Beranda

Peta Harta Asia 2025: Ambani Tak Tergoyahkan, Taipan RI Masih Tercecer

Peta Harta Asia 2025: Ambani Tak Tergoyahkan, Taipan RI Masih Tercecer
Dua orang terkaya di Asia di akhir 2025 (kiri) urutan pertama terkaya Mukesh Ambani (India) dengan harta $92,5 Miliar (Energi & Telekomunikasi) dan (kanan) Zhang Yiming (China) urutan kedua dengan harta $65,5 Miliar (Teknologi/TikTok) (ist/io)

Mukesh Ambani puncaki daftar orang terkaya Asia 2025. Dominasi India-China kian kuat di sektor teknologi dan energi, sementara taipan Indonesia Low Tuck Kwong bertahan di posisi 16.

INDONESIAONLINE – Lanskap ekonomi Asia menutup tahun 2025 dengan sebuah pernyataan tegas: hegemoni kekayaan masih terkunci rapat di tangan dua raksasa demografi, India dan China. Di tengah volatilitas pasar global, ancaman regulasi teknologi, dan transisi energi, para miliarder dari “Negeri Tirai Bambu” dan “Anak Benua” terus memperlebar jarak dengan rekan-rekan mereka di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Berdasarkan data Forbes The Real-Time Billionaires List per akhir Desember 2025, sebuah jurang pemisah yang masif—senilai 27 miliar dollar AS (sekitar Rp 452 triliun)—terbentang antara orang terkaya nomor satu dan nomor dua di Asia. Ini bukan sekadar angka statistik, melainkan cerminan dari betapa raksasanya konglomerasi yang dibangun di atas populasi miliaran manusia.

Mukesh Ambani: Raja di Atas Segala Raja

Di puncak piramida, Mukesh Ambani dari India berdiri nyaris tanpa pesaing. Dengan kekayaan bersih menembus 92,5 miliar dollar AS (sekitar Rp 1.551 triliun), Chairman Reliance Industries ini membuktikan bahwa diversifikasi adalah kunci imortalitas bisnis.

Ambani tidak lagi sekadar “raja minyak” dan petrokimia. Strategi pivot-nya ke sektor telekomunikasi melalui Jio Platforms dan ritel lewat Reliance Retail telah mengubah wajah ekonomi digital India. Ambani berhasil mengawinkan kebutuhan energi konvensional dengan gaya hidup digital 1,4 miliar penduduk India.

Keunggulan absolut Ambani di tahun 2025 ini juga didorong oleh stabilitas pasar saham India (Sensex) yang relatif lebih bullish dibanding pasar saham China yang masih berjuang pulih pasca-pandemi dan pengetatan regulasi.

Kebangkitan “Naga” Teknologi China

Meskipun India memegang mahkota nomor satu, China mendominasi secara kuantitas di jajaran 10 besar. Menariknya, posisi kedua ditempati oleh Zhang Yiming, pendiri ByteDance, dengan kekayaan 65,5 miliar dollar AS (Rp 1.098 triliun).

Keberadaan Zhang di posisi runner-up adalah fenomena menarik. ByteDance, induk dari TikTok dan Douyin, adalah perusahaan privat (belum IPO) yang valuasinya terus meroket berkat monetisasi agresif melalui social commerce. Ini membuktikan bahwa di era 2025, “ekonomi atensi” (attention economy) memiliki nilai valuasi yang mampu bersaing dengan komoditas fisik.

Keberhasilan Zhang bertahan di puncak, di tengah tekanan geopolitik AS terhadap TikTok, menunjukkan resiliensi algoritma dan model bisnis teknologi China.

Dominasi China juga terlihat dari kehadiran Ma Huateng (Tencent) di posisi ke-5 dan Colin Huang (Pinduoduo/Temu) di posisi ke-8. Kehadiran Colin Huang, khususnya, menandai pergeseran perilaku konsumen global yang kian memburu barang murah melalui cross-border e-commerce, yang sukses menggerus pasar ritel tradisional Barat.

Transisi Hijau dan Baterai Masa Depan

Daftar 2025 juga mencatat tren penting: transisi energi melahirkan miliarder baru yang sangat kuat. Robin Zeng dari Hong Kong (posisi 10) dan Lei Jun (posisi 7) adalah representasi dari revolusi kendaraan listrik (EV).

Robin Zeng, pendiri CATL (Contemporary Amperex Technology Co. Limited), adalah raja baterai dunia. Hampir sepertiga mobil listrik di jalanan dunia menggunakan baterai buatannya.

Sementara Lei Jun, pendiri Xiaomi, berhasil melakukan transformasi dari sekadar pembuat ponsel menjadi pemain EV yang diperhitungkan, menantang hegemoni Tesla di pasar Asia. Kehadiran mereka di top 10 Asia mengonfirmasi bahwa masa depan kekayaan Asia ada di sektor energi hijau dan manufaktur canggih.

Sementara itu, dari sektor “konvensional”, Zhong Shanshan (China) bertahan di posisi ke-3 berkat kerajaan air minum kemasan dan farmasinya. Di Jepang, Tadashi Yanai (Uniqlo) menjadi satu-satunya wakil non-India/China di 10 besar, membuktikan kekuatan sektor ritel fast fashion yang efisien.

Indonesia: Masih Bergantung pada “Emas Hitam”

Lantas, di mana posisi Indonesia dalam peta elit Asia ini? Meski memiliki ekonomi terbesar di Asia Tenggara, wakil Indonesia masih kesulitan menembus 10 besar Asia.

Nama Low Tuck Kwong kembali mencuat sebagai orang terkaya di Tanah Air per akhir 2025, menduduki peringkat ke-16 di Asia. Dengan kekayaan 27,3 miliar dollar AS (Rp 457,9 triliun), “Raja Batu Bara” pendiri Bayan Resources ini mengungguli duo Hartono.

Fenomena Low Tuck Kwong adalah anomali di tengah tren global yang bergerak ke arah energi hijau (green energy). Kekayaannya yang masif menunjukkan bahwa dunia—khususnya pasar Asia yang sedang berkembang—masih sangat haus akan energi fosil murah (batu bara) untuk pembangkit listrik. Kenaikan harga komoditas dan permintaan yang stabil dari China dan India menjadi “bensin” bagi pundi-pundi kekayaannya.

Di bawah Low Tuck Kwong, R. Budi Hartono dan Michael Hartono menyusul dengan kekayaan masing-masing 22,4 miliar dollar AS dan 21,5 miliar dollar AS. Kekayaan keluarga Hartono yang bersumber dari perbankan (BCA) dan rokok (Djarum) menunjukkan stabilitas fundamental ekonomi domestik Indonesia, namun belum memiliki daya ledak valuasi (exponential growth) seperti perusahaan teknologi atau energi global.

Analisis Kesenjangan dan Masa Depan

Jika dibedah lebih dalam, absennya pengusaha Indonesia di jajaran 10 besar Asia menyoroti tantangan struktural ekonomi nasional. Daftar 10 besar Asia didominasi oleh perusahaan yang memiliki pasar global atau teknologi yang skalabel (ByteDance, Tencent, CATL, Fast Retailing).

Sementara itu, kekayaan taipan Indonesia mayoritas masih berbasis pada komoditas ekstraktif (batu bara, sawit) dan pasar domestik (perbankan, rokok). Belum ada raksasa teknologi atau manufaktur asal Indonesia yang mampu melakukan ekspansi regional seagresif Xiaomi atau Uniqlo.

Daftar Forbes akhir 2025 ini memberikan sinyal peringatan sekaligus peluang. India dan China telah berhasil mentransformasi kekayaan alam dan demografi mereka menjadi inovasi teknologi dan manufaktur bernilai tambah tinggi.

Bagi Indonesia, untuk menempatkan wakilnya di “meja bundar” elit Asia di masa depan, ketergantungan pada fluktuasi harga komoditas harus segera dikurangi, digantikan oleh inovasi industri dan teknologi yang mampu bersaing di kancah global.

Daftar 10 Orang Terkaya di Asia (Akhir 2025):

  1. Mukesh Ambani (India): $92,5 Miliar (Energi & Telekomunikasi)
  2. Zhang Yiming (China): $65,5 Miliar (Teknologi/TikTok)
  3. Zhong Shanshan (China): $57,7 Miliar (Minuman & Farmasi)
  4. Gautam Adani (India): $56,3 Miliar (Infrastruktur & Komoditas)
  5. Ma Huateng (China): $56,2 Miliar (Internet & Gim)
  6. Tadashi Yanai (Jepang): $45,1 Miliar (Ritel Fesyen)
  7. Lei Jun (China): $43,5 Miliar (Teknologi & EV)
  8. Colin Huang (China): $42,3 Miliar (E-commerce)
  9. Li Ka-shing (Hong Kong): $38,9 Miliar (Properti & Konglomerasi)
  10. Robin Zeng (Hong Kong): $37,9 Miliar (Baterai EV)

… 16. Low Tuck Kwong (Indonesia): $27,3 Miliar (Batu Bara)

Exit mobile version