INDONESIAONLINE – Perang Suksesi Jawa III (1749-1755) menjadi saksi pertempuran sengit antara Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) melawan Kompeni Belanda dan sekutunya, Kasunanan Surakarta. Keahlian strategi Kiai Wirosentiko membawa mereka pada kemenangan, namun persatuan mereka runtuh karena perbedaan senioritas dan hubungan keluarga.

Sambernyawa memilih jalannya sendiri, melancarkan serangan ke Surakarta dan wilayah Mangkubumi. Salah satu serangan kontroversialnya terjadi di tahun 1754, di mana pasukannya menodai Makam Ki Ageng Selo, situs suci Dinasti Mataram.

Ki Ageng Selo, leluhur Mataram, dihormati sebagai keturunan Raja Majapahit terakhir, Brawijaya V. Penodaan makamnya oleh Sambernyawa, meskipun ia kemudian memerintahkan pemulihannya, menimbulkan kemarahan bangsawan dan meninggalkan luka sejarah.

Baca Juga  Kereta Setan: Awal Mobil Pertama di Indonesia

Perang ini juga menghadirkan perpecahan dalam keluarga. Pangeran Mangkubumi, yang akan menjadi Sultan Yogyakarta, mengecam tindakan Sambernyawa. Patih Natakusuma mengingatkannya bahwa berperang di makam leluhur adalah tindakan tidak hormat, dan kehadiran pasukan VOC akan merusak kekuatan spiritual situs tersebut.

Perang Suksesi Jawa III berakhir dengan Perjanjian Giyanti (1755) yang membagi Mataram menjadi dua kerajaan: Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Namun, Sambernyawa tidak puas dan terus bertempur selama 16 tahun.

Pada tahun 1757, Perjanjian Salatiga menandai perdamaian antara Sambernyawa dan Sunan Pakubuwono III. Sambernyawa menjadi Adipati Miji alias mandiri dengan gelar KGPAA Mangkunegara I, memimpin wilayah Kadipaten Mangkunegaran.

Kisah Pangeran Sambernyawa mencerminkan kompleksitas Perang Suksesi Jawa III, di mana pertempuran antar saudara dan penodaan situs suci menjadi bagian dari sejarah kelam Mataram.

Baca Juga  Pidato Soekarno dan Isi Teks Asli Proklamasi