tumbuh optimal. Investor akan berpikir dua kali untuk berekspansi jika biaya tak terduga terus menggerogoti modal mereka.

Pada akhirnya, kesulitan mencari kerja di Indonesia bukanlah masalah tunggal. Ia adalah cerminan dari persoalan sistemik yang kompleks: dari kurikulum pendidikan yang perlu direformasi, arah kebijakan investasi yang perlu dievaluasi, hingga pembenahan total birokrasi untuk menciptakan iklim usaha yang benar-benar pro-rakyat dan pro-pekerjaan.

Tanpa solusi komprehensif, angka investasi yang fantastis hanya akan menjadi statistik indah di atas kertas, jauh dari denyut nadi kehidupan jutaan rakyat yang mendambakan pekerjaan layak.

Exit mobile version